KPU mengalokasikan waktu enam jam bagi setiap warga yang eligible menjadi peserta dalam pemilihan untuk menunaikan hak pilihnya secara "luber jurdil". Dan hari Rabu ini (27/11) adalah hari yang di dalamnya terdapat enam jam momentum sakral demokrasi kita tersebut. Siapapun yang mencederai sakralitasnya atau memandangnya dengan sikap tidak hormat layak untuk dianggap "berdosa" terhadap negara.
Saat keluar dari TPS hari ini, ada serangkum rasa lepas dan syukur atas tertunaikannya kewajiban sebagai warga negara. Pilihan saya, saya yakini tepat meskipun boleh jadi keliru; sementara pilihan yang lain saya yakini keliru meskipun boleh jadi tepat. Apapun hasilnya ikhtiar demokratis tadi adalah buah dari demokrasi kita. Bahwa saya telah memilih, itulah yang utama.
Selamat bagi siapapun yang memuliakan hari demokrasi kita hari ini!
***
In Differentia Harmonia: Sebuah Refleksi Pasca Memilih
Apa kabar pagi ini, para demokrat? Apa pun hasil ikhtiar pilihan kita kemarin, bukanlah segala-galanya. Yang utama adalah kita telah menunaikan kewajiban kita. Oh iya, demokrat di sini maksudnya para pendukung setia demokrasi, bukan anggota/partisan Partai Demokrat, ya! Hehehe
Siapapun yang masih terjebak dalam politik transaksional, Â bermain politik uang dan politisasi identitas, semoga segera sadar bahwa tindaknya tersebut mengkhianati demokrasi dan bahwa dirinya adalah parasit dalam tubuh demokrasi.
Kembali kepada ungkapan saya kemarin, in differentia harmonia, dalam sebuah kontestasi meniscayakan adanya perbedaan dalam dukungan dan pilihan. Kini saatnya kita berjiwa besar dalam menyikapi hasilnya. Sejak yang terpilih idealnya yang terbaik, maka ia idealnya akan mengayomi semua warga tanpa kecuali.Â
Dan sejak tidak ada pilihan yang sempurna, karena demokrasi sendiri tidaklah sempurna, maka perlu adanya mitra dalam perbedaan yang kita kenal sebagai oposan. Jadi oposisi bukanlah lawan. Ia sejatinya mitra yang berfungsi sebagai kontrol agar semua skema berjalan konstitusional dalam bingkai demokrasi. Inilah yang dimaksud dengan in differentia harmonia.
Untuk itu, pada hakikatnya tidak ada pemenang dalam sebuah kontestasi demokrasi. Seharusnya yang ada adalah siapa yang menawarkan program dan solusi terbaik demi masalahat seluruh warga negara. Kontestasi demokrasi seyogianya adalah ajang mengadu gagasan dan solusi, menjauhkan segala madarat, dan bukan kontes janji manis atau persekongkolan politis.Â
Dalam bingkai idealisme ini, para kontestan adalah perwakilan terbaik dari yang terbaik dari setiap warga yang diwakilinya. Betapa tidak, bila dalam demokrasi suara rakyat adalah suara Tuhan, vox populi vox Dei, maka siapapun yang terpilih maka terpikul atas dirinya amanat dari Tuhan. Inilah aspek religius dari demokrasi. Saya menyebutnya sebagai "iman" demokrasi.