Pembelajaran seyogianya bukanlah lagi sebatas pengajaran. Pembelajaran adalah pendidikan itu sendiri. Implikasi tertingginya, pembelajaran akan bergeser dari awalnya bersifat kognitif menjadi metakognitif. Aktivitas pembelajaran di sekolah seperti inilah yang akan menjadikan sekolah berdaya dengan ikatan yang hidup di antara warga belajarnya.Â
Bukan hanya siswa yang belajar, guru pun turut belajar di dalamnya. Kesalahan bukan lagi hal yang tabu. Sebuah kesalahan, dengan penanganan yang tepat, akan menjadikan kegiatan pembelajaran semakin menggairahkan. Barangkali saat ini terkesan utopis untuk membayangkannya. Â Â
Sekolah yang ramah terhadap kesalahan akan menjadi rumah kedua bagi warga belajarnya. Sebuah doa, maaf saya merujuk tradisi di kalangan muslim, menarik perhatian untuk direnungkan dalam konteks hubungan siswa dan guru di dalamnya.Â
Doanya berbunyi: "Rabbighfir lii waliwaalidayya warhamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiraan -- Ya Tuhanku ampunilah aku dan kedua orang tuaku, dan kasihanilah mereka berdua sebagaimana keduanya telah menumbuhkembangkan aku saat kecil dulu."
Poin refleksinya adalah pemeliharaan seperti apa yang sudah kita berikan kepada para siswa kita? Seberapa besar peran kita dalam pertumbuhkembangan mereka? Seberapa penting kita bagi mereka sehingga bisa disetarakan dengan kenangan mereka akan orang tua yang telah merawat mereka di masa kanak-kanak mereka?
Menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dengan praktik akan menjadikan sekolah-sekolah sebagai lembaga pendidikan yang ramah terhadap kesalahan dan sekaligus menjadikan sekolah yang akan dirindukan para siswanya. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H