Dalam penerapan segitiga restitusi, penting untuk meyakinkan anak bahwa to err is human. Berbuat salah itu manusiawi. Tidak ada manusia yang sempurna. Dengan cara ini, anak dapat mengubah identitasnya dari orang yang gagal menjadi orang yang sukses -- from zero to hero.
Penanganan sekolah seperti ini akan membawa kepada citra sekolah yang ramah salah. Pendekatan ini akan menumbuhkembangkan potensi peserta didik. Dan yang lebih jauhnya lagi, besar kemungkinan akan menjadikan sekolah sebagai tempat yang kelak mereka akan rindukan.
Menelisik Makna Pendidikan
Umum dikatakan bahwa sekolah adalah lembaga pendidikan. Untuk itu, sebuah telisik tentang makna dari kata pendidikan akan selalu penting dilakukan para praktisi pendidikan di sekolah. Sebuah telisik kebahasaan saya coba tawarkan di sini.
Dalam bahasa Arab, mendidik adalah rabbaa-yurabbii. Kata ini seakar dengan kata rabaa-yarbuu. Bila yang pertama konotasinya positif karena melahirkan derivasi kata tarbiyyah, maka yang kedua berkonotasi negatif: ribaa. Varian lainnya dari akar kata yang sama membawa kita kepada arbaa-yurbii yang secara umum berarti memperbanyak atau melipatgandakan. Tarbiyyah dan ribaa keduanya berbagi makna yang sama, yakni menambah atau meningkatkan.
Sebuah kaidah unik -- dan tentu saja tidak disepakati secara umum -- dalam bahasa Arab menyatakan bahwa huruf yang sama atau berdekatan dalam bunyi akan membawa kepada kesamaan makna atau setidaknya keterkaitan makna. Kaidah ini menggiring kita kepada kata rabba (dua arti populernya, merawat dan mengembangkan). Implikasi dari kaidah ini dengan paragraf sebelumnya adalah bahwa tarbiyyah (pendidikan) terkait erat dengan rubuubiyyah, yakni sifat Ketuhanan.
Tidaklah berlebihan untuk menyatakan bila pendidikan hakikatnya merupakan sebuah kegiatan yang bersifat "ilahiyah" dalam makna yang luas. Dan untuk alasan ini, pendidikan haruslah berpijak pada nilai-nilai universal. Sekularisasi sekolah sebagai lembaga pendidikan merupakan sebuah fitrah. Sekolah tidak boleh partisan. Sekolah sejatinya haruslah bersifat universal namun sekaligus menghargai identitas setiap warga belajarnya. Bukankah Tuhan adalah nama lain dari sumber nilai-nilai luhur universal?
Sebuah implikasi dari pendidikan dalam format persekolahan yang kemudian melahirkan tradisi ilmiah dengan produknya yang kita kenal sebagai sains, pertanyaan klasiknya adalah apakah mungkin sains (umum dianggap sebagai hasil dari pendidikan dalam perspektif awam kita) dan agama (lazim disepakati sebagai sebutan yang menempel pada citra Tuhan) berjalan dalam harmoni?
Kembali, bila sekolah berpijak pada nilai-nilai universal nampaknya pertanyaan tadi terhitung tidak lagi perlu untuk diajukan. Keduanya, yakni sains dan agama, bisa berjalan dalam harmoni. Sains merupakan ekspresi kognitif Tuhan (al-āyāt al-kauniyah) sementara agama adalah ungkapan metakognitif-Nya (al-āyāt al-qauliyah). Keduanya merupakan ekspresi dari Keberadaan-Nya. Tugas mulia pendidikan justru mengharmonikan keduanya. Bahkan, dalam perspektif ini, guru sejatinya adalah bayangan dari citra Tuhan sebagai Sang Maha Pendidik.
Dalam tataran teknisnya, Kurikulum Merdeka dengan backward design dalam pembelajarannya, menegaskan bahwa konten atau materi pembelajaran bukanlah urutan yang pertama. Konten atau materi hanyalah stimulan dalam mendorong siswa untuk mengembangkan potensi sejati dirinya. Kemerdekaan yang dimiliki siswa inilah yang menjadi spirit Kurikulum Merdeka. Filosofi pembelajaran yang berpusat pada siswa menuntut layanan yang berdiferensiasi dalam pelaksanaannya.
Ki Hajar meredaksikan praktik ini sebagai mendidikan anak sesuai dengan kodratnya. Inilah tujuan utama dari capaian sebuah pembelajaran. Secara nomenklatur pun taksonomi pembelajaran berubah menjadi Capaian Pembelajaran (CP), Tujuan Pembelajaran (TP) dan Alur Tujuan Pembelajaran (ATP) tidak lagi Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) seperti pada Kurikulum 2013.