Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menjadi Tua yang Tidak Hanya Sebatas Menua

22 September 2024   07:56 Diperbarui: 20 Desember 2024   06:28 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ayah dari salah satu kolega saya di sekolah terjatuh ke dalam sebuah lembah saat melakukan aktivitas di sekitaran tempat tinggalnya. Usianya tidak kurang dari 87 tahunan. Di usia sesepuh itu, sang ayah masih mencari kayu bakar di hutan sekitar, mencari pakan ikan, membetulkan saluran air dan sebagainya. "Sulit rasanya memintanya untuk rehat menikmati masa tua. Bahkan bujukan untuk tinggal bersama di salah satu putranya agar terbebas dari aktivitas rutin tersebut selalu gagal," tutur kolega saya.   

Boleh jadi sebagian dari kita akan menyimpulkan karakter orang tua kita tersebut sebagai bentuk kekeraskepalaan akibat faktor usia. Saya kurang sependapat. Dan hal ini menarik untuk direfleksikan.

Orang tua, terutama yang berasal dari generasi Baby Boomers ke bawah, memiliki kemandirian yang tinggi. Sulit untuk menyuruhnya tidak beraktivitas. Mereka biasa memaksa untuk tetap mengerjakan hal-hal yang oleh kita rasanya tidak lagi harus dilakukan. Sebenarnya, itulah indahnya karakter kemandirian para orang tua yang seringkali susah untuk dikompromikan dengan pragmatisme generasi yang jauh lebih muda darinya. 

Inilah perbedaan etos kerja antara Generasi Baby Boomer dengan generasi setelah terutama Gen-Z (terlebih Gen Alpha). Ungkapan working like a dog, sleeping like a dog khas generasi Boomers berubah menjadi bed rotting alias membusuk di atas tempat tidur di kalangan Gen-Z. Kreativitas generasi Z dalam berbahasa memang harus diakui sangat luar biasa. Kesan negatif bed rotting diubah menjadi rebahan atau dalam keadaan tertentu dianggap sebagai self-reward -- bahkan self-love. Saya kadang tersedak antara geli dan sebal. Filsafat Stoikisme dikorupsi dengan semena-mena.  

Generasi dengan filosofi dan kreativitas kebahasaan seperti ini yang menjadi peserta didik kita seolah. Energi mereka tersedot untuk hal-hal yang seringkali -- tepatnya samasekali -- bukan prioritas utama mereka. Kecenderungan fear of missing out (fomo) yang bila dalam perspektif generasi X ke belakang barangkali semakna dengan carpe diem atau seize the day, maka implikasinya kini melenceng menjadi ketergopohan dalam momentum. Keterceceran dari barisan siaga kemudian pontang-panting mengejar ketertinggalan langkah akibat dari overdosis leyeh-leyeh. Self-reward bisa berubah menjadi self-destruction. 

Kembali kepada being old (menjadi tua). Kita ditakdirkan berusia. Dan konsekuensi dari berusia adalah menua. Kebencian untuk menjadi tua boleh jadi setua keberadaan manusia itu sendiri. Terdapat alasan filosofis mendalam yang menjadi penyebabnya. Hasrat buta untuk lebih lama mengecap kenikmatan dunia, syahwat untuk memiliki lebih waktu, dan pencarian keabadian yang yang bentuk sederhananya penggunaan kosmetika anti-aging merupakan ungkapan kebencian terhadap being old. 

Penjelasan sederhananya begini. Being old identik dengan tanggung jawab yang semakin besar. Punya keturunan yang dari mereka kualitas ketuaan kita diukur tentu bukan hal yang mudah bagi siapapun. Bukan hanya sampai di situ, puncak dari proses menua kita adalah kematian -- nama lain dari awal pertanggungjawaban tertinggi manusia, sebagai organisma paling mulia, atas konsekuensi keberusiaannya: aging (menua).

Bukanlah tanpa filosofi, misalnya, ungkapan I hope I die before I get old-nya Pete Townshend pentolan The Who dalam lagunya My Generation. Ironisnya ia masih hidup untuk menjalani ketuaannya. Tuhan menjawab doa Townshend dengan cara terbalik. Namun, bagaimanpun secara langsung atau tidak, falsafah ini telah melahirkan kemengenasan di kalangan pesohor dunia hiburan. Kita mengenal Klub 27 . Sebuah istilah yang merujuk pada banyaknya jumlah pemusik populer dan artis lainnya yang meninggal dalam usia 27 tahun, kebanyakan karena penyalahgunaan narkoba dan alkohol serta tindak kekerasan seperti pembunuhan atau bunuh diri. Kurt Cobain dari band Nirvana, yang lagu-lagunya sempat menemani masa remaja saya, termasuk klub mengenaskan ini.

Atas kondisi ini, saya mencoba sedikit berfilsafat: "Being old, not just getting old, in fact interestingly as unpredictable as when we're kids. So it's fine being old after all."

Bagi siapapun yang kini tergolong tua. Bukanlah masalah untuk menjadi tua. Tua, apabila kita cukup pandai memaknainya, identik dengan kebijaksanaan. "Old is gold -- tua adalah emas," begitu kata seseorang. Sementara seseorang lainnya berujar: "With age comes wisdom; like fine wine, people get better with time -- Seiring bertambahnya usia, muncullah kebijaksanaan; seperti anggur yang baik, orang akan menjadi lebih baik seiring berjalannya waktu." Kuncinya tentu seberapa bijak kita dalam berusia.

Di sisi lain, seperti halnya anak kecil, orang yang berusia tua cenderung mengundang rasa kasih dan sayang. Kita cenderung lebih mudah tergerak untuk bersikap lembut dan penuh kasih kepada seseorang yang berusia sepuh. Dan ini sama halnya terhadap anak kecil. Menarik untuk secara analogi kosmologis mengibaratkan anak kecil dan orang berusia tua seperti halnya white hole dan black hole. Keduanya sama-sama dekat kepada "lubang". Bila yang pertama adalah rahim -- sebagai gerbang yang membawa manusia ke dunia ini, maka yang kedua adalah lahat -- yang melaluinya manusia "pergi" dari dunia ini. Keduanya teramat lekat dengan citra kepemurahan Tuhan, Sang Maha Pengasih dan Penyayang.  

Dalam perspektif ini, berusia pada hakikatnya merupakan ungkapan kasih sayang Tuhan. Sungguh bukanlah masalah untuk menjadi tua. It's fine being old. Untuk filosofi yang sama, saya setuju dengan sindiran kosmetikal Anthony Kiedis dari band Red Hot Chili Peppers dalam lagunya yang berjudul -- maaf sekali -- Californication: "Pay your surgeon very well to break the spell of aging." Bagi yang mau, sindir Kiedis, silakan hamburkan sejumlah besar uang untuk membayar ahli bedah plastik guna menangkal mantra usia.

Usia: Kesadaran Berwaktu

Sekaitan dengan usia, sedikit kisah tentang saya dan kampung di mana saya tinggal mengukuhkan betapa berusia adalah sebuah karunia. Dengan catatan, menjadi tua yang tidak hanya sebatas menua. 

Sejak 21 tahun lalu saya tinggal di sebuah desa bernama Tenjowaringin. Menurut catatan sejarah desa ini, Desa Tenjowaringin merupakan gabungan dua desa, yaitu Panenjoan dan Caringin, pada tahun 1910. Kata caringin, yang dalam bahasa Indonesia berarti beringin, dalam bahasa Sunda memiliki sebutan lain, waringin. Jadi Tenjowaringin secara etimologis terdiri dari dua kata, tenjo (melihat, mengawasi, atau mengamati) dan waringin (beringin).

Di Desa Tenjowaringin terdapat nama-nama kampung yang seakan menyimpan pesan bagi para warganya. Kesemuanya terpusat pada keberadaan Gunung Cikuray yang hanya berjarak 14,4 km dari Tenjowaringin. Berikut adalah antara lain nama-nama kampung yang saya maksud: Sukasari, Sindangsari, Panenjoan, Batulawang dan Wanasigra. Uniknya, di desa tetangga Tenjowaringin yang berbatasan dengan Sukasari, terdapat sebuah kampung dengan nama Sindangratu. 

Narasinya saya mulai dari Sukasari dan Sindangsari. Saya punya hipotesis bila kata 'sari' pada kedua nama kampung tersebut merupakan bentuk perubahan dari kata 'sri'. Kata sri yang secara umum diartikan "tuan" dalam penggunaan tertingginya lazim merujuk kepada sosok raja atau pangeran. Tentu sangat menarik untuk mengaitkan Gunung Cikuray dengan Sukasari, Sindangsari dan Sindangratu. Toponimi keempatnya seolah mengilustasikan sebuah perjalanan. Yakni, seorang raja (sangat mungkin keturunan raja) merasa suka atas keindahan alam tempat ini, lalu singgah sejenak (dalam bahasa Sunda singgah adalah sindang) di Sindangsari dan Sindangratu.

Di tempat persinggahan tersebut, sosok penting ini bukan hanya bisa melepas lelah bahkan ia juga dapat menikmati indahnya panorama Gunung Cikuray dari Bukit Panenjoan yang berada di Sukasari. Panenjoan berasal dari kata tenjo. Panenjoan dalam bahasa Sunda berarti tempat untuk melihat, mengawasi atau mengamati. Dan apa yang menjadi objek panenjoan-nya adalah Gunung Cikuray. Menurut Dani Sunjana, Gunung Cikuray dulunya disebut Gunung Srimanganti atau Srimanganten yang kurang lebih berarti gunung tempat penantian para pangeran Pajajaran. Srimanganti mengandung ambiguitas. Ia bisa berarti tempat menanti para pengeran, atau sebaliknya tempat para pangeran menanti. Kedua kandungan arti ini dapat diterapkan kepada Cikuray yang dulunya merupakan sebuah kamandalaan. Pertama, di kawasan kamandalaan kita -- tentu saja tidak sembarang orang bisa -- bertemu para pangeran, atau -- dalam arti yang keduanya -- para pangeran yang tengah belajar di kamandalaan Cikuray seakan tengah menanti masa kepemimpinan mereka sebagai raja.       

Dalam konteks hipotesis ini, nama-nama kampung yang saya sebutkan sebelumnya secara naratif menceritakan bahwa sesosok istimewa pernah bertandang ke kawasan yang kemudian bernama Desa Tenjowaringin. Sosok istimewa ini masuk melalui Batulawang. Lawang dalam bahasa Sunda berarti 'tempat masuk'. Rasa sukanya akan betapa indah alam sebuah kawasan (Sukasari) membuatnya singgah beberapa waktu (Sindangsari/ Sundangratu), di sana ia kemudian menghabiskan waktu di sebuah bukit (Panenjoan) untuk memandangi Gunung Cikuray yang kala itu merupakan tempat calon-calon raja Pajajaran dipersiapkan untuk menjadi raja (Srimanganti). 

Sang tokoh ini sendiri sangat boleh jadi termasuk di antara para pangeran yang sebenarnya berhak belajar di kamandalaan Cikuray. Perjalanan sang tokoh istimewa ini secara filmis tergambar dalam benak saya. Layaknya angka dan kata di mata seorang John Nash dalam film A Beautiful Mind, kesemua nama kampung tadi berbinar dalam benak. Saya merasa begitu istimewa. Merasa terpilih untuk melihat binaran cahaya di balik nama-nama tempat yang teramat biasa bagi warga Tenjowaringin.

Sosok istimewa yang saya hipotesiskan tadi adalah Bujangga Manik (c. 1400-an). Berdasarkan catatan perjalanannya, Bujangga Manik pernah berkunjung ke Gunung Cikuray dan diyakini beberapa ahli sempat tinggal di kawasan sekitar gunung tersebut. Nama sosok istimewa ini sendiri adalah nama lain dari Prebu Jaya Pakuan, seorang pangeran dari Kerajaan Pajajaran yang memilih hidup sebagai seorang resi Hindu.

Kembali kepada toponimi Tenjowaringin. Kata waringin (beringin) menurut banyak sumber, merupakan simbolisasi dari kerajaan, raja atau pangeran -- yang dalam hal ini adalah raja atau pangeran Pajajaran. Lalu apa implikasinya bagi warga Tenjowaringin? Sejauh ini, saya belum mendapatkan jejak Pajajaran di Tenjowaringin yang bisa dikonfirmasi.

Salah satu hikmah dari menua di Tenjowaringin, setidaknya bertambah umur 21 tahun di kawasan ini, bisa belajar dari sebuah lagu. 'Cause you know sometimes words have two meanings, begitu ujar lirik yang yang ditulis Robert Plant, Led Zeppelin dalam lagu Stairway to Heaven. Saya memilih makna yang kedua. 

Kita mulai dari kata Pajajaran.  Menurut beberapa sumber berarti "berdiri sejajar" atau "imbangan". Gerret Pieter Rouffaer (1860-1928) menggunakan kata "Pajajaran" untuk menggambarkan berdiri sejajar atau seimbangnya dengan Majapahit. Sementara Karel Frederik Holle dalam De Batoe Toelis te Buitenzorg berteori bahwa Pakuan Pajajaran secara literal berasal dari op rijen staande pakoe bomen, pohon paku (pakis) yang berjajar atau deretan pohon paku. Inilah sekelumit tentang kerajaan Pajajaran yang lazim kita dapatkan penjelasannya.

Akan tetapi saya sedikit berbeda dalam sudut pandang. Saya melihat dari perspektif lain. Nama Tenjowaringin, hemat saya, mewartakan kedatangan seorang raja spirtual yang mengusung kesejajaran atau kesetaraan, sosok pengimbang agar timbangan tetap menakar dengan dengan adil. Sosok ini tiada lain dari Imam Mahdi, Sang Ratu Adil dan Hakaman 'Adalan (Hakim yang Adil). Perspektif ini tidak lepas dari keberadaan Desa Tenjowaringin sebagai desa dengan mayoritas Ahmadiyah -- sebuah komunitas yang berpola pada mesianik Kemahdian. Terdapat sebuah uga di Tenjowaringin bahwa kelak Imam Mahdi akan datang dari arah barat. Gunung Cikuray yang berada di Kabupaten Garut tepat berada di arah barat kawasan ini. Dan begitulah yang terjadi. Ahmadiyah masuk ke Tenjowaringin melalui Garut pada tahun 1949.

Warga kampung besar ini (seakan) telah ditakdirkan. Mayoritas penduduk Tenjowaringin dengan mudah menerima dakwah Sang Mahdi para pendakwah Ahmadiyah. Padahal, Sang Mahdi sendiri berjarak lebih kurang 8.876,2 km di seberang lautan sana dan bahkan dakwahnya sampai ke kawasan ini, 41 tahun selepas kewafatannya. Bukan hanya itu saja, narasi toponimis yang saya uraikan sebelumnya, jejak-jejak tersebut 400 tahun kemudian terwujud berupa kedatangan Hadhrat Mirza Tahir Ahmad r.a. ke Wanasigra pada tahun 2000. Sosok ini adalah penerus status mesianik sekaligus keturunan langsung dari Sang Mahdi. Dialah "waringin" dari "Pajajaran" dalam perspektif spiritual komunitas Ahmadiyah di Tenjowaringin. 

Lalu apa makna di balik nama kampung Wanasigra? Wana yang berarti hutan dan sigra yang menurut para sesepuh di Tenjowaringin berarti sigrong (tinggi dan dipenuhi cahaya) seakan ditakdirkan untuk menjadi titik pusat kesadaran kolektif warga kawasan yang beberapa abad sebelumnya masuk ke dalam kawasan kamandalaan Srimanganti. Hal ini terkonfirmasi dengan adanya kampung di dekat Sukasari yang disebut Cikabuyutan. Wanasigra menjadi pintu gerbang masuknya Ahmadiyah ke Tenjowaringin pada tahun 1949 -- dan uniknya lagi kampung yang merupakan jalan masuk ke kampung Wanasigra bernama Cikuray.

Sulit rasanya untuk mengatakan ini sebagai sebuah kebetulan.

Namun di atas segalanya, I'm fine being old.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun