Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menjadi Tua yang Tidak Hanya Sebatas Menua

22 September 2024   07:56 Diperbarui: 20 Desember 2024   06:28 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam perspektif ini, berusia pada hakikatnya merupakan ungkapan kasih sayang Tuhan. Sungguh bukanlah masalah untuk menjadi tua. It's fine being old. Untuk filosofi yang sama, saya setuju dengan sindiran kosmetikal Anthony Kiedis dari band Red Hot Chili Peppers dalam lagunya yang berjudul -- maaf sekali -- Californication: "Pay your surgeon very well to break the spell of aging." Bagi yang mau, sindir Kiedis, silakan hamburkan sejumlah besar uang untuk membayar ahli bedah plastik guna menangkal mantra usia.

Usia: Kesadaran Berwaktu

Sekaitan dengan usia, sedikit kisah tentang saya dan kampung di mana saya tinggal mengukuhkan betapa berusia adalah sebuah karunia. Dengan catatan, menjadi tua yang tidak hanya sebatas menua. 

Sejak 21 tahun lalu saya tinggal di sebuah desa bernama Tenjowaringin. Menurut catatan sejarah desa ini, Desa Tenjowaringin merupakan gabungan dua desa, yaitu Panenjoan dan Caringin, pada tahun 1910. Kata caringin, yang dalam bahasa Indonesia berarti beringin, dalam bahasa Sunda memiliki sebutan lain, waringin. Jadi Tenjowaringin secara etimologis terdiri dari dua kata, tenjo (melihat, mengawasi, atau mengamati) dan waringin (beringin).

Di Desa Tenjowaringin terdapat nama-nama kampung yang seakan menyimpan pesan bagi para warganya. Kesemuanya terpusat pada keberadaan Gunung Cikuray yang hanya berjarak 14,4 km dari Tenjowaringin. Berikut adalah antara lain nama-nama kampung yang saya maksud: Sukasari, Sindangsari, Panenjoan, Batulawang dan Wanasigra. Uniknya, di desa tetangga Tenjowaringin yang berbatasan dengan Sukasari, terdapat sebuah kampung dengan nama Sindangratu. 

Narasinya saya mulai dari Sukasari dan Sindangsari. Saya punya hipotesis bila kata 'sari' pada kedua nama kampung tersebut merupakan bentuk perubahan dari kata 'sri'. Kata sri yang secara umum diartikan "tuan" dalam penggunaan tertingginya lazim merujuk kepada sosok raja atau pangeran. Tentu sangat menarik untuk mengaitkan Gunung Cikuray dengan Sukasari, Sindangsari dan Sindangratu. Toponimi keempatnya seolah mengilustasikan sebuah perjalanan. Yakni, seorang raja (sangat mungkin keturunan raja) merasa suka atas keindahan alam tempat ini, lalu singgah sejenak (dalam bahasa Sunda singgah adalah sindang) di Sindangsari dan Sindangratu.

Di tempat persinggahan tersebut, sosok penting ini bukan hanya bisa melepas lelah bahkan ia juga dapat menikmati indahnya panorama Gunung Cikuray dari Bukit Panenjoan yang berada di Sukasari. Panenjoan berasal dari kata tenjo. Panenjoan dalam bahasa Sunda berarti tempat untuk melihat, mengawasi atau mengamati. Dan apa yang menjadi objek panenjoan-nya adalah Gunung Cikuray. Menurut Dani Sunjana, Gunung Cikuray dulunya disebut Gunung Srimanganti atau Srimanganten yang kurang lebih berarti gunung tempat penantian para pangeran Pajajaran. Srimanganti mengandung ambiguitas. Ia bisa berarti tempat menanti para pengeran, atau sebaliknya tempat para pangeran menanti. Kedua kandungan arti ini dapat diterapkan kepada Cikuray yang dulunya merupakan sebuah kamandalaan. Pertama, di kawasan kamandalaan kita -- tentu saja tidak sembarang orang bisa -- bertemu para pangeran, atau -- dalam arti yang keduanya -- para pangeran yang tengah belajar di kamandalaan Cikuray seakan tengah menanti masa kepemimpinan mereka sebagai raja.       

Dalam konteks hipotesis ini, nama-nama kampung yang saya sebutkan sebelumnya secara naratif menceritakan bahwa sesosok istimewa pernah bertandang ke kawasan yang kemudian bernama Desa Tenjowaringin. Sosok istimewa ini masuk melalui Batulawang. Lawang dalam bahasa Sunda berarti 'tempat masuk'. Rasa sukanya akan betapa indah alam sebuah kawasan (Sukasari) membuatnya singgah beberapa waktu (Sindangsari/ Sundangratu), di sana ia kemudian menghabiskan waktu di sebuah bukit (Panenjoan) untuk memandangi Gunung Cikuray yang kala itu merupakan tempat calon-calon raja Pajajaran dipersiapkan untuk menjadi raja (Srimanganti). 

Sang tokoh ini sendiri sangat boleh jadi termasuk di antara para pangeran yang sebenarnya berhak belajar di kamandalaan Cikuray. Perjalanan sang tokoh istimewa ini secara filmis tergambar dalam benak saya. Layaknya angka dan kata di mata seorang John Nash dalam film A Beautiful Mind, kesemua nama kampung tadi berbinar dalam benak. Saya merasa begitu istimewa. Merasa terpilih untuk melihat binaran cahaya di balik nama-nama tempat yang teramat biasa bagi warga Tenjowaringin.

Sosok istimewa yang saya hipotesiskan tadi adalah Bujangga Manik (c. 1400-an). Berdasarkan catatan perjalanannya, Bujangga Manik pernah berkunjung ke Gunung Cikuray dan diyakini beberapa ahli sempat tinggal di kawasan sekitar gunung tersebut. Nama sosok istimewa ini sendiri adalah nama lain dari Prebu Jaya Pakuan, seorang pangeran dari Kerajaan Pajajaran yang memilih hidup sebagai seorang resi Hindu.

Kembali kepada toponimi Tenjowaringin. Kata waringin (beringin) menurut banyak sumber, merupakan simbolisasi dari kerajaan, raja atau pangeran -- yang dalam hal ini adalah raja atau pangeran Pajajaran. Lalu apa implikasinya bagi warga Tenjowaringin? Sejauh ini, saya belum mendapatkan jejak Pajajaran di Tenjowaringin yang bisa dikonfirmasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun