Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Purwokerto, Kota Istimewa bagi Si Sulung

12 Agustus 2024   14:11 Diperbarui: 13 Agustus 2024   14:07 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat anak saya yang pertama, Sabeela al-Rahman, berusia tiga bulanan kami sekeluarga berkesempatan mengunjungi kota Purwokerto.

18 tahun kemudian, pada tahun 2023, si sulung lolos diterima di salah satu prodi di Unsoed. Hanya saja, ia urung untuk mengambil prodi tersebut. Ia memilih prodi yang sama hanya di PTN lain.

Tahun ini, 2024, si sulung kembali diterima di Unsoed yang kemudian ia ambil sebagai jalan kelanjutan studinya. Purwokerto seakan ditakdirkan untuk dirinya. 

Kembali, kami sekeluarga mendapat kesempatan lagi untuk berkunjung ke Kota Satria ini. Keadaan kota sudah banyak berubah. Zaman benar-benar telah mengubah wajahnya. Namun, satu hal yang sama: anak, ibu dan bapak kembali bertandang. 

Sementara anak saya yang bungsu, seakan ditakdirkan untuk berhalangan ikut serta sehingga jumlah anggota keluarga yang datang ke Purwokerto pun tetap tiga orang seperti 19 tahun sebelumnya.

Persis seperti kala pertama kalinya. Hanya saja tambahan di luar keluarga inti adalah nenek, uwak dan seorang sepupu yang juga merupakan alumni Unsoed.

Selesai mengurus berbagai persiapan kos, maba dan lainnya, waktu untuk berpisah dengan si sulung tiba. Ia menyalami ibunya, satu per satu dari kami. Saat akan berpisah, sejenak ia melepaskan pandangan ke arah lain. 

Saya tahu persis. Ia menangis. Ia dan adiknya termasuk yang pandai menyembunyikan air mata. Tidak seperti Bapak mereka yang mudah turun tangis.

Kendati demikian, saya mendidik mereka untuk tidak menangis karena derita. "Air mata layak kita teteskan untuk hal-hal yang lebih dari sekedar derita," begitu saya bernasehat.

Tetapi saat rombongan kami bergerak meninggalkan si sulung yang berdiri di depan pintu kosannya, pandangan saya memburam oleh linangan air mata di pelupuk. 

Saya berusaha keras untuk tidak termasuk penganut madzhab do-as I-not-as-I-do-isme. Namun, selalu tidak mudah untuk menahan tangis ternyata. Dan sama sekali tidak bermaksud apologetis, memburamnya pandangan saya tersebut bukan karena derita melainkan lebih kepada ungkapan sayang seorang Bapak - terlebih kepada anak perempuan - yang segera akan ia tinggalkan. Seketika terlintas dalam benak sebuah kisah bersejarah tentang tiga sosok agung. 

Sulit untuk membayangkan bagaimana perasaan Nabi Ibrahim as saat meninggalkan Ismail kecil dan ibunya di lembah gersang Mekah. Kali ini linangan air mata terasa lebih transendental.

Godaan Toponimi

Baturraden tentu tidak untuk dilewatkan bila berkunjung ke Purwokerto. Salah satu landmark utama di kawasan ini.

Awalnya saya mengira nama kawasan ekowisata tersebut Baturaden. Dengan asumsi berasal dari kata "batu" dan "raden". Ternyata saya keliru.

Nama kawasan wisata tersebut yang benar adalah Baturraden - dengan huruf r-nya dua. Secara toponimi, Baturraden berasal dari kata "batur" dan "raden". Batur dalam bahasa Sunda berarti "teman" atau "orang lain". 

Sementara dalam bahasa Jawa antara lain berarti "pembantu". Adapun kata raden nampaknya sudah umum kita ketahui, sebagaimana disebutkan Wikipedia sebagai gelar putra dan putri raja atau gelar keturunan raja, selain itu juga sebagai sapaan atau panggilan kepada bangsawan.

Konon legenda mengisahkan tentang seorang perawat kuda, bernama Suta yang jatuh hati kepada putri sang majikan setelah menyelamatkannya dari serangan ular raksasa.

Namun, sudah bisa diperkirakan, sang majikan tidak restu dan menolaknya. Lalu keduanya melarikan diri kawasan yang sekarang kita kenal sebagai Baturraden, yakni pembantu dan putri majikan.

Sementara Zoetmulder dan Robson dalam Kamus Jawa Kuna-Indonesia mengartikan "batur' sebagai teras dari batu atau pondamen; batu terapan di sekitar pokok pohon.

Boleh jadi kata "batur" dalam arti teras dari batu merujuk kepada batuan basalt yang berada di sungai Gemawang sebagai lelehan lava Gunung Slamet pada tahun 1712 sebagaimana dilaporkan dalam catatan VOC.

Gunung Slamet sendiri oleh Bujangga Manik disebut dengan nama Gunung Agung. Batuan basalt di Baturraden mengingatkan saya pada batuan yang sama di objek wisata Batu Mahpar di kaki Gunung Galunggung.

Telaah toponimi kedua adalah nama Purwokerto sendiri. Purwakerta (umumnya disebut dengan dialek Jawa, Purwokerto) berasal dari kata "Purwa" dan "kerta".

Nama "purwa" (permulaan) konon diambil dari sebuah negara yang ada di tepi Sungai Serayu yang bernama Purwacarita. Sementara kata "kerta" (kesejahteraan) berasal dari nama ibukota kadipaten Pasir yakni Pasirkertawibawa. Apabila digabungkan Purwokerto berarti "Permulaan Kesejahteraan".

Secara etimologis Purwokerto berasal dari kata purwa (Sanskerta, purva, arah timur) maupun kerta (Sanskerta, karta, pekerjaan, karya). Sementara secara sejarah, Purwokerto lahir dari 'keterpaksaan'.

Saat Yogyakerta dan Surakerta berubah menjadi Yogyakarta dan Surakarta, Purwakerta tidak bisa berubah menjadi Purwakarta karena di Jawa Barat sudah ada nama yang sama terlebih dahulu.

Kata purwa (permulaan) darinya kata purba berasal berkaitan dengan arah timur.

Secara semantik, timur adalah arah terbitnya matahari dan karena Matahari adalah sumber cahaya utama bagi Bumi, timur dianggap sebagai permulaan. Mirip kata orient (Latin, timur) yang berarti tempat terbitnya matahari sebagai awal sesuatu. Kata orientasi secara umum kemudian diartikan sebagai tujuan.

Kata karta juga memiliki varian kata yang lebih populer, yaitu karya. Karta yang asal maknanya kerja memang memiliki kaitan erat dengan karya. Kerta (dialek Jawa untuk karta) yang diartikan kemakmuran juga tidak lepas dari makna kerja ataupun karya.

Pepatah Inggris no pain no gain - yang saya artikan tidak ada kerja maka tidak akan ada karya - cukup jitu untuk menerangkan keterkaitan antara kerja dengan kerta.

Purwokerto dan Purwakarta hanya terpaut dua tahun dalam sejarah pendirian keduanya. Bila Purwakarta berdiri 23 Agustus 1830, maka Purwokerto didirikan pada tanggal 6 Oktober 1832.

Kesamaan nama keduanya juga mengukuhkan pendapat beberapa ahli bahwa Banyumas - di mana ibukotanya adalah Purwokerto - dikenal dengan sebutan Sundanya Jawa Tengah. 

Keadaan ini mengingat Kerajaan Galuh yang adalah suku Sunda merupakan kerajaan bercorak Hindu di Indonesia, wilayahnya meliputi Sungai Citarum di sebelah barat dan Sungai Cisarayu (Serayu) juga Cipamali (Kali Brebes) di sebelah timur. Kerajaan Galuh diyakini sebagai penerus dari kerajaan Kendan, bawahan Tarumanagara.

Bagi saya penganut teori connecting the dots, setiap titik dalam linimasa kehidupan seringkali mengejutkan saat ditelisik. Saya yang berasal dari suku Sunda ditakdirkan untuk menyambungkan satu dari sekian titik di kota pendidikan, Purwokerto ini.

Bahasa Ngapak

Satu hal lainnya yang menarik adalah fenomena bahasa Ngapak. Pakar Sejarah dan Budayawan Banyumas, Achmad Tohari mengatakan bahwa Bahasa Jawa Banyumasan adalah turunan lurus dari Bahasa Jawa kuno yang belum mengalami modernisasi masa Kerajaan Mataram Islam. 

Sementara Muhlenbeck, sebagaimana dilansir Solo Pos Jateng, mengatakan bahasa Jawa Banyumasan dibawa oleh warga Suku Kutai di Kalimantan Timur dan menetap di Jawa Tengah dengan mendirikan sebuah kerajaan bernama Kerajaan Galuh Purba. Kerajaan ini diyakini berdiri jauh sebelum Kerajaan Mataram Kuno dan Mataram Islam di lereng Gunung Slamet.

Saya harus menulis secara khusus tentang bahasa Ngapak ini. Sulit memang bagi seorang connector the dots untuk menahan godaan dari titik-titik yang berbinar. Kendati demikian, saya harus berhenti sejenak menarik nafas dan mengakhiri tulisan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun