Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

Aplikasi Suno AI: The Death of Artistry?

1 Agustus 2024   02:00 Diperbarui: 1 Agustus 2024   02:06 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lukisan digital karya AI. Sumber lbbonline.com

Tom Nichols dikenal dengan frasa The Death of Expertise (Matinya Kepakaran). Sementara Roland Barthes mempopulerkan frasa The Death of the Author (Kematian Penulis). Saat pertama mengenal aplikasi Suno, terpikir oleh saya sebuah frasa The Death of Artistry - matinya kesenian. "Suno membangun masa depan di mana semua orang dapat membuat musik yang hebat. Apakah Anda seorang penyanyi 'kamar mandi' atau artis tangga lagu, kami mendobrak batasan antara Anda dan lagu yang Anda impikan. Tidak perlu alat musik, hanya imajinasi. Dari pikiran Anda menjadi musik," tulis laman resmi Suno mengenainya. 

Suno AI, atau hanya Suno, menurut Abby Ward, adalah program kreasi musik dengan kecerdasan buatan generatif yang dirancang untuk menghasilkan lagu-lagu realistis yang menggabungkan vokal dan instrumentasi. Selain Suno, sebuah aplikasi berbasi AI serupa antara lain Udio.

Didirikan oleh tim visioner yang terdiri dari Michael Shulman, Georg Kucsko, Martin Camacho, dan Keenan Freyberg, Suno AI bertujuan untuk mendemokratisasi kreasi musik dalam skala global. Awal berdirinya Suno AI didorong oleh keinginan untuk merevolusi cara pembuatan dan pengalaman musik. Saat mendengar (tepatnya membaca) nama aplikasi ini, Suno, pikiran melayang ke tahun 1990an saat di masjid Mubarak jalan Pahlawan Bandung, saya pernah sedikit belajar bahasa Urdu. Seingat saya - dan itu benar saat saya konfirmasi kepada  Kasyif Ahmad, siswa saya yang cukup akrab dengan bahasa ini - suno berarti "dengarlah!". Apakah nama aplikasi Suno berkaitan dengan makna itu? Tidak terlalu sulit untuk menebaknya. 

"Suno, yang berarti 'dengarlah' dalam bahasa Hindi, telah digunakan secara luas sejak Desember 2023 setelah peluncuran aplikasi web dan kemitraan dengan Microsoft, yang menyertakan Suno sebagai plugin di Microsoft Copilot. Perusahaan rintisan ini baru berdiri sejak tahun 2022 dan telah mendapatkan lebih dari 224 juta dolar dalam bentuk pendanaan melalui 58 putaran, dengan partisipasi dari 135 investor, seperti yang dilaporkan oleh Dataconomy," tulis Suswati Basu dalam What is Suno AI? The music generator making waves.

Namun, ada betikan lain berkenaan dengan kata suno. Dan itu membuat saya sulit menampik godaan untuk tidak berteori bahwa Suno adalah bentuk anagram dari sound - dengan menghilangkan hurup 'd'-nya. Sebuah letter-dropping anagram. Teori ini mengacu pada keterangan yang diberikan Oxford Languages bahwa kata sound berasal dari Bahasa Inggris Pertengahan soun, dari bahasa Prancis Anglo-Norman soun (kata benda), suner (kata kerja), dari bahasa Latin sonus . Bentuk [kata sound] dengan -d di akhir kata diperkirakan lazim mulai abad ke-16. 

Sedikit tentang fenomena kebahasaan anagram ini, seperti halnya suno dengan soun, kata listen juga secara unik anagramik dengan silent. "Ya, menjadi pendengar yang baik membutuhkan sikap diam. Namun, ada lebih dari sekadar diam ketika Anda mendengarkan," ungkap Angie Allison dalam Listen.Silent.

Sungguh, kedua anagram di atas terlalu menarik untuk dilewatkan begitu saja. 

Matinya Kesenian?

The Death of Artistry. Begitu Ben Philips dalam AI-Generated Art and ‘The Death of Artistry' membincang diskursus matinya kesenian oleh serangan AI. Meskipun, yang dimaksudkan dengan artistry  di sini lebih ditekankan kepada seni rupa, khususnya seni lukis.

Pada akhir Agustus 2022,  seseorang bernama Jason Allen memenangkan juara pertama di kompetisi seni rupa Colorado State Fair. Kemenangannya menimbulkan kegemparan, dengan para pengguna di Twitter menyebutnya 'sangat menyebalkan' dan meratapinya bahwa 'Kita menyaksikan kematian seni terjadi di depan mata kita'. Kemarahan mereka tidak ditujukan pada karya seni Allen, namun lebih kepada metodenya dalam menciptakannya.

Karya Allen - Theatre D'opera Spatial - dibuat sepenuhnya menggunakan perangkat lunak AI yang disebut Midjourney. Allen memberikan perangkat lunak ini petunjuk yang digunakan untuk menciptakan karya seni, sebelum mencetak hasilnya di atas kanvas. Dia memasukkan karya tersebut ke dalam kategori seni digital, dan melabelinya sebagai 'Jason Allen via Midjourney'.

Hal ini bisa dibilang merupakan pengajuan yang adil dan transparan ke dalam kategori yang sesuai, tetapi hal ini telah menimbulkan pertanyaan serius tentang seni yang dihasilkan oleh AI-termasuk banyak pertanyaan yang mungkin belum siap kita jawab, tulis Philips.

Kendati kekhawatiran tentang AI yang akan menggantikan manusia dalam keterampilan dan kreativitas - termasuk seniman - dapat dibenarkan, ungkap Philips, akan tetapi tidak dapat dipungkiri ada manfaat nyata dan kuat dalam pemanfaatan AI dalam menyelesaikan tugas-tugas biasa sehingga manusia dapat fokus pada pekerjaan yang lebih menarik.

Singkatnya, daripada bersandar pada ketakutan yang berlebihan tentang teknologi yang sedang berkembang, mungkin inilah saatnya untuk mengingatkan diri kita sendiri bahwa selalu ada ruang bagi yang lama untuk hidup berdampingan dengan yang baru. Sama seperti televisi yang tidak membunuh radio, AI juga tidak akan membunuh kesenian, meskipun mungkin akan mengubah lanskap seni selamanya - mendorongnya ke wilayah-wilayah yang baru dan menarik, pungkas direktur kreatif, film dan konten, di Media.Monks ini.

Kembali kepada Suno, Brian Hiatt dalam A ChatGPT for Music Is Here. Inside Suno, the Startup Changing Everything menyatakan bahwa jauh sebelum kedatangan Suno, para musisi, produser, dan penulis lagu telah menyuarakan keprihatinan mereka akan potensi AI yang dapat mengguncang bisnis. Hiatt mengutip pernyataan Vernon Reid, gitaris Living Colour bahwa:

Musik, yang dibuat oleh manusia yang didorong oleh keadaan yang luar biasa... mereka yang telah menderita dan berjuang untuk memajukan keahlian mereka, harus bersaing dengan otomatisasi besar-besaran dari seni yang telah mereka perjuangkan dengan susah payah. 

Namun para pendiri Suno, lanjut Hiatt, mengklaim bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan dari aplikasi ini seraya menyodorkan metafora bahwa orang masih membaca meskipun mereka memiliki kemampuan untuk menulis. "Cara kami memikirkan hal ini adalah kami mencoba membuat satu miliar orang lebih terlibat dengan musik daripada sekarang. Jika orang-orang lebih menyukai musik, lebih fokus pada penciptaan, mengembangkan selera yang jauh lebih berbeda, hal ini tentu saja bagus untuk para seniman. Visi yang kami miliki untuk masa depan musik adalah musik yang ramah bagi para seniman. Kami tidak mencoba untuk menggantikan para seniman," begitu penegasan Michael Shulman, kutip Hiatt.

Dengan tidak adanya aturan yang ketat terhadap konten yang dibuat oleh AI, ada juga prospek dunia di mana pengguna model seperti Suno membanjiri layanan streaming dengan jutaan kreasi robot mereka. Kembali, Shulman mengatakan, "Suatu hari nanti Spotify mungkin akan mengatakan 'Anda tidak bisa melakukan hal tersebut.'" Terlebih, menurut Shulman, sejauh ini para pengguna Suno terlihat lebih tertarik untuk mengirimkan lagu-lagu mereka ke beberapa teman. 

Saat Hiatt bertandang ke calon kantor pusat Suno yang baru, Shulman memamerkan sebuah area yang akan menjadi studio rekaman yang lengkap. Namun, dengan apa yang bisa dilakukan Suno, mengapa mereka membutuhkannya? 

Sebagian besar [ruangan ini] merupakan ruang untuk mendengarkan [musik]. Kami menginginkan lingkungan akustik yang bagus. Dan kami semua juga senang sekali membuat musik - tanpa AI, aku Shulman.

Kemanusiaan: Tapal Batas Manusia dalam Mencipta

Sebagai penikmat seni, terlebih musik, saya percaya bila potensi kreatif manusia tidak akan pernah bisa sepenuhnya digantikan oleh AI. Sentuhan manusiawi pada musik - termasuk proses kreasi seni lainnya - akan menjadi keunggulan tersendiri bagi para seniman saat AI mendominasi proses kreasi seni kelak. Atau, bila dalam kata-kata Ben Philips, sebagai saat untuk mengingatkan diri kita sendiri bahwa selalu ada ruang bagi yang lama untuk hidup berdampingan dengan yang baru.

Boleh jadi kelak tersebut tidaklah terlalu jauh lagi dimana AI menjadi bagian integral dalam keseharian manusia. Boleh jadi AI segera akan meranjah bidang-bidang yang selama ini dikuasai manusia. Namun, satu hal yang tidak akan pernah tergantikan oleh AI, yakni kemanusiaan itu sendiri.  

Saat tulisan ini berhenti di penghujungnya, saya merasa bersyukur tercipta sebagai manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun