Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Kisah Semangkuk Susu

3 Juli 2024   08:37 Diperbarui: 3 Juli 2024   08:58 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat kecil dulu, di madrasah di kampung tempat saya dibesarkan, salah seorang guru berkaitan dengan kisah di atas menyebutkan bahwa ini merupakan salah satu mukjizat Rasulullah saw. "Susu di dalam mangkuk itu tidak kunjung habis. Sebab bila habis maka akan bertambah dengan sendirinya," jelasnya. "Mukjizat serupa juga pernah terjadi. Diriwayatkan air memancar dari jari-jari Nabi Muhammad saw," tambahnya.

Sulit rasanya bagi anak kecil seusia saya waktu itu untuk memahami fenomena ajaib yang dijelaskan oleh sang guru. Saat ditanyakan kepada Bapak sekembalinya dari madrasah. Bapak dengan diplomatis menjawab bahwa boleh jadi penjelasannya belum bisa kita dapatkan sekarang. "Hanya saja satu prinsip yang harusnya berlaku," kata Bapak. "Mukjizat tidak boleh bertentangan dengan hukum alam dan ketentuan Allah lainnya," simpulnya. 

Kata-kata terakhir dari jawaban Bapak waktu itu sangat menancap di hati. Memang benar, Allah SWT dengan kesempurnaan-Nya tidak mungkin mencederai kesempurnaannya berupa pelanggaran hukum alam yang Dia telah ciptakan. Seperti halnya, terasa salah sekali untuk mengemukakan sebuah ungkapan catat logika "Kuasakah Tuhan untuk menciptakan batu yang begitu besar hingga Dia Sendiri tidak mampu mengangkatnya?" Jawaban "Ya" ataupun "Tidak" keduanya hanya akan menjadikan-Nya bukan lagi Maha Kuasa. Dan itu jelas sebuah cacat  pandang terhadap wujud Tuhan.

Lebih dari 40 tahun kemudian, dan Bapak pun telah berpulang 8 tahun lalu, sebuah persoalan baru muncul. Sejauh mana kita juga telah memahami apa yang kita sebut sebagai hukum alam. Semakin berusia kita semakin dihadapkan pada kenyataan bahwa semkin banyak hal yang awalnya kita rasakan mengetahuinya dengan pasti ternyata masih banyak menyisakan ruang gelap. 

Jangankan yang bersifat gaib, yang bersifat lahir pun ternyata pengetahuan kita bersifat kuantal, tidak bersifat universal dan komprehensif. Keterbatasan kita ini diredaksikan oleh Al-Qur'an dengan pernyataan bahwa hanya Allah lah yang bersifat 'Alimul-ghaibi wasy-syahadah - yang Maha Mengetahui yang tampak secara batiniyah dan lahiriah. Atau, dalam ungkapan Sokratiannya: I (we) know nothing.

Sebuah Pendekatan 

Adakah penjelasan yang membumi untuk peristiwa yang terlalu langitan untuk dinalar ini?

Saya tergoda - dan ini merupakan kesembronoan saya dalam berwacana - untuk mendapatkan penjelasan.  

Secara neurosains, lapar dan kenyang, menurut peneliti Beth Israel Deaconess Medical Center (BIDMC) sebagaimana Neuroscience News dalam Insight Into the Brain’s Control of Hunger and Satiety, telah mengidentifikasi sirkuit saraf yang sebelumnya tidak diketahui yang berperan dalam meningkatkan rasa kenyang, perasaan telah cukup makan. 

Penemuan ini merevisi model terkini untuk kontrol homeostatis — mekanisme yang digunakan otak untuk mempertahankan status quo tubuh — terkait perilaku makan. Temuan ini menawarkan wawasan baru tentang pengaturan rasa lapar dan kenyang dan dapat membantu peneliti menemukan solusi untuk epidemi obesitas yang sedang berlangsung.

"Para peneliti telah lama mengetahui bahwa rasa lapar diatur oleh dua jenis neuron: neuron protein terkait Agouti (AgRP) dan neuron pro-opiomelanocortin (POMC). Neuron AgRP mendorong rasa lapar; merangsang saraf ini memicu makan dalam hitungan menit. Kelompok neuron yang berlawanan, POMC, telah terbukti meningkatkan rasa kenyang. Tikus laboratorium yang direkayasa untuk kekurangan neuron POMC makan makanan dalam jumlah besar dan menjadi sangat gemuk. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun