Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

The Hidden Life of Trees

9 Mei 2024   10:47 Diperbarui: 10 Mei 2024   16:20 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://ceylontoday.lk/

Waktu kecil dulu, saya sering mendapatkan Bapak berbicara dengan tanaman dan pohon. Seingat saya, di samping rumah sederhana kami, tumbuh sebatang pohon jeruk Bali yang tak kunjung berbuah.

Batang pohon jeruk tersebut agak membungkuk ke tanah. Jadi relatif mudah untuk dipanjati. Saya suka memanjatinya untuk membuktikan sebagai anak kampung sejati. Dan barangkali hanya pohon jeruk tersebut yang masuk dalam kategori 'panjatable' bagi saya - dan tidak seperti pohon tinggi lainnya.

Bila dipikir-pikir, tidak kunjung berbuahnya pohon jeruk kami bisa jadi ulah saya yang secara tidak sengaja mengganggu proses penyerbukan. "Ayo berbuahlah kamu," ujar Bapak dalam beberapa kesempatan. "Harus banyak dan manis, ya!" lanjutnya. Geli rasanya melihat Bapak berbicara dengan pohon.

Setelah sekian waktu menunggu, akhirnya pohon jeruk kami berbunga dan berbuah. Manis sekali rasanya. Karena cukup banyak buahnya, kami berbagi dengan tetangga sekitar rumah. Belum pernah rasanya makan jeruk Bali semanis itu. "Pohon juga punya perasaan. Jadi kita harus bersikap lembut kepada mereka," kata Bapak suatu ketika.

Benarkah pohon atau tumbuhan bisa berkomunikasi?

Gara-gara Darwin, tulis Richard Grant dalam Do Trees Talk to Each Other? kita umumnya menganggap pohon sebagai makhluk yang berjuang sendiri, bersaing untuk mendapatkan air, nutrisi, dan sinar matahari, dengan para pemenang menaungi mereka yang kalah dan menghisapnya hingga kering. Industri kayu khususnya malah melihat hutan sebagai sistem penghasil kayu dan medan pertempuran untuk bertahan hidup bagi yang terkuat.

Padahal saat ini, menurut Grant, terdapat banyak bukti ilmiah yang membantah gagasan tersebut. Bukti-bukti tersebut menunjukkan bahwa pohon-pohon dari spesies yang sama bersifat komunal, dan sering kali membentuk aliansi dengan pohon-pohon dari spesies lain.

Pohon-pohon hutan telah berevolusi untuk hidup dalam hubungan yang kooperatif dan saling bergantung, yang dijaga oleh komunikasi dan kecerdasan kolektif yang mirip dengan koloni serangga. Kolom-kolom kayu hidup yang menjulang tinggi ini menarik perhatian ke atas ke tajuknya yang menjulur, tetapi aksi sebenarnya terjadi di bawah tanah, hanya beberapa inci di bawah kaki kita.

Peter Wohlleben, rimbawan dan peneliti asal Jerman, menyebut jaringan komunikasi antara pohon sebagai 'wood-wide web' mengikuti world wide web-nya kita, manusia dalam berjejaring di dunia maya.

Mengutip pernyataan Wohlleben, Grant menulis: 

"Semua pohon di sini, dan di setiap hutan yang tidak terlalu rusak, terhubung satu sama lain melalui jaringan jamur bawah tanah. Pohon-pohon berbagi air dan nutrisi melalui jaringan tersebut, dan juga menggunakannya untuk berkomunikasi. Mereka mengirimkan sinyal bahaya tentang kekeringan dan penyakit, misalnya, atau serangan serangga, dan pohon-pohon lain mengubah perilakunya saat menerima pesan-pesan ini."

Para ilmuwan menyebut jaring komunikasi ini sebagai jaringan mikoriza. Mikoriza sendiri adalah cendawan yang bersimbiosis dengan tumbuhan. Biasanya simbiosis ini terletak di sistem perakaran tumbuhan.

Ada juga cendawan yang bersimbiosis dengan cendawan lainnya, tetapi sebutan mikoriza biasanya ditunjukkan untuk cendawan yang melakukan simbiosis dengan tumbuhan. Ujung akar pohon yang halus dan seperti rambut, tulis Grant, bergabung dengan filamen jamur mikroskopis untuk membentuk tautan dasar jaringan, yang tampaknya beroperasi sebagai hubungan simbiosis antara pohon dan jamur, atau mungkin pertukaran ekonomi.

Sebagai semacam imbalan jasa, jamur mengkonsumsi sekitar 30 persen gula yang difotosintesis oleh pohon dari sinar matahari. Gula inilah yang menjadi bahan bakar bagi jamur, saat mereka mengais-ngais tanah untuk mencari nitrogen, fosfor dan nutrisi mineral lainnya, yang kemudian diserap dan dikonsumsi oleh pepohonan.

Menilik komunikasi simbiotik seperti nampaknya tidak ada yang terlalu aneh untuk menganggap pepohonan dan tumbuhan 'berbicara' satu sama lainnya. Tapi temuan Wohlleben berikut ini mengejutkan.

Suatu ketika, ungkap Wohlleben, ia menemukan tunggul pohon beech (bewuk) raksasa di hutan ini, berukuran empat atau lima kaki.

Pohon itu telah ditebang 400 atau 500 tahun yang lalu, tetapi ketika mengikis permukaannya dengan pisau lipat, Wohlleben menemukan sesuatu yang mencengangkan: tunggul pohon itu masih hijau dengan klorofil.

Hanya ada satu penjelasan. Pohon-pohon beech di sekitarnya menjaganya tetap hidup, dengan memompa gula ke pohon tersebut melalui jaringan. "Ketika pohon beech melakukan hal ini, mereka mengingatkan saya pada gajah," katanya. "Mereka enggan meninggalkan bangkai mereka, terutama jika bangkai itu adalah induk gajah yang besar, tua, dan dihormati."

Hal ini menyiratkan pohon dalam tingkatan tertentu terbukti memiliki ikatan emosional. Jadi ternyata dalam perspektif amatan Wohlleben, apa yang Bapak dulu lakukan tidaklah aneh.

Lalu apa yang 'dibicarakan' pohon ketika tidak ada bahaya dan mereka merasa baik-baik saja?

"Monica Gagliano dari University of Western Australia telah mengumpulkan bukti bahwa beberapa pohon juga dapat mengeluarkan dan mendeteksi suara, dan khususnya, suara berderak pada akar pada frekuensi 220 hertz, yang tidak dapat didengar oleh manusia," ungkap Grant. Rupanya pepohonan tidak ingin obrolan mereka dikuping oleh kita. 

Pohon juga bisa kejam. Menurut Wohlleben pohon memiliki indera perasa. Ketika pohon elm dan pinus diserang ulat pemakan daun, misalnya, mereka mendeteksi air liur ulat, dan melepaskan feromon yang menarik tawon parasit. Tawon bertelur di dalam ulat, dan larva tawon memakan ulat dari dalam. "Sangat tidak menyenangkan bagi ulat," kata Wohlleben. "[Sekaligus langkah] sangat pintar [oleh] pohon-pohon itu."

Sebuah penelitian terbaru dari Universitas Leipzig dan Pusat Penelitian Keanekaragaman Hayati Integratif Jerman, kutip Grant, menunjukkan bahwa pohon-pohon mengetahui rasa air liur rusa.

"Ketika seekor rusa menggigit dahan, pohon akan mengeluarkan zat kimia yang membuat rasa daun menjadi tidak enak," kata peneliti tersebut. "Ketika manusia mematahkan dahan dengan tangannya, pohon mengetahui perbedaannya, dan membawa zat-zat untuk menyembuhkan luka tersebut."

Pohon bisa membedakan antara gigitan rusa dan petikan tangan manusia.

"Tanaman mungkin tidak bisa mendengar seperti kita," kata Dr Dominique Hes, sebagaimana dikutip Seetha Dodd dalam 'They respond to vibrations: does talking to plants actually help them grow?, pakar biofilia dan peneliti utama di Horticulture Innovation Australia. "Namun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa berbicara dengan baik pada tanaman akan mendukung pertumbuhannya, sedangkan jika membentaknya akan berakibat sebaliknya. Namun, daripada arti kata-kata, ini mungkin lebih berkaitan dengan getaran dan volume. Tanaman bereaksi dengan baik terhadap tingkat getaran yang rendah, sekitar 115-250hz yang ideal."

Jadi ternyata Bapak dulu saat minta pohon jeruk Bali berbuah menggunakan bahasa getaran, bukan kata-kata. Nada bicara Bapak yang lembutlah yang membuatnya komunikatif dengan pohon jeruk Bali kami.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun