"Semua pohon di sini, dan di setiap hutan yang tidak terlalu rusak, terhubung satu sama lain melalui jaringan jamur bawah tanah. Pohon-pohon berbagi air dan nutrisi melalui jaringan tersebut, dan juga menggunakannya untuk berkomunikasi. Mereka mengirimkan sinyal bahaya tentang kekeringan dan penyakit, misalnya, atau serangan serangga, dan pohon-pohon lain mengubah perilakunya saat menerima pesan-pesan ini."
Para ilmuwan menyebut jaring komunikasi ini sebagai jaringan mikoriza. Mikoriza sendiri adalah cendawan yang bersimbiosis dengan tumbuhan. Biasanya simbiosis ini terletak di sistem perakaran tumbuhan.
Ada juga cendawan yang bersimbiosis dengan cendawan lainnya, tetapi sebutan mikoriza biasanya ditunjukkan untuk cendawan yang melakukan simbiosis dengan tumbuhan. Ujung akar pohon yang halus dan seperti rambut, tulis Grant, bergabung dengan filamen jamur mikroskopis untuk membentuk tautan dasar jaringan, yang tampaknya beroperasi sebagai hubungan simbiosis antara pohon dan jamur, atau mungkin pertukaran ekonomi.
Sebagai semacam imbalan jasa, jamur mengkonsumsi sekitar 30 persen gula yang difotosintesis oleh pohon dari sinar matahari. Gula inilah yang menjadi bahan bakar bagi jamur, saat mereka mengais-ngais tanah untuk mencari nitrogen, fosfor dan nutrisi mineral lainnya, yang kemudian diserap dan dikonsumsi oleh pepohonan.
Menilik komunikasi simbiotik seperti nampaknya tidak ada yang terlalu aneh untuk menganggap pepohonan dan tumbuhan 'berbicara' satu sama lainnya. Tapi temuan Wohlleben berikut ini mengejutkan.
Suatu ketika, ungkap Wohlleben, ia menemukan tunggul pohon beech (bewuk) raksasa di hutan ini, berukuran empat atau lima kaki.
Pohon itu telah ditebang 400 atau 500 tahun yang lalu, tetapi ketika mengikis permukaannya dengan pisau lipat, Wohlleben menemukan sesuatu yang mencengangkan: tunggul pohon itu masih hijau dengan klorofil.
Hanya ada satu penjelasan. Pohon-pohon beech di sekitarnya menjaganya tetap hidup, dengan memompa gula ke pohon tersebut melalui jaringan. "Ketika pohon beech melakukan hal ini, mereka mengingatkan saya pada gajah," katanya. "Mereka enggan meninggalkan bangkai mereka, terutama jika bangkai itu adalah induk gajah yang besar, tua, dan dihormati."
Hal ini menyiratkan pohon dalam tingkatan tertentu terbukti memiliki ikatan emosional. Jadi ternyata dalam perspektif amatan Wohlleben, apa yang Bapak dulu lakukan tidaklah aneh.
Lalu apa yang 'dibicarakan' pohon ketika tidak ada bahaya dan mereka merasa baik-baik saja?
"Monica Gagliano dari University of Western Australia telah mengumpulkan bukti bahwa beberapa pohon juga dapat mengeluarkan dan mendeteksi suara, dan khususnya, suara berderak pada akar pada frekuensi 220 hertz, yang tidak dapat didengar oleh manusia," ungkap Grant. Rupanya pepohonan tidak ingin obrolan mereka dikuping oleh kita.Â