Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Shifting Paradigm

16 April 2023   01:30 Diperbarui: 16 April 2023   01:29 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 "Jumlah huruf dalam lafal basmalah adalah dua puluh satu huruf. Kesepuluh qurra (pembaca) dari sepuluh qira'at  yang mutawattir sepakat dalam hal ini. Umum diketahui bahwa dalam basmalah terdapat dua alif yang tidak tertulis dalam tulisan, dan keduanya adalah dua alif yang berada sebelum huruf terakhir pada kata Allah---nampaknya ada kekeliruan tulis, mestinya (i)smi---dan ar-Rahman," jawab pengasuh forum tanya jawab dalam Islam Web.

Basmalah sendiri merupakan akronim dari lafal bismillahirrahmanirrahim. Dalam bahasa fenomena kebahasaan ini disebut naht. Seperti halnya Alhamdu lillahi bentuk naht-nya adalah hamdalah, la haula wala quwwata illa billah bila di-naht-kan menjadi hauqalah, dan banyak lagi. Mirip, akronim puskesmas untuk Pusat Kesehatan Masyarakat atau kadarkum untuk Kelompok keluarga Sadar Hukum. 

Syeikh Abdullah bin Ali Basfar, seperti dikutip Wikipedia, menyebutkan bahwa Abdullah bin Mas'ud berkata: "Siapa pun yang ingin Tuhan Yang Maha Kuasa menyelamatkannya dari sembilan belas zabaniyah (malaikat penjaga neraka), biarkan dia membaca dengan nama Allah, Yang Maha Pemurah, Yang Maha Penyayang, karena itu sembilan belas huruf, sehingga Tuhan dapat membuat setiap hurufnya menjadi perisai untuk masing-masing satu dari mereka."

Dari perkataan sahabat ini kita mengetahui bila jumlah huruf dalam basmalah ada 19, berbeda dengan yang disebutkan pengasuh Islam Web, 21 huruf. Lalu, mana yang benar? 

Saya tidak akan menjawab pertanyaan di atas. Melalui tulisan ini saya harap bisa memberikan sedikit gambaran bagaimana kita bersikap bila menemukan pertanyaan serupa di kemudian hari. Dan saya berharap tulisan ini berhasil melalukakannya.

Niel Bohr banyak disebutkan pernah berkata begini: "Ada kebenaran yang bersifat trivial (sepele atau remeh) dan ada kebenaran yang agung. Kebalikan dari kebenaran yang sepele jelas-jelas salah. Sementara, kebalikan dari kebenaran yang agung [bisa] juga [sesuatu yang] benar."

Di lain kesempatan, Bohr juga diriwayatkan berujar: "Kebalikan dari sebuah fakta adalah kepalsuan, sedangkan kebalikan dari satu kebenaran yang mendalam bisa jadi adalah kebenaran yang mendalam lainnya."

Dengan meminjam kedua ungkapan Bohr barusan, saya memberikan clue arah bahasan kita kali ini. 

Matematika Islam (?) 

Adalah Rashad Khalifa adalah seorang ahli biokimia Amerika kelahiran Mesir yang mengklaim telah menemukan kode matematika dalam Al-Qur'an yang ia yakini sebagai mukjizat. Menurut Khalifa, kode ini melibatkan penggunaan angka 19, yang muncul dalam berbagai cara di seluruh Al-Qur'an, seperti jumlah ayat dalam beberapa surah atau frekuensi kata-kata tertentu.

Khalifa mengklaim bahwa kode ini tidak mungkin diketahui oleh Nabi Muhammad saw atau siapa pun pada saat wahyu Al-Qur'an, dan oleh karena itu haruslah berasal dari inspirasi ilahi. Ia juga berargumen bahwa kode ini memberikan bukti keotentikan Al-Qur'an. 

Namun, klaim Khalifa telah dikritik oleh banyak sarjana dan otoritas Islam, yang berpendapat bahwa penggunaan numerologi dalam menafsirkan Al-Qur'an tidak didukung oleh tradisi Islam dan bahwa metodologi Khalifa bermasalah. 

Lebih dari lima tahun lalu, Al-Wahid, sekolah tempat saya mengajar mendapatkan bantuan buku penunjang pembelajaran sekaligus tambahan koleksi perpustakaan. Salah satu buku yang saya ingat adalah Matematika Islam karangan Fahmi Basya dari UIN Syarif Hidayatullah. Salah satu yang pokok dari gagasan utama buku Matematika Islam adalah aksioma angka 19 dalam Al-Qur'an yang senada dengan pandangan Rashad Khalifa.

Dasar acuan dari teori Fahmi Basya juga sama 19 huruf yang terdapat dalam basmalah. "Tidak hanya itu, bukti lain yaitu surat At-Taubah (surat ke-9) yang tidak dimulai dengan bacaan basmalah. Namun, pada surat ke-27, surat An Naml berisi dua basmalah, yaitu pada pembukaan ayat tersebut dan pada ayat ke-30. Gambarannya, seolah-olah bacaan basmalah pindah dari surat 9 ke surat 27. Pemindahan ini pun ternyata berjarak 19 surat, dimana dari 9 sampai 27 ada 19 bilangan. Ini artinya, Allah tidak sembarangan menempatkan surat dan ayat-ayatnya di dalam Al-quran. Banyak bukti-bukti lain, yang intinya ternyata ada sebuah pengaturan. Ini membuktikan keluasan ilmu dan Maha ketelitian Allah Subhanahuwataala dalam mencipta, menyusun dan meletakkan huruf-huruf serta surat-surat Alquran. Dalam ilmu Matematika, seringnya suatu pernyataan (dalam hal ini angka) disebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa 19 adalah suatu aksioma dalam Al-Quran," tulis Thina Ardliana di laman resmi Institut Teknologi Sepuluh November.  

"Sering kali latar belakang pemikiran Khalifa dikaitkan dengan jumlah huruf dalam lafal basmalah. Dalam hitungannya, lafal basmalah terdiri dari 19 huruf yang nyata. Hitungan seperti ini juga diikuti oleh Rosman Lubis dan Fahmi Basya. Namun, dijelaskan bahwa hitungan tersebut [hanya] berdasarkan tulisan," tulis Uun Yusufa di jurnal IAIN Kudus.

Pernyataan Uun Yusufa menyiratkan bahwa jumlah huruf dalam basmalah tidak mutlak 19. Secara rasm (tulisan) benar ada 19 huruf sebagaimana jauh sebelum Rashad Khalifa, Ibnu Mas'ud juga sudah menyatakannya. Tulisan Jaenuri, dosen UNU Surakarta tentang mengapa secara tulisan huruf alif pada kata ismi dihilangkan sangat menarik untuk dibaca. Namun, bagaimanapun versi 21 huruf sebagaimana yang disebutkan pada awal tulisan termasuk yang merelatifkan banyaknya huruf dalam basmalah.

Dengan penjelasan penguat dari Jaenuri, maka paradigma matematis yang diciptakan Khalifa dan Basya kokoh berdiri. Terlepas dari adanya pro dan kontra, kemukjizatan Al-Qur'an secara matematis ini patut diapresiasi selama konsisten dengan disiplin keilmuan yang lainnya. Saya tidak akan menilai.

Hanya saja, bila suatu jumlah huruf dalam basmalah kita terima 21, maka seluruh konstruk teori yang dibangun Khalifa dan Basya akan runtuh. Dan bila ingin tetap bersikukuh agar tetap bertahan, tidak ada cara lain kecuali merekonstruksinya dari awal lagi. Lalu apakah itu akan membuktikan bahwa kemukjizatan Al-Qur'an gugur? Tentu tidak. Sama halnya apabila dengan jumlah huruf dalam basmalah ada 21. Lalu apakah bila dengan 21 dan kita tidak bisa mengulangi konstruk aksioma 19 menjadi bukti tidak adanya kemukjizatan Al-Qur'an? Tentu tidak juga. 

Inilah implikasi yang ingin saya sampaikan---yang saya ambil dari pernyataan Niels Bohr di awal tulisan.      

Lincah Berparadigma

Anggaplah ada dua kubu yang berbeda berkenaan dengan aksioma 19 dalam Al-Qur'an berikut teori turunnya. Seperti dikemukakan sebelumnya, saya tidak ingin menilai atau menghakimi. Saya hanya ingin bernarasi saja. Sebuah narasi tentang kelincahan berparadigma sangat diperlukan agar kita tetap melaju dalam linimasa pemikiran kita.  

Sudah rahasia umum kalau Einstein tidak menyukai mekanika kuantum. Ia tidak setuju dengan prinsip dasar teori tersebut, yaitu ketidakpastian. Einstein percaya bahwa dunia alam semesta adalah deterministik dan dapat dijelaskan secara lengkap melalui hukum-hukum fisika yang ketat. Namun, mekanika kuantum justru mengusulkan bahwa dalam skala partikel sub-atom, ketidakpastian adalah alami dan tidak dapat dihindari. "Tuhan bermain dadu," rutuknya. Sebuah rutukan yang kemudian viral jadi sebuah quote favorit, yang hanya bisa dikalahkan oleh foto juluran lidahnya yang ikonik.  

Einstein juga mengkritik mekanika kuantum karena ia, padahal secerdas itu, tidak sepenuhnya memahami aspek-aspek teori tersebut. Misalnya, ia tidak dapat menerima bahwa partikel dapat berada dalam dua tempat sekaligus (superposisi) dan dapat terikat secara tidak terduga (ikatan kuantum). Ia merasa bahwa ini bertentangan dengan logika dasar dan tidak dapat diterima secara filosofis. "[Gambaran] dunia yang tengah dihadirkan oleh mekanika kuantum terlalu jelek untuk menjadi kenyataan," ungkapnya ketus seperti dikutip David Papineau dalam Learn about Niels Bohr and the difference of opinion between Bohr and Albert Einstein on quantum mechanics. Namun, walaupun Einstein tidak menyukai mekanika kuantum, ia tetap menghargai kontribusi dari para fisikawan yang mempelajarinya dan bahkan berkolaborasi dengan beberapa di antaranya dalam penelitian terakhirnya. 

Inilah yang saya ingin sebut sebagai kelincahan berparadigma. 

Kejutan yang tak kunjung henti 

Sekitar tahun 2001-2002, senior saya yang pernah disebutkan dalam salah satu tulisan sebelumnya, memberi tahu saya bahwa ada sebuah partikel hipotetis yang bergerak jauh lebih cepat daripada cahaya. Terbayang oleh saya betapa akan murkanya Einstein. Boleh jadi dari dalam kubur sebuah rutukan akan menggelegar. Tidak ada sesuatu pun di alam semesta ini yang dapat melaju lebih cepat dari kecepatan cahaya. Ini aturan mainnya. 

Partikel hipotetis muncul karena ada fenomena dalam fisika partikel yang tidak dapat dijelaskan dengan teori partikel yang ada pada saat itu. Misalnya, terdapat fenomena yang teramati di laboratorium di mana beberapa partikel tampaknya kehilangan energi secara tiba-tiba dan menjadi tidak stabil. Para fisikawan pada saat itu tidak dapat menjelaskan fenomena ini dengan menggunakan teori partikel yang ada pada saat itu. Gerald Feinberg kemudian mengusulkan konsep  Tachyon pada tahun 1967 sebagai alternatif untuk menjelaskan fenomena tersebut. Feinberg mengusulkan bahwa Tachyon mungkin adalah partikel yang selalu bergerak lebih cepat dari kecepatan cahaya di ruang hampa dan karena itu memiliki sifat yang tidak dapat dijelaskan oleh teori partikel yang ada pada saat itu.  Kata tachyon berasal dari bahasa Yunani tachys yang berarti cepat.

Konsekuensi teoretis dari adanya partikel ini adalah adanya pelanggaran hukum kekekalan energi dan hukum kausalitas. Dan yang sudah pasti akan sangat berpengaruh terhadap teori relativitas yang sejauh ini sudah sangat membantu kita memahami semesta.

Atau, bagaimana bila sesungguhnya kecepatan cahaya ternyata lebih cepat dari yang saat ini kita yakini selama ini. Hal ini akan memiliki dampak signifikan pada banyak bidang fisika, bahkan termasuk fisika kuantum. Meski kabar gembiranya, tachyon jadi tidak begitu 'cepat-cepat amat'.

Atau, untuk yang terakhir, bagaimana bila waktu itu tidak ada sama sekali. Sebuah dunia nirwaktu ala Barbourian seperti yang saya sampaikan dalam Riwayat Sang Kala.

Kelincahan berparadigma adalah nama lain dari memperbaharui pemaknaan. Tidak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri. Kullu yawmin Huwa fi sya'nin---setiap hari Dia (Allah) menampakkan keadaan yang berbeda (QS Ar-Rahman: 29). Begitu, Sang Pencipta mengabari kita tentang keadaan-Nya. Dia mengajarkan kelincahan berparadigma.

Everyday is a new day begitu dendang Diana Ross. Sebuah lagu romansa yang juga menyiratkan kelincahan berparadigma mengalun lembut melalui headphone. Saya kadang terlalu ekspresif kalau mendengarkan alusan musik. Bilah ketik laptop suka mendadak berubah seakan tuts-tuts keyboard. Saya harus mengakhiri tulisan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun