Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Cahaya

5 April 2023   04:31 Diperbarui: 5 April 2023   04:37 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.artpal.com/

Sebuah tanya sekian lama berkutat dalam benak. Mengapa dalam Al-Qur'an Allah seakan membuat pernyataan yang bertentangan. Dimana, dalam ayat ke-35 An-Nur ini Allah memisalkan diri-Nya sebagai Cahaya di langit dan bumi, Allahu nuurus-samaawati wal-ardhi; sementara itu pada ayat ke-11 dari Asy-Syura, Dia menegaskan Laysa kamitslihi syai'un---bahwa tidak ada sesuatu apapun yang semisal dengan-Nya. 

Adalah mustahil bagi kita sebagai makhluk untuk mampu mengandaikan Wujud Allah. Hanya Dia Sendirilah yang bisa melakukannya sesuai hikmah-Nya. Jadi, saat Dia memisalkan diri-Nya dengan Cahaya, maka dipastikan ada suatu hikmah besar di dalam ciptaan-Nya yang bernama cahaya. Mari kita coba kuak sedikit hikmahnya!

Filosofi Cahaya

Dalam The Vision of Islam, Sachiko Murata dan William C. Chittick menulis:  

 "Biasanya, kita menganggap cahaya sebagai yang terlihat, tetapi sebenarnya tidak terlihat. Kita hanya bisa melihat cahaya ketika bercampur dengan kegelapan. Jika hanya ada terang dan tidak ada kegelapan, kita akan dibutakan oleh intensitasnya. Lihatlah apa yang terjadi saat Anda menatap matahari, yang jaraknya 93 juta mil dan dilihat melalui atmosfer bumi. Jika kita pindah ke luar atmosfer, hanya beberapa mil lebih dekat ke matahari, kita tidak mungkin melihatnya sesaat tanpa kehilangan penglihatan kita. Apa yang kita sebut cahaya tampak adalah benda yang sangat pucat. Itu hampir tidak bisa dibandingkan dengan sinar matahari tanpa filter, apalagi dengan cahaya ilahi, yang menerangi seluruh kosmos. Oleh karena itu, dikatakan dalam Islam bahwa cahaya Tuhan begitu terang sehingga semua orang telah dibutakan olehnya.

Tuhan tidak terlihat, malaikat tidak terlihat, dan cahaya tidak terlihat. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Tuhan dan malaikat adalah cahaya. Anda mungkin keberatan dan mengatakan bahwa kita melihat cahaya bersinar di mana-mana, tetapi kita tidak melihat malaikat atau Tuhan, bukan? Tauhid (Keesaan Tuhan) mengatakan kepada kita bahwa tanda-tanda itu tidak lain dari pancaran Tuhan, dan makhluk tidak lain adalah tanda lahiriah dari daya kreatif Tuhan. 'Tuhan adalah cahaya langit dan bumi' (24:35), dan langit dan bumi adalah pancaran atau pantulan cahaya itu."

Lebih lanjut, Murata dan Chittick menguraikan filosofi cahaya:

"Cahaya tidak terlihat, namun tanpa cahaya kita tidak akan bisa melihat apa pun. Oleh karena itu, cahaya dapat didefinisikan sebagai suatu yang tak terlihat yang membuat benda-benda lain terlihat. Begitu juga dengan Tuhan dan para malaikat, mereka tak terlihat, namun tanpa mereka tidak akan ada alam semesta. Oleh karena itu, Tuhan dan para malaikat dapat digambarkan sebagai suatu yang tak terlihat yang membuat alam semesta terlihat.

Kebalikan dari cahaya adalah kegelapan, dan kegelapan hanyalah ketiadaan cahaya. Dengan kata lain, cahaya adalah sesuatu, namun kegelapan adalah ketiadaan. Kita bisa melihat sesuatu karena suatu ketiadaan telah bercampur dengan sesuatu. Kita tidak akan bisa melihat jika hanya ada cahaya atau hanya kegelapan. Cahaya dan kegelapan harus bersatu agar penglihatan dapat terjadi.

Tuhan adalah Cahaya. Kebalikan dari cahaya adalah kegelapan, yang merupakan ketiadaan. Dengan kata lain, Tuhan tidak memiliki lawan yang sebenarnya, karena ketiadaan sebenarnya bukanlah sesuatu. Jika tidak ada apa-apa, bagaimana mungkin kita membicarakan kebalikan? Tentu saja, kita mengatakan bahwa ketiadaan adalah kebalikan dari sesuatu, tetapi ketiadaan ini tidak ada kecuali sebagai suatu ungkapan atau sebagai objek yang diasumsikan untuk tujuan diskusi dan penjelasan.

Apakah makhluk-makhluk itu cahaya atau kegelapan? Jawabannya, tentu saja, adalah bahwa mereka bukan cahaya dan bukan kegelapan, atau bahwa mereka keduanya. Jika mereka cahaya dan hanya cahaya, maka mereka akan menjadi Tuhan, dan jika mereka kegelapan dan hanya kegelapan, maka mereka tidak akan ada. Oleh karena itu, mereka hidup di suatu dunia antah-berantah yang tidak ada cahaya ataupun kegelapan.

Dalam hal tashbih (sifat Tuhan yang bisa ditiru), segenap makhluk adalah cahaya, namun dalam hal tanzih (sifat Tuhan yang tidak ditiru) mereka adalah kegelapan. Dengan kata lain, sejauh mana benda-benda itu mirip dengan Tuhan, mereka bersinar, tetapi sejauh mana mereka tidak dapat dibandingkan dengan Tuhan, mereka gelap. Mereka harus memiliki sedikit cahaya, jika tidak mereka tidak akan bisa ada."

Kisah di Balik Terang

Kita tidak dapat benar-benar melihat materi. Apa yang kita lihat adalah cahaya yang memantul dari materi yang masuk ke dalam mata kita, yang kemudian ditafsirkan oleh otak kita sebagai materi, sebagai objek. Jadi, kita tidak melihat objek itu sendiri tetapi cahaya yang memantul darinya. Begitu penjelasan dari Arvin Ash dalam Why Does Light Exist? What is Its Purpose?

"Hampir semua informasi yang Anda miliki tentang ruangan Anda dibawa oleh benda-benda kuantum kecil yang membentuk cahaya yang disebut foton. Dan informasi ini, tentu saja, bergerak dengan kecepatan cahaya. Jika cahaya tidak ada, Anda tidak akan mampu mengumpulkan informasi visual apapun tentang alam semesta. Seluruh alam semesta akan gelap gulita bagi Anda," tambah Arvin, "Tapi akan jauh lebih buruk dari itu karena Anda juga tidak akan ada tanpa cahaya. Nyatanya tidak ada kehidupan seperti yang kita tahu akan ada. Cahaya memainkan peran penting dalam keberadaan alam semesta."

Cahaya bahkan lebih mendalam lagi perannya di alam semesta kita. Cahaya digunakan alam semesta kita untuk mentransfer energi dari satu hal ke hal lain. Arvin mengajak kita untuk terlebih dahulu memahami bagaimana matahari (dan juga bintang lainnya) bersinar.

Dalam inti matahari, menurutnya,  4 atom Hidrogen bergabung membentuk inti Helium melalui proses yang disebut fusi. Proses ini melepaskan banyak energi karena satu inti Helium lebih stabil dan berada dalam keadaan energi yang lebih rendah daripada 4 inti Hidrogen yang digunakan untuk membuatnya. Sebagian besar energi yang dilepaskan ini dalam bentuk sinar gamma, yang merupakan foton berfrekuensi sangat tinggi atau berenergi tinggi. Namun sinar gamma ini tidak pernah mencapai kita karena energinya terserap dalam plasma padat matahari.

Bahkan, meskipun foton ini bergerak dengan kecepatan cahaya, mereka membutuhkan waktu ribuan tahun untuk mencapai permukaan matahari karena gerakan acak yang mereka alami di dalam inti matahari, sehingga pada saat mereka mencapai permukaan, mereka energi turun dalam kisaran cahaya tampak. Jadi inilah yang menjelaskan asal mula cahaya dari matahari. 

Sementara  berkenaan dengan sumber cahaya buatan yang kita buat, seperti dari lampu jalan, atau lampu yang kita nyalakan di rumah kita pada malam hari, atau juga api pada umumnya, Arvin menjelaskan:

"Hampir semua cahaya yang tercipta di bumi adalah hasil dari kolaps elektron ke orbit yang lebih rendah dalam sebuah atom, setelah mereka dieksitasi oleh beberapa sumber energi ke keadaan energi yang lebih tinggi. Dalam atom, elektron berada dalam orbit diskrit tertentu yang dapat dihitung secara kasar dengan bantuan persamaan Schrdinger. Elektron ini dapat tereksitasi ke orbit yang lebih tinggi ketika menyerap energi, sering kali tereksitasi oleh foton.

Sekarang kita memiliki atom dengan satu atau lebih elektron dalam keadaan tereksitasi, dengan demikian keadaan energi yang lebih tinggi daripada keadaan energi terendah yang mungkin ada. Tetapi karena semua sistem di alam lebih suka berada dalam keadaan terendahnya, elektron tereksitasi ini pada akhirnya akan bergerak kembali ke orbit yang lebih rendah. Dan dalam proses ini, kelebihan energi dilepaskan sebagai foton. Hampir semua cahaya buatan di bumi dihasilkan oleh proses elektron yang jatuh ke keadaan energi yang lebih rendah."

Ternyata dalam hal sesepele menekan tombol on-off lampu, atau saat memantikkan korek api, ada serangkaian penjelasan fisika yang pelik. Jadi orang awam ternyata lebih aman dari gangguan segala keruwetan. 

Bukan Hanya Membuat Kita Melihat, Tapi Juga Merasa

Lho bagaimana bisa? Arvin melanjutkan penjelasannya:

"Teori elektrodinamika kuantum yang dikembangkan pada tahun 1940-an oleh Richard Feynman dan lainnya mengungkapkan bahwa gaya elektromagnetik dimediasi oleh foton. Dengan kata lain, ketika muatan sejenis saling tolak, seperti pada magnet atau dua elektron, partikel yang membawa gaya ini adalah bentuk foton virtual.

Hal yang sama berlaku untuk gaya tarik-menarik seperti antara proton dan elektron, atau dua kutub magnet yang berlawanan. Foton virtual membawa kekuatan itu juga. Sejumlah besar gaya yang menurut Anda kenal tidak akan mungkin terjadi tanpa foton. Jadi misalnya, gesekan antara sepatu Anda dan tanah yang memungkinkan Anda berjalan, atau gesekan antara ban mobil Anda dan jalan pada dasarnya merupakan produk elektromagnetisme.

Ini karena gesekan disebabkan oleh interaksi elektromagnetik antara atom-atom dari dua permukaan kontak. Tanpa cahaya, Anda juga tidak akan merasakan apa-apa, karena sentuhan adalah hasil dari elektromagnetik interaksi antara kulit Anda dan permukaan yang Anda sentuh. Dan karena atom-atom dalam tubuh Anda disatukan karena interaksi elektromagnetik antara inti bermuatan positif dan elektron bermuatan negatif yang mengorbitnya, atom juga tidak akan ada tanpa cahaya."

Sulit rasanya menerima hal yang baru saya dapatkan ini. Tidak ada cahaya berarti tidak ada atom, tidak ada laptop, tidak ada hp, tidak ada pembaca---dan juga saya. Dan yang tersulit untuk dibayangkan adalah bahwa tidak akan ada alam semesta seperti yang kita kenal. 

Hikmah di Balik Permisalan Cahaya

Bila ada yang bertanya: mengapa Dia Yang Mahasegala harus memisalkan Diri-Nya dengan ciptaan-Nya---sebagaimana Dia lakukan saat bersumpah atas nama ciptaan-Nya?

Dia menginginkan kita menafakuri ciptaan-Nya yang melaluinya secara samar-samar---dan bagi beberapa barangkali jauh lebih jelas---menampak 'jejak' Sang Pencipta. Sama halnya saat Dia menggambarkan nikmat sorgawi  dalam Al-Qur'an dengan memisalkan benda-benda duniawi, Dia membiarkan kita untuk sedikit mampu membayangkannya.

Nah, bila untuk sorga yang adalah ciptaan-Nya saja dikatakan  bahwa kenikmatannya belum pernah dilihat mata, didengar telinga, serta terlintas di hati manusia, maka apalagi Allah Sang Mahaghaib. 

Bersamaan dengan niat untuk mengakhiri tulisan ini, dengan mengetahui sedikit keagungan ciptaan-Nya berupa cahaya baik secara metafisika maupun fisika, sebentuk rasa tenang menyelinap dalam relung hati. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun