Dua hari terakhir ini terasa emosional. Anak-anak didik yang selama tiga tahun---meski banyak terinterupsi oleh situasi pandemi---bergantian pamit dan mohon doa untuk melangkah jauh dari almamater mereka.Â
Saya tidak percaya dengan perpisahan. Tapi tak bisa dipungkiri ada sensasi hampa dalam sebagian bilik hati ini. Inilah barangkali yang disebut sebagai efek dari berubahnya dimensi kebersamaan. Seiring berjalannya waktu, tentu semua akan kembali terbiasa.
Tulisan ini saya mulai selepas Zhuhur siang tadi. Sementara itu di arah timur terlihat awan mendung menggayut. Sekira pukul dua siang saya jeda dulu untuk mengisi kuliah umum Pesantren Ramadan di masjid  dekat rumah.
 Jelang Ashar hujan pun turun dengan lebatnya. Hujan---terlebih bila lebat dan disertai anging kencang---seringkali diikuti risiko tanah longsor ataupun pohon roboh. Konsekuensinya adalah pemadaman listrik. Saya harus bermain tempo.
Namun, rupanya harus kembali tertunda. Saat akan melanjutkan tulisan, anak bungsu saya, Yaqzhan menagih janji untuk ditemani main ke Garut.Â
Garut adalah sebuah kota kecil---tetangga kabupaten Tasikmalaya---yang pada masa kolonial Belanda dulu diberi julukan Swiss van Java atau Swiss-nya pulau Jawa. Tulisan pun kembali saya tunda hingga kembali pulang, berbuka puasa dan menunaikan sembahyang tarawih. Nampaknya ini akan menjadi tulisan yang paling lambat saya selesaikan.
A Tourist Reads the Koran
Setidaknya sejauh ini sudah tiga kali saya mengutip nama Lesley Hazleton dalam tulisan saya. Wanita Yahudi agnostik ini memang piawai dalam bertutur tetapi juga berusaha untuk jujur. Masih dalam paparannya A Tourist Reads the Koran di TEDxRainier, saat berbagi tentang pengalamannya membaca Al-Qur'an ia menuturkan:
"Saya tahu banyak non-Muslim yang tidak berniat baik yang mulai membaca Al-Qur'an, namun kemudian ia menyerah, terganggu oleh keliyanan-nya. Â Sejawaran Thomas Carlyle saja yang menganggap [Nabi] Muhammad sebagai salah seorang tokoh teragung dunia, bahkan masih menganggap Al-Qur'an sebagai 'satu bacaan yang melelahkan yang pernah saya alami; membosankan, [dan] kerancuan yang membingungkan.'
Salah satu dari masalahnya, hemat saya, adalah kita membayangkan bahwa Al-Qur'an bisa dibaca seperti halnya kita membaca sebuah buku [biasa]---seakan kita bisa sambil tiduran di sebuah sore berhujan dengan sepiring popcorn dalam jangkauan kita, [atau] seakan Tuhan itu---dan Al-Qur'an sepenuhnya adalah firman Tuhan kepada [Nabi] Muhammad---tak lebih dari penulis buku lainnya dalam daftar best-seller. Malah, kenyataannya sangat sedikit orang yang benar-benar membaca Al-Qur'an dan itulah mengapa begitu mudah untuk sekedar mengutip---atau tepatnya, untuk keliru dalam mengutip.
Frasa-frasa dan kutipan-kutipan ditukil keluar dari konteks, yang untuk itu saya menyebutnya sebagai 'versi stabilo' yang ironisnya menjadi versi favorit baik fundamentalis muslim maupun kelompok Islamofobis."
Hazleton menampar dua wajah sekaligus: fundamentalisme dari pihak dalam dan Islamafobisme kebalikannya. Tidak setiap orang bisa melakukan ini. Dan Hazleton adalah salah satu dari yang sedikit itu.
Thomas Carlyle dan Lesley Hazleton
Lesley Hazleton menyindir Thomas Carlyle (1795-1881) sebagai masih 'hijau' dalam membaca Al-Qur'an sebagaimana disebutkan sebelumnya. Padahal Carlyle begitu gagah bersuara saat berhadapan bigotry orientalisme berkenaan dengan Nabi Muhammad saw.. Untuk memberikan sedikit gambaran berkenaan dengan sosok Carlyle berikut saya kutipkan sikap tegasnya tersebut dalam kata-katanya sendiri: Â
"Sungguh memalukan bagi siapapun yang [masih] mendengarkan tuduhan bahwa Islam ada kebohongan dan bahwa [Nabi] Muhammad adalah seorang pembual dan penipu. Kami memandang bahwa dia tetap bersabar terhadap pengikutnya dengan sikap yang teguh, baik dan murah hati, penuh kasih sayang, salih, bestari, manusia sejati, pekerja keras dan tulus.Â
Di samping semua kualitas diri ini, dia bersikap lembut kepada yang lainnya, tolerans, ramah, ceria dan terpuji, dan boleh jadi dia suka bercanda dan menggoda para sahabatnya.Â
Dia itu adil, jujur, cerdas, murni, murah hati dan kekinian; wajahnya bercahaya seakan dia memiliki cahaya di dalam dirinya sehingga mampu menerangi malam-malam yang tergelap; dia adalah seorang insan agung dalam sifatnya meskipun tak terdidik oleh sebuah lembaga pendidikan ataupun seorang guru karena sejatinya dia tidak memerlukan semua ini."(Thomas Carlyle, On Heroes, Hero Worship and the Heroic in History)
Menilik kapasitas Carlyle dari kata-katanya ini, harus diakui Hazleton memang bukan sembarangan bila ia berani mengkritiknya dalam konteks bacaannya terhadap Al-Qur'an.
Laylatul Qur'an
Tanggal 19 April 2022 bertepatan dengan hari ke-17 Ramadan yang lazim diisi dengan peringatan Nuzulul Qur'an atau turunnya Al-Qur'an. Bagi pembaca yang ingin menyegarkan pengetahuan kita tentang apa perbedaan Nuzulul Qur'an dan Laylatul Qadar bisa membaca artikel yang ditulis oleh Ustadz M. Mubasysyarum Bih di laman Islam NU dengan judul Perbedaan Nuzulul Qur'an dan Lailatul Qadar.
Karena Laylatul Qadar tidak biasa diperingati dan hanya 'dicari' oleh kaum muslimin, maka saya tidak akan membahasnya untuk kali ini. Adalah Nuzulul Qur'an yang menggelitik untuk sedikit saya diskusikan. Dan ini terkait dengan kenangan saat masa kecil dulu.
Saya terlahir di keluarga Ahmadiyah. Tumbuh dan berparadigma Islam dalam perspektif Ahmadiyah. Ketika kecil dulu sempat bertanya kepada ayah saya tentang mengapa kami tidak memperingati Nuzulul Qur'an. Padahal saya perhatikan ayah dan ibu saya selalu mengkhatamkan Al-Quran setiap Ramadannya.Â
Hal yang kemudian diikuti oleh anggota keluarga kami. Dan mohon maaf, kami tidak memiliki Tadzkirah yang oleh beberapa pihak dituduhkan sebagai kitab sucinya pengikut Ahmadiyah. Mohon maaf itu tidak benar. Kedua orang tua saya sampai meninggalnya tidak pernah memiliki kitab itu. Sedangkan Al-Qur'an kami memilikinya dari berbagai cetakan dan terbitan.
Lalu mengapa Nuzulul Qur'an tidak secara istimewa diperingati di lingkungan keluarga kami?
Saya diarahkan untuk membaca tafsir atau catatan kaki dalam Al-Qur'an terbitan Jamaah Ahmadiyah. Betapa kagetnya saat menemukan satu catatan bahwa Al-Qur'an pertama kali turun pada tanggal 24 Ramadan. Lho bukanya tanggal 17 Ramadan?
Lalu sebuah tanya kembali muncul. Nampaknya 17 Ramadan juga bertentangan dengan keyakinan bahwa Laylatul Qadar sebagai malam turunnya Al-Qur'an sebagaimana diisyarahkan dalam Surah Al-Qadr menurut sabda Nabi Muhammad saw jatuh di malam-malam ganjil pada puluhan terakhir Ramadan.Â
Tanggal 17 jelas bukan merupakan salah satu malam di puluhan terakhir. Tanggal ideal untuk Laylatul Qadar adalah 21, 23, 25, 27 atau 29. Saat itu semuanya terasa membingungkan. Hanya saja saya jadi memahami alasan ayah saya, sebagai Ahmadi, tidak memperingati secara khusus peristiwa Nuzulul Qur'an pada tanggal 17 Ramadan. Boleh jadi diam-diam memperingatinya pada tanggal 24 Ramadan. Saya tidak pernah tahu itu.
Berakhir untuk Bersambung
Malam ini saya sebut sebagai Laylatul Qur'an atau malamnya Al-Qur'an. Sebuah malam yang didedikasikan untuk menikmati Al-Qur'an dengan segala pernak-perniknya. Termasuk membaca kitab klasik-nya Theodore Noldeke (1836-1930), The History of the Qur'an.
Selain paling lambat selesainya, tulisan kali ini akan menjadi tulisan pertama yang bersambung.
Sampai jumpa!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H