Hal ini ditegaskan dengan adanya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor 24 Tahun 2020 yang mengizinkan penggunaan kawasan hutan lindung dipakai untuk proyek food estate atau lumbung pangan.
Koordinator Nasional Pantau Gambut, Iola Abas menyampaikan pengembangan Food Estate contohnya komoditas padi di lahan gambut tidaklah tepat.
Karena tanaman padi tidak dapat tumbuh maksimal di lahan gambut dengan kandungan sedimen pirit tinggi. Akibatnya risiko gagal panen padi cukup tinggi.
Lahan seluas 62.000 hektare area sawah padi yang masuk program food estate berada di atas lahan eks-Pengembangan Lahan Gambut (PLG).
Sama halnya pengembangan food estate komoditas singkong di Kabupaten Gunung Mas yang gagal panen, karena pengembangan singkong yang tidak cocok dengan karakteristik tanah di wilayah tersebut yang berpasir.
Kegagalan program food estate menurut Pengampanye Pantau Gambut, Wahyu Perdana, disebabkan oleh 3 hal yaitu regulasi, ekologi, hingga aktor.
”Kami menggarisbawahi setidaknya terdapat tiga masalah dalam program food estate ini, mulai dari regulasi, ekologi, hingga aktor. Petani tidak diletakan sebagai aktor utama. Sayangnya, pemerintah tidak pernah sukses menyediakan pangan dengan baik,” kata Wahyu dikutip dari Kompas (3/3/2023).
Hasilnya lebih dari 600 hektare lahan singkong dan 17.000 hektare lahan padi mangkrak dan gagal panen.
Bekas lahan food estate tandus dan kosong, menyisakan dampak lingkungan yang menyebabkan wilayah Kalimantan rentan bencana longsor dan banjir bandang seperti yang dilaporkan oleh Greenpeace di tahun 2021.
Selain itu food estate dinilai meninggalkan permasalahan konflik agraria. Dimana hutan-hutan adat yang selama ini dikelola oleh masyarakat adat diambil paksa untuk pengembangan food estate tanpa melibatkan masyarakat adat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H