Mohon tunggu...
Dodik Suprayogi
Dodik Suprayogi Mohon Tunggu... Lainnya - Independen

Independen

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Food Estate: Andalan Ketahanan Pangan atau Penyebab Kerusakan Hutan?

2 Juli 2023   10:07 Diperbarui: 2 Juli 2023   10:20 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hamparan Sawah Padi (Foto : Biro Komunikasi Publik Kementerian PUPR)

Menyimak wawancara eksklusif antara Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan RI dengan Najwa Shihab, jurnalis kondang di chanel Youtube Mata Najwa yang ditayangkan Sabtu, 1 Juli 2023.

Ada hal yang menarik untuk diulas terutama di menit ke 30:06 menyoal tentang proyek Kemenhan yaitu Food Estate yang dirancang untuk meningkatkan ketahanan pangan dalam negeri, justru disinyalir hanya menjadi proyek gagal dan merusak hutan.

Di masa mendatang, tiga sektor yang akan menjadi rebutan banyak pihak adalah air, energi dan pangan.

Ketahanan air, energi dan pangan menjadi topik yang krusial bagi banyak negara.

Apalagi tiga sektor tersebut menjadi tiga tujuan utama pembangunan berkelanjutan dari Sustainable Development Goals (SDGs).

Berdasarkan data yang dirilis oleh Global Food Security Index (GFSI), indeks ketahanan pangan Indonesia pada 2022 berada di level 60,2 atau peringkat ke-63 dari 113 negara.

GFSI mengukur Indeks Ketahanan Pangan berdasarkan empat indikator utama, meliputi keterjangkauan harga pangan (affordability), ketersediaan pasokan (availability), kualitas nutrisi (quality and safety), serta keberlanjutan dan adaptasi (sustainability and adaptation).

Jika membandingkan dengan negara-negara di Kawasan ASEAN, Indonesia di posisi ke-4 kalah jauh daripada Singapura (73.1), Malaysia (69.9), dan Vietnam (67.9).

Berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam meningkatkan Indeks Ketahanan Pangan melalui sektor pertanian melalui penyediaan sarana produksi pertanian (Saprotan) seperti pengadaan pupuk bersubsidi, pembangunan jaringan irigasi, penyediaan benih, dan akses permodalan melalui KUR.

Upaya terbaru melalui pengembangan kawasan pertanian atau Food Estate di berbagai daerah yang digawangi oleh Kementerian  Pertahanan bersama Kementerian Pertanian dan Kementerian PUPR. 

Food Estate diharapkan menjadi kawasan pertanian yang terintegrasi antara sektor hulu dan hilir.

Hingga tahun 2023, luas lahan food estate diperkirakan akan terus meluas hingga ke berbagai wilayah di Indonesia. Diperkirakan 3 juta hektare lahan hutan akan terdampak proyek ini.

Food Estate dan Klaim Keberhasilannya

Salah satu tujuan pengembangan food estate di berbagai daerah adalah untuk mendukung kemandirian pangan masyarakat.

Contohnya pengembangan Food Estate Humbang Hasundutan di Sumatra Utara yang fokus pada tanaman hortikultura seperti bawang merah dan bawang putih, Food Estate di Kalimantan Tengah fokus pada komoditi padi dan singkong.

Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo menyampaikan program food estate terbukti berhasil dilihat dari ekstensifikasi dan produktifitas hasil panen yang meningkat.

"Kami nyatakan 100% berhasil," kata Mentan Syahrul saat rapat kerja bersama Komisi IV DPR RI, Senin (11/4/2022).

Mentan mencontohkan, Food Estate di Kalimantan Tengah seluas 30 ribu hektare di lahan rawa memiliki tingkat keberhasilan cukup tinggi ditambah produktifitas hasil panen yang semula hanya 2.6 ton per hektare menjadi 4 ton per hektare.

Menurut pengamat pertanian dari Universitas Brawijaya Malang, Dr Sujarwo menyampaikan keberhasilan program food estate dapat dirasakan pada tahun 2027 mendatang.

"Kekuatan food estate diharapkan meningkatkan kesinambungan pembangunan pertanian dalam jangka panjang dan benar-benar meningkatkan kesejahteraan bangsa. Diharapkan tahun 2027 muncul kekuatan ekonomi modern kerakyatan berbasis pertanian yang memiliki kapasitas adopsi teknologi dan efisiensi," ujarnya dikutip dari Antara (14/2/2023).

Food estate belum nampak terasa keberhasilannya karena masih bergantung pada pembiayaan dari negara dan kurang terlibatnya komunitas petani lokal dan dukungan swasta dalam menciptakan iklim agribisnis yang terintegrasi.

Food Estate Dituding Proyek Gagal dan Merusak Hutan.

Kondisi Lahan Food Estate di Kalimantan (Foto : BBC Indonesia)
Kondisi Lahan Food Estate di Kalimantan (Foto : BBC Indonesia)

Berbagai aktivis dan LSM lingkungan seperti WALHI menuding program Food Estate hanyalah program yang merusak hutan karena menggunakan hutan lindung dan hutan adat yang ada di lahan gambut terutama di Kalimantan untuk pengembangan kawasan pertanian tanpa melakukan AMDAL.

Hal ini ditegaskan dengan adanya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor 24 Tahun 2020 yang mengizinkan penggunaan kawasan hutan lindung dipakai untuk proyek food estate atau lumbung pangan.

Koordinator Nasional Pantau Gambut, Iola Abas menyampaikan pengembangan Food Estate contohnya komoditas padi di lahan gambut tidaklah tepat. 

Karena tanaman padi tidak dapat tumbuh maksimal di lahan gambut dengan kandungan sedimen pirit tinggi. Akibatnya risiko gagal panen padi cukup tinggi.

Lahan seluas 62.000 hektare area sawah padi yang masuk program food estate berada di atas lahan eks-Pengembangan Lahan Gambut (PLG).

Sama halnya pengembangan food estate komoditas singkong di Kabupaten Gunung Mas yang gagal panen, karena pengembangan singkong yang tidak cocok dengan karakteristik tanah di wilayah tersebut yang berpasir.

Kegagalan program food estate menurut Pengampanye Pantau Gambut, Wahyu Perdana, disebabkan oleh 3 hal yaitu regulasi, ekologi, hingga aktor.

”Kami menggarisbawahi setidaknya terdapat tiga masalah dalam program food estate ini, mulai dari regulasi, ekologi, hingga aktor. Petani tidak diletakan sebagai aktor utama. Sayangnya, pemerintah tidak pernah sukses menyediakan pangan dengan baik,” kata Wahyu dikutip dari Kompas (3/3/2023).

Hasilnya lebih dari 600 hektare lahan singkong dan 17.000 hektare lahan padi mangkrak dan gagal panen. 

Bekas lahan food estate tandus dan kosong, menyisakan dampak lingkungan yang menyebabkan wilayah Kalimantan rentan bencana longsor dan banjir bandang seperti yang dilaporkan oleh Greenpeace di tahun 2021.

Selain itu food estate dinilai meninggalkan permasalahan konflik agraria. Dimana hutan-hutan adat yang selama ini dikelola oleh masyarakat adat diambil paksa untuk pengembangan food estate tanpa melibatkan masyarakat adat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun