Berita awal mengenai nasib pesawat tersebut diperoleh dari pilot maskapai penerbangan Rumania yang mendengar Kapten Flight 139 meminta izin untuk mendaratkan pesawat yang diberi sandi "Haifa", di bandara Beghazi, Libya.
Di Libya inilah terjadi kontak antara pejabat yang berwenang dengan pembajak, pembajak menyinggung syarat-syarat pembebasan sandera meski mereka tidak ingin bernegosiasi. Dari Libya pembajak menerbangkan pesawat Air France tersebut ke Entebbe, Uganda,
Lebih lanjut, buku tersebut mengisahkan, saat itu Uganda dipimpin oleh diktator kejam bernama Idi Amin yang sangat anti Israel.
Sebuah ironi, dahulu Idi Amin pernah dididik Militer di Israel dan Israel juga terlibat dalam kerjasama pengerjaan infrastruktur di Bandara Entebbe, Uganda pada masa-masa awal Idi Amin berkuasa namun keadaan berbalik ketika Israel tidak mau mendukung Idi Amin untuk menyerang Kenya dan Tanzania, sejak saat itu Idi Amin berbalik menjadi anti Israel.
Dalam peristiwa pembajakan tersebut, Idi Amin menyambut sendiri kedatangan pesawat Air France yang dibajak tersebut.
Pada hari ketiga, pembajak mengajukan tuntutan untuk pembebasan 53 rekannya yang ditahan di lima negara: 40 orang berada di penjara Israel, 6 orang di penjara Jerman Barat, 5 orang di penjara Kenya, 1 orang di penjara Perancis dan 1 orang dipenjara Swiss.
Selain itu mereka juga menuntut tebusan sejumlah USD 5 juta untuk pengembalian pesawat Airbus Air France ini. Keadaan menjadi genting ketika diketahui Idi Amin telah membebaskan sejumlah sandera namun tidak satupun sandera yang dibebaskan adalah warga Yahudi-Israel.
Traumatik akan peristiwa Holocaust pada Perang Dunia II menghantui pemikirian para sandera dan pejabat Israel yang sedang memikirkan upaya pembebasan mereka.
Paling tidak terdapat beberapa faktor penyulit yang seolah-olah hanya menghadapkan pada opsi negosiasi dengan para pembajak, faktor penyulit tersebut diantaranya:
- Jarak antara Israel dan Uganda sekitar 3,200km
- Tidak semua negara tetangga Israel, wilayah udaranya boleh dilalui oleh pesawat Israel
- Sandera telah dipisahkan dan ditahan di sebuat tempat di luar pesawat
Namun bagi militer Israel yang telah ditempa dalam dua pertempuran besar: Perang Enam hari (tahun 1967) dan Perang Yom Kippur (tahun 1973) enggan untuk memilih opsi negosiasi dan segera memutuskan bahwa opsi militer masih masuk akal untuk dilakukan.
Perdana Menteri Israel kala itu Yitzhak Rabin juga telah menanyakan kepada para petinggi militer perihal kemungkinan operasi Militer.