3. Ritual inseminasi anak laki-laki Papua
Ritual "homoseksualitas" adalah sebagai ritual peralihan kedewasaan dari anak laki-laki menjadi pria dewasa telah dicatat dipraktekkan di kalangan orang Melanesia dari Pulau Papua, seperti orang Sambia dan Etoro dari Papua Niugini. Di pulau Papua di sisi Indonesia, ritual serupa telah direkam dipraktekkan antara orang-orang Kimam, di Provinsi Papua bagian selatan. Beberapa laporan yang serupa catatan praktek di antara suku-suku lainnya. Praktek ini adalah disusun berdasarkan usia dan diarahkan kepada anak-anak muda sebagai ritus kedewasaan. Menurut kepercayaan mereka, anak laki-laki tercemar dengan unsur perempuan, melalui cairan perempuan seperti melalui menyusui, dan kontak dengan ibunya dan anggota keluarga perempuan lainnya. Untuk menghindari kontaminasi unsur perempuan lebih lanjut, setelah usia tertentu, anak laki-laki diambil dari ibu mereka dan tinggal terpisah di rumah komunal dengan anak-anak laki-laki lain dan laki-laki muda yang belum menikah. Rumah ini disebut dengan rumah bujangan. Anak laki-laki yang dipisahkan dari keluarganya ini hidup bersama dengan laki-laki muda lainnya dalam rumah bujangan. Hal ini bertujuan untuk membina solidaritas dan ikatan antar kaum laki-laki dalam suku, juga untuk mempersiapkan anak-anak muda agar menjadi seorang prajurit yang berani dan hebat.
Untuk dapat tumbuh berkembang sebagai seorang pria yang jantan, sehingga kelak dapat menjadi seorang prajurit yang berani, seorang anak laki-laki harus menyerap cairan laki-laki, yaitu semen, yang dianggap sebagai inti sari laki-laki. Cara menerima cairan laki-laki ini dapat dilakukan dengan menelan sperma melalui fellatio (oral seks) atau sebagai pihak yang dipenetrasi dalam hubungan seks anal homoseksual. Laki-laki yang berperan sebagai inseminator yang menyumbangkan spermanya adalah anggota suku yang lebih tua, biasanya paman mereka, atau jika sang anak telah dijodohkan dengan seorang anak perempuan, maka calon mertua laki-laki atau calon kakak ipar anak itu dianggap sebagai inseminator yang tepat. Ritual dan aktivitas ini berlanjut sejak masa akhir kanak-kanak dan selama masa remaja dalam rumah bujang. Ritual ini berhenti ketika anak laki-laki itu dianggap telah menyerap cukup unsur laki-laki, yaitu anak itu mencapai usia dewasa, ketika kumis atau jenggotnya mulai tumbuh dan akan segera menikah.
Saudara-saudara saya LAKI-LAKI yang Irian (Saya lebih memilih menyebut mereka dengan sebutan Irian ketimbang Papua) kini telah MENOLAK RITUAL INI.
Â
Dari catatan sejarah LGBT dalam tradisi budaya di Indonesia, saya mencermati bahwa PANCASILA dengan BELIEF SYSTEM dan ETICS SYSTEM nya TELAH MENOLAK LGBT karena:Â
1. Pancasila sangat sarat RELIGI SPIRITUALITAS YANG DALAM KITAB-KITAB SUCINYA MENCATAT SEJARAH HITAM SODOM DAN GOMORRAH (BELIEF SYSTEM DALAM SILA PERTAMA PANCASILA).
2. Pancasila yang AKAR BUDAYA ASLI Bangsa Indonesia MENOLAK AKTIVITAS PRODUK BUDAYA YANG BIADAB (ETICS SYSTEM DALAM SILA KEDUA PANCASILA).
LGBT dalam KONSEPSI HAM TIDAKLAH MELANGGAR "BENAR-SALAH", namun ETICS SYSTEM PANCASILA MENYATAKAN BAHWA ITU MELANGGAR "BAIK-BURUK (ETICS)" PERADABAN BUDAYA INDONESIA YANG BERADAB.
Skenario LGBT saya mencermati sebagai salah satu AGENDA GLOBALISASI dalam skema besar "TO BUILD A NEW WORLD (MEMBANGUN TATANAN DUNIA BARU)", namun Presiden Soekarno menggali Pancasila sebagai PHILOSOPHISCHE GRONSLAG memilih skema besar "TO BUILD THE WORLD ANEW (MEMBANGUN TATANAN DUNIA KEMBALI)".
Saya memilih ikut Soekarno untuk TO BUILD THE WORLD ANEW dengan PANCASILA.
BAGAIMANA DENGAN ANDA?
Â
MERDEKA 100%!
Dodi Ilham,
General Secretary of Centre for National Security Studies Indonesia.