Mohon tunggu...
Rudy
Rudy Mohon Tunggu... Editor - nalar sehat N mawas diri jadi kata kunci

RidaMu Kutuju

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Berperilaku Cerdas di Tengah Ketidakpastian

30 Mei 2020   10:43 Diperbarui: 30 Mei 2020   10:44 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengambil hikmah di balik musibah itu mah fenomena lumrah. Terkadang sikap tersebut dipandang sebagai ekspresi menghibur diri dari situasi terjepit seperti ketika wabah pandemi covid-19 melanda dunia saat ini, mungkin itu ciri khas masyarakat Indonesia atau memang gejala universal dan manusiawi. 

Untuk bangsa Indonesia yang mayoritas muslim sikap seperti itu merupakan pengamalan ajaran dari sebuah ayat suci yang sangat populer yang menyebutkan bahwa "di dalam kesulitan terdapat kemudahan". Meski banyak ragam caranya tetapi temanya sama dan lumrah, yakni hikmah di balik musibah, maka terkadang tak menarik lagi untuk diceritakan atau disimak ceritanya. 

Lalu apa yang tidak biasa dan tidak lumrah? Atau barangkali lebih tepat disebut unik karena jarang orang mengalami dan ataupun mengetahuinya. Kedengarannya seperti berbelit, ya? Sebenarnya tidak juga. Karena dua cerita berikut merupakan kisah nyata dan bukan mengada-ada. 

Satunya tentang musibah di balik hikmah dari sebuah musibah, dan lainnya tentang perilaku cerdas ekonomi di tengah pandemi covid-19. Ini bukan kata penulis, bertutur tentang suatu yang unik, selain menarik juga dapat menjadi pembelajaran agar dapat Berperilaku Cerdas di Tengah Ketidakpastian.

Bagi mereka yang berusia di atas 40 tahun, menghadapi krisis akibat merebaknya wabah pandemi covid-19 saat ini mengingatkan peristiwa ketika Indonesia bergolak dan mengalami krisis multi dimensi  pada tahun 1998 lalu yang di kalangan masyarakat umum disebut sebagai krismon akronim dari krisis moneter. 

Secara ringkas dapat digambarkan saat gejolak politik dan ekonomi itu meledak kebanyakan rakyat Indonesia boleh dibilang dalam kondisi buta informasi, karena selama rezim otoriter Orde Baru arus informasi melalui media masa memang diawasi pemerintah secara ketat. Sehingga ketika kerusuhan massa terjadi yang dipicu dan diawali insiden tewasnya beberapa mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta dan kemudian meluas ke berbagai kota besar lain telah mendorong masyarakat berduyun-duyun dalam antrian panjang mendatangi kantor bank atau ATM untuk menarik dana yang tersimpan di bank, khususnya bank swasta, sehingga terjadi rush. 

Pada waktu itu Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter yang sepenuhnya di bawah kendali lembaga eksekutif pemerintah telah gagal dalam menjalankan kebijakan Makroprudensial Aman Terjaga. Selain menjaga stabilitas sektor perbankan, dan sistem finansial secara keseluruhan, salah satu fungsi BI untuk menjaga stabilitas sistem keuangan pada umumnya dan stabilitas nilai mata uang pada khususnya saat itu terganggu, sehingga nilai rupiah "terjun bebas". Dalam waktu relatif singkat nilai rupiah merosot tajam, dari Rp4.000 merangkak naik hingga menyentuh angka Rp16.650 per dolar Amerika Serikat (AS). 

Banyak juga orang yang memiliki  simpanan rupiah dalam jumlah besar buru-buru untuk mengalihkan simpananan dana segarnya dalam mata uang dolar AS. Penulis yang saat itu kebetulan memiliki simpanan rupiah dalam jumlah lumayan banyak sempat tergoda untuk menukarkan sebagian dalam bentuk mata uang dolar AS yang cukup murah di kota Jedah, Saudi Arabia, bertepatan saat menunaikan ibadah haji, meski kemudian urung karena istri tidak menyetujui. 

Selang beberapa lama kemudian ketika terdengar kabar mereka yang memilih untuk menukarkan rupiah dengan dolar AS telah meraup untung besar dengan cara menjual kembali simpanan uang dolarnya sempat membuat hati sedikit menyesal. Tetapi rasa menyesal itu terhibur ketika kembali terdengar kabar salah seorang dari mereka yang mendadak kaya telah lupa diri dengan kawin lagi sehingga kehidupan rumah tangganya yang semula bahagia berakhir hancur berantakan. 

Jika dalam "ilmu kepribadian" dikenal istilah "inner beauty", maka sikap dan tindakan istri tersebut tergolong Cerdas Berperilaku secara "luar" dan "dalam".  Karena tak sedikit pula korban lain berjatuhan gegara krisis tersebut yang salah kaprah mengambil langkah, mau untung jadi buntung. Di antaranya terjerat dalam kasus investasi bodong karena terdorong keinginan untuk mempertahankan ataupun mengembangkan nilai asetnya, sehingga tidak dapat Berperilaku Cerdas di Tengah Ketidakpastian.

Berbeda dengan korban terdampak pada krisis 1998 yang sebagian besar  terdiri dari kalangan masyarakat dan dunia usaha kelas menengah ke atas, krisis wabah pandemi covid-19 saat ini korban terdampak kebanyakan adalah kalangan masyarakat ekonomi kelas bawah. Pada krisis 1998 sektor UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) disebut justru mampu bertahan dari terpaan krisis bahkan dapat menjadi penggerak dan penopang pertumbuhan ekonomi nasional.

 Sementara krisis akibat pandemi covid-19 dewasa ini selain hampir semua sektor dan sendi perekonomian dalam keadaan stagnan, dimana kalangan terdampak yang paling memprihatinkan justru dari kalangan masyarakat ekonomi kelas bawah dan sektor UMKM yang jumlahnya lebih dari 70 juta itu. Kemampuan mereka untuk beradaptasi tentu berbeda dan tidak selentur seperti pada krisis 1998, karena adanya keharusan agar masyarakat berperilaku cerdas sesuai dengan protokol kesehatan atau protokol penanganan pandemi covid-19. 

Hanya saja, anjuran dan peraturan untuk melakukan social distancing atau menjaga jarak, dalam arti menghindari kerumunan massa, dan segala kegiatan dilakukan "di" dan "dari" rumah saja selagi covid-19 masih menjadi ancaman kesehatan masyarakat adalah bagian yang sangat menentukan kegiatan ekonomi warga dan dunia usaha. Sehingga terjadi tarik menarik antara desakan kebutuhan hidup warga di satu pihak dan disiplin warga untuk menaati peraturan yang digariskan pemerintah di pihak lain.

Namun demikian di tengah kemandekan dan "kebuntuan" gerak perekonomian dan dunia usaha saat ini muncul sosok pelaku usaha UMKM yang Cerdas Berperilaku dan hampir sama sekali tidak terpengaruh oleh hingar bingarnya pandemi covid-19. Jika mengamati perilaku pedagang di pasar Tanah Abang yang tergolong profesional saja seperti kehilangan akal dalam menghadapi masa pandemi ini, terbukti mereka nekat berjualan meskipun sudah diperingatkan bahkan dilarang hingga diberikan sanksi. 

Oleh karenanya, ditinjau dari segi konsep usaha dan langkah kongkret dari pelaku usaha yang satu ini rasanya patut direnungkan dan dijadikan bahan pembelajaran.

Dokpri (mei '20)
Dokpri (mei '20)

Beberapa hari lalu gawai yang biasa penulis pakai mengalami gangguan tidak dapat mengeluarkan suara. Sebelum ini, smartphone yang sama pernah dua kali mengalami gangguan dan dibawa ke tukang servis HP untuk diperbaiki, tetapi pelayanannya sempat membuat penulis kecewa. Maka dari itu penulis mencoba untuk mencari tukang servis HP lain tak jauh dari rumah di bilangan Jakarta Selatan, dengan mengendarai sepeda motor dan tak lupa mengenakan masker, berjalan perlahan sembari mengamati ke kiri dan kanan. Lalu tanpa sengaja bertemulah apa yang dicari. 

Dari pandangan pertama saja  saat turun dari sepeda motor seraya menghampiri tempat usaha servis HP tersebut, penulis sudah dibuat terkesan bahkan tertegun oleh sederet nilai positif yang jarang dijumpai. Menurut ilmu manajemen pemasaran apa yang disebut advantage (keunggulan), baik comparative advantage maupun competitive advantage, di antaranya adalah:

1. Mulai dari (pemilihan) bidang usaha yang visioner karena menurut para futuris, ekonomi digital merupakan prospek ekonomi masa depan.

2. Lantas (pemilihan) lokasi usaha dengan lingkungan yang masih cukup teduh oleh pepohonan dan bersih di pinggir jalan lebar yang tidak bising tetapi merupakan jalan alternatif dan strategis bagi para pekerja kantoran.

3. Kios (diperkirakan sewaan) berukuran 3 x 3 meter ditata dengan apik dan menarik. Ruang dibagi menjadi dua dibatasi sekat kaca, sehingga ruang kerja yang dilengkapi dengan dua kursi dan berbagai peralatan kerja cukup lengkap dan modern dapat terlihat dari ruang tamu sekaligus merupakan etalase di depannya.

4. Di lemari kaca etalase dan rak gantung hanya menyediakan kartu voucher dan berbagai aksesori telepon genggam, tetapi tidak tampak terpajang HP baru untuk dijual. Mungkin untuk memberikan kesan fokus usaha di bidang jasa servis.

5. anak muda usia di bawah 25 tahun bertugas sebagai penerima tamu di front desk. Sementara di ruang kerja tampak seorang muda usia sedikit di atas usia penerima tamu sebagai teknisi. Keduanya berkulit agak putih dan bermata sipit seperti etnis China. Tetapi dugaan itu menjadi ragu sendiri ketika melihat kursi sebelahnya di ruang kerja yang masih kosong tersampir selembar sajadah, ditambah sebuah kotak amal yatim piatu terpampang di atas front desk.

6. Lebih terpesona lagi adalah ketika sedang menunggu antrian servis HP tampak seorang pria gagah paroh baya datang dan langsung masuk ke ruang kerja. Dia duduk di kursi kosong yang di sandarannya tersampir sajadah dan langsung bekerja. Dari bahasa tubuhnya diduga bahwa ia merupakan pekerja dari usaha tersebut. Lagi-lagi decak kagum, karena pengusaha semuda itu memiliki dan membawahi anak buah yang usianya lebih tua.

7. Kejutan terakhir adalah selama sekitar 20 menit penulis menunggu HP sedang dikerjakan dengan hati sedikit waswas berapa gerangan besar tarip ongkos yang akan dikenakan, setelah mengamati pelanggan lain yang sudah selesai rata-rata dikenakan ongkos sebesar 50-100 ribu rupiah. Namun giliran HP dinyatakan selesai dikerjakan dan diserahkan kepada penulis, lalu penulis menanyakan tentang ongkosnya, penulis hampir tak percaya dengan pendengaran sendiri karena petugas penerima tamu itu mengatakan "tidak usah, bawa saja..". 

Mendengar keterangan tersebut penulis seperti orang bodoh menanyakan sekali lagi, apakah maksudnya tidak usah dibayar? Dan penulis memang tidak salah dengar, pertanyaan itu dijawab "ya". Mungkin karena melihat penulis yang sudah lansia. Sekilas penulis teringat dua bulan lalu HP juga pernah sedikit mengalami error, lalu dibawa ke tukang servis di tempat lain. Pengerjaannya hanya memakan waktu tak lebih dari tiga menit, ternyata dikenakan ongkos 15 ribu rupiah setelah ditawar dari semula 25 ribu rupiah.

Alih-alih menyebarkan apalagi memproduksi hoax atau hal negatif lain, dalam berkarya generasi milenial tersebut bukan saja memperlihatkan profesionalitas tetapi juga spirit berbagi di tengah ketidakpastian ini. Sebuah nilai yang patut diapresiasi sekaligus diteladani.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun