Mohon tunggu...
D A I N
D A I N Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

seorang mahasiswa yang hobi membaca, menulis, dan menggambar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Angan yang Tak Mampu Menggapaimu

4 Mei 2024   09:00 Diperbarui: 4 Mei 2024   09:04 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rasanya seperti ribuan kupu-kupu beterbangan dalam perutnya ketika Theo menggenggam tangannya erat dan mengajaknya berlarian ke sebuah tanah lapang yang hijau oleh rerumputan. Sambil mengagumi sosok pria itu dari belakang yang tampak makin menawan bermandikan cahaya matahari pagi Louisa berpikir bahwa ia tak pernah menyangka pria yang ia sukai selama ini akhirnya menjadi kekasihnya, dan sekarang mereka saling berlarian dan tertawa bahagia. Genggaman Theo seolah memberitahu Louisa bahwa pria itu bersyukur karena memilikinya dan tidak akan pernah melepaskannya. Sosok Theo yang gagah dengan bahu lebar, lengan agak kekar dan tinggi badannya kini mengenakan kemeja lengan panjang berwarna putih yang bagian dadanya sedikit terbuka dan celana panjang dengan warna senada menambahkan kesan lembut pada diri Theo. Sedangkan Louisa tampak anggun dengan gaun lengan pendek sepanjang lutut dengan warna yang sama pula. Ia makin tersipu ketika Theo menoleh ke arahnya dan tersenyum kepadanya. Langit biru yang cerah, burung-burung berkicau yang terdengar bagai musik yang indah di telinga, kupu-kupu berwarna-warni beterbangan di atas bunga-bunga bermekaran di tepi lapangan itu menyaksikan sepasang kekasih yang berbahagia itu .

Mereka berhenti di tengah tanah lapang itu. Theo berbalik lalu menarik Louisa mendekat dan memeluknya. Ia menatap gadis itu dengan kasih sayang dan rasa cinta yang begitu dalam dan Louisa bisa melihatnya dari mata biru gelap pria itu. Tangan Theo menyelipkan helai-helai rambut Louisa ke belakang telinganya kemudian mengecup lembut keningnya. Sekali lagi mereka saling menatap sebelum Theo melepaskan pelukannya dan perlahan-lahan berjalan mundur menjauhi Louisa.

"Ayo, tangkap aku kalau kamu bisa." Ucap Theo kemudian berlari kecil menuju hutan yang tak jauh dari tempat mereka berada.

Louisa tertawa kecil mendengar ucapan konyol Theo kemudian berlari menyusulnya. Setelah memasuki hutan ia kehilangan Theo dan tidak melihatnya di mana-mana, padahal jarak mereka tadi tidak terlalu jauh.

"Theo! Di mana kamu?" teriak Louisa sambil mencari-cari sosok Theo, namun ia tidak melihatnya di manapun.

Louisa berlari kecil dan terus memasuki bagian dalam hutan, barangkali ia bisa bisa menyusul Theo dan menemukannya. Namun, lagi-lagi ia tidak menemukan sosok pria itu. Louisa terus mencari Theo hingga tanpa sadar sudah berjam-jam berlalu dan langit mulai beranjak malam. Ia mulai panik ketika ia menyadari keadaan di sekitar terlihat redup dan gelap. "Theo! Kamu di mana? Nggak lucu ya kamu! Ayo pulang, udah mau malam!"

Tiba-tiba ia mendengar sebuah suara seperti ranting kering yang terinjak. Louisa terkesiap. "Theo?!"

Ia berlari menghampiri tempat suara itu berasal. Namun, sesampainya di sana ia tidak menemukan apa-apa. Kemudian terdengar lagi suara yang sama dari arah yang berbeda dan Louisa berlari menghampirinya. Lagi-lagi ia tidak menemukan apa-apa. Napasnya tersengal. Ia berpikir barangkali itu hanya seekor tupai yang jatuh dari atas pohon dan tak sengaja mengenai ranting-ranting kering di atas tanah. Lalu kemudian mereka kembali memanjat ke atas pohon.

Hari semakin gelap dan malam pun akhirnya datang. Ribuan bintang yang berpendar menghiasi pekatnya langit malam dan rembulan yang tampak bulat sempurna menyumbangkan sedikit cahayanya untuk menerangi jalan Louisa menemukan Theo. Meskipun saat ini ia sudah merasa frustasi karena kegelapan yang membuat hutan itu tampak menyeramkan dan tersesat entah di mana, ia masih belum menyerah untuk mencari Theo. Ia tak ingin meninggalkan pria itu sendirian di hutan yang amat luas ini. Sesekali terbersit dalam pikirannya ia ingin pergi saja dari hutan itu dan meninggalkan Theo di hutan, lagi pula ia tidak tahu keberadaan pria itu, barangkali Theo diam-diam sudah keluar dari sana dan sekarang sudah berada di rumahnya sambil menikmati hangatnya perapian di ruang tengah sambil menonton acara kesukaannya. Tapi, perasaannya terhadap pria yang dicintainya itu melebihi rasa kesalnya dan ia pun terus melanjutkan pencariannya.

Semakin lama Louisa berada di sana semakin memuncak rasa cemasnya. Keringat dingin, jantung yang berdegup kencang, dan kepalanya tiba-tiba terasa berat. Belum lagi rasa lelah karena sudah berlarian ke sana-kemari dan sekarang ia merasa haus. Entah sudah berapa kali ia menghela napas berat. Ia mengedarkan pandangan, namun tak bisa melihat apapun. Ia juga tidak bisa mendengar suara lain selain napasnya sendiri.

Tiba-tiba ia mendengar suara ranting yang terinjak lagi. Kali ini ia tidak langsung berlari menghampiri suara itu melainkan hanya terdiam membeku di tempat. Bulu kuduknya merinding dan ada rasa takut yang menyelinap ke dalam hatinya. Tanpa berpikir panjang ia berlari dengan sisa tenaganya mencari tempat bersembunyi. Beberapa kali ia terjatuh karena saking lelahnya, membuat gaun putihnya kotor oleh noda tanah dan daun-daun kering. Ada sedikit lecet di lutut dan sikunya---dan dahinya berdarah karena terantuk batu, darah segar mengalir dari sana---namun hal itu tidak mengganggu Louisa sama sekali. Yang dipikirkannya saat ini adalah menemukan tempat bersembunyi.

Setelah berlari beberapa meter jauhnya Louisa samar-samar melihat dua batu besar yang saling bersandar dan membentuk sebuah gua kecil di tengahnya. Ia bersembunyi di sana dan meskipun ia tidak yakin tempat itu aman tapi untuk sementara bisa menyembunyikannya dari siapapun atau apapun yang sedang mengincarnya.

Napasnya semakin tersengal, ditambah lagi kini dadanya terasa sakit. Ia mulai menangis dan menyesali keputusannya untuk terus berada di hutan itu alih-alih keluar dari sana dan pulang ke rumah. Masa bodoh dengan Theo yang keberadaannya masih tidak diketahui. Pria itu sudah menjebak Louisa ke bagian paling dalam hutan yang tak pernah ia kenali. Semua ini membuat dadanya terasa sesak.

Belum lagi rasa lelahnya hilang Louisa mendengar suara gemerisik daun-daun kering tak jauh dari tempatnya bersembunyi. Ia terkesiap dan menghentikan tangisannya, berusaha mendengar kalau-kalau ada seseorang atau binatang yang mendekat. Tapi, rasa cemas yang telah sepenuhnya menguasainya membuat Louisa bergegas meninggalkan gua kecil itu dan berlari mencari tempat sembunyi yang lebih aman. Sepanjang pelariannya ia mendengar semakin banyak suara-suara yang berasal dari segala arah hutan itu. Pepohonan yang tinggi terasa seperti penjara labirin yang tak akan pernah membiarkannya keluar dari sana.

Pandangannya mulai berkunang-kunang, cahaya bulan tak lagi bisa membantunya. Ia taidak bisa melihat sebuah batang pohon yang tergeletak di depannya, kemudian ia tersandung batang pohon itu lalu ia jatuh terperosok ke jurang yang tidak terlalu curam lalu terbaring lemah tak berdaya di sana.

Dahi yang berdarah, gaun yang kotor dan robek di beberapa tempat, lutut dan siku yang lecet membuat Louisa tampak menyedihkan. Ia tak pernah menyangka akan mengalami hal mengerikan ini dalam hidupnya. Ia sudah lelah. Ia benar-benar kehabisan tenaga untuk bangkit dan pergi dari hutan asing yang menyeramkan itu. Kali ini ia benar-benar ingin menyerah ketika ia melihat sosok siluet seseorang---entah pria atau wanita ia tak tahu---berdiri di tepi jurang, membisikkan nama Louisa beberapa kali. Sosok itu hanya memandangi Louisa dari atas sana.

Louisa ketakutan setengah mati, namun tidak bisa melakukan apa-apa selain berteriak.

"Louisa! Bangun!"

Louisa terkejut dan seketika bangkit dari tidurnya. Napasnya tersengal dan dahinya serta punggungnya basah oleh keringat seperti habis berlarian sepanjang hari. Ia mengedarkan pandangannya ke seisi kelas yang kini sedang menatapnya sampai akhirnya ia  melihat sebuah foto seorang idolanya bernama Matthew Williams tergeletak di atas buku pelajaran sejarahnya yang terbuka. Entah kenapa ia merasakan kengerian saat melihat foto itu, padahal ia adalah penggemar berat dari pria yang berprofesi sebagai model dan aktor itu dan ia sangat mencintai idolanya itu layaknya seorang kekasih.

"Enak, ya, tidur di kelas saya. Sudah sampai mana tadi jalan-jalannya?!" Ucap seorang guru yang tengah bersedekap sambil menatap Louisa marah.

"M-Maaf, Bu."

"Cepat keluar dari sini dan berdiri di depan kelas sampai pelajaran Ibu selesai!"

"Baik, Bu."

Louisa bangkit dari bangkunya dan berjalan keluar kelas dengan lemas. Ia masih merasakan perasaan yang dialaminya dalam mimpi buruknya tadi. Beberapa kali ia menghela napas berusaha untuk menenangkan dirinya.

Sekarang, sambil berdiri di depan kelas, ia merenung dan berkata pada dirinya sendiri untuk menyukai seseorang sewajarnya saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun