Mohon tunggu...
D A I N
D A I N Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

seorang mahasiswa yang hobi membaca, menulis, dan menggambar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Angan yang Tak Mampu Menggapaimu

4 Mei 2024   09:00 Diperbarui: 4 Mei 2024   09:04 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiba-tiba ia mendengar suara ranting yang terinjak lagi. Kali ini ia tidak langsung berlari menghampiri suara itu melainkan hanya terdiam membeku di tempat. Bulu kuduknya merinding dan ada rasa takut yang menyelinap ke dalam hatinya. Tanpa berpikir panjang ia berlari dengan sisa tenaganya mencari tempat bersembunyi. Beberapa kali ia terjatuh karena saking lelahnya, membuat gaun putihnya kotor oleh noda tanah dan daun-daun kering. Ada sedikit lecet di lutut dan sikunya---dan dahinya berdarah karena terantuk batu, darah segar mengalir dari sana---namun hal itu tidak mengganggu Louisa sama sekali. Yang dipikirkannya saat ini adalah menemukan tempat bersembunyi.

Setelah berlari beberapa meter jauhnya Louisa samar-samar melihat dua batu besar yang saling bersandar dan membentuk sebuah gua kecil di tengahnya. Ia bersembunyi di sana dan meskipun ia tidak yakin tempat itu aman tapi untuk sementara bisa menyembunyikannya dari siapapun atau apapun yang sedang mengincarnya.

Napasnya semakin tersengal, ditambah lagi kini dadanya terasa sakit. Ia mulai menangis dan menyesali keputusannya untuk terus berada di hutan itu alih-alih keluar dari sana dan pulang ke rumah. Masa bodoh dengan Theo yang keberadaannya masih tidak diketahui. Pria itu sudah menjebak Louisa ke bagian paling dalam hutan yang tak pernah ia kenali. Semua ini membuat dadanya terasa sesak.

Belum lagi rasa lelahnya hilang Louisa mendengar suara gemerisik daun-daun kering tak jauh dari tempatnya bersembunyi. Ia terkesiap dan menghentikan tangisannya, berusaha mendengar kalau-kalau ada seseorang atau binatang yang mendekat. Tapi, rasa cemas yang telah sepenuhnya menguasainya membuat Louisa bergegas meninggalkan gua kecil itu dan berlari mencari tempat sembunyi yang lebih aman. Sepanjang pelariannya ia mendengar semakin banyak suara-suara yang berasal dari segala arah hutan itu. Pepohonan yang tinggi terasa seperti penjara labirin yang tak akan pernah membiarkannya keluar dari sana.

Pandangannya mulai berkunang-kunang, cahaya bulan tak lagi bisa membantunya. Ia taidak bisa melihat sebuah batang pohon yang tergeletak di depannya, kemudian ia tersandung batang pohon itu lalu ia jatuh terperosok ke jurang yang tidak terlalu curam lalu terbaring lemah tak berdaya di sana.

Dahi yang berdarah, gaun yang kotor dan robek di beberapa tempat, lutut dan siku yang lecet membuat Louisa tampak menyedihkan. Ia tak pernah menyangka akan mengalami hal mengerikan ini dalam hidupnya. Ia sudah lelah. Ia benar-benar kehabisan tenaga untuk bangkit dan pergi dari hutan asing yang menyeramkan itu. Kali ini ia benar-benar ingin menyerah ketika ia melihat sosok siluet seseorang---entah pria atau wanita ia tak tahu---berdiri di tepi jurang, membisikkan nama Louisa beberapa kali. Sosok itu hanya memandangi Louisa dari atas sana.

Louisa ketakutan setengah mati, namun tidak bisa melakukan apa-apa selain berteriak.

"Louisa! Bangun!"

Louisa terkejut dan seketika bangkit dari tidurnya. Napasnya tersengal dan dahinya serta punggungnya basah oleh keringat seperti habis berlarian sepanjang hari. Ia mengedarkan pandangannya ke seisi kelas yang kini sedang menatapnya sampai akhirnya ia  melihat sebuah foto seorang idolanya bernama Matthew Williams tergeletak di atas buku pelajaran sejarahnya yang terbuka. Entah kenapa ia merasakan kengerian saat melihat foto itu, padahal ia adalah penggemar berat dari pria yang berprofesi sebagai model dan aktor itu dan ia sangat mencintai idolanya itu layaknya seorang kekasih.

"Enak, ya, tidur di kelas saya. Sudah sampai mana tadi jalan-jalannya?!" Ucap seorang guru yang tengah bersedekap sambil menatap Louisa marah.

"M-Maaf, Bu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun