Mohon tunggu...
DNA Hipotesa
DNA Hipotesa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Kajian Ekonomi oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi IPB University

Discussion and Analysis (DNA) merupakan sebuah divisi di Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (Hipotesa) yang berada di bawah naungan Departemen Ilmu Ekonomi, FEM, IPB University. As written in the name, we are here to produce valuable analysis of the economy, while building a home for healthy economic discussions. All of this is aimed to build critical thinking which is paramount in building a brighter future for our economy.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kebijakan Tax Amnesty, Dampak dan Manfaat bagi Negara dan Wajib Pajak

26 April 2022   08:13 Diperbarui: 26 April 2022   08:20 686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Salah satu sumber penerimaan terbesar negara adalah berasal dari pajak. Pajak dapat diartikan sebagai pungutan yang dilakukan oleh negara kepada warga negaranya berdasarkan undang-undang yang mana atas pungutan tersebut negara tidak memberikan kontraprestasi secara langsung kepada warga negaranya (Mardiasmo, 2016). 

Kontribusi pajak terhadap pendapatan negara kian vital. Dalam postur APBN 2021, realisasi penerimaan pajak tercatat telah mencapai Rp 1.2 Triliun atau tumbuh 19.2 persen dari penerimaan pajak tahun 2020 yang mencapai Rp 1.07 Triliun akibat covid-19 (Kemenkeu, 2022). 

Hal tersebut mengindikasikan bahwa segala biaya yang dibutuhkan pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan dan menyediakan akses layanan dasar bagi masyarakat, sangat bergantung pada penerimaan perpajakan (Agung, 2007). 

Namun tingkat kesadaran masyarakat akan wajib membayar pajak masih jauh dari harapan. Apabila dibandingkan dengan aktivitas perekonomiannya, Indonesia belum mampu menghimpun penerimaan pajak dalam jumlah yang ideal (Permana, 2020). 

Hal tersebut disebabkan karena kondisi perekonomian Indonesia yang melemah dan kurangnya kesadaran masyarakat untuk membayar pajak. Kepatuhan masyarakat terhadap pajak memang sudah menjadi isu lama yang selalu bergulir setiap tahun ketika laporan realisasi pajak itu dipublikasikan. 

Sebagian besar masyarakat menilai bahwa pajak dianggap sebagai hal yang menakutkan mayoritas masyarakat Indonesia hingga saat ini. Masyarakat mengasumsikan bahwa pajak itu tidak adil, pajak itu menyengsarakan, pajak itu semata hanyalah kuasi para pembuat kebijakan dalam mempermudah kepentingan pemangku kekuasaan, atau bahkan kata-kata yang menyebut dan mempertanyakan pentingnya pajak masih sering kita dengar.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga yang berhubungan dengan perpajakan. Salah satu kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah dalam menaikkan penerimaan negara yaitu kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty). Tax amnesty merupakan kebijakan pemerintah yang digunakan untuk menghimpun penerimaan negara dalam waktu yang cepat (Pravasant, 2018). 

Tax amnesty dilakukan karena berbagai faktor, yaitu: banyaknya aktivitas underground economy atau penggelapan pajak (tax evasion), pelarian modal ke luar negeri (capital flight), rekayasa transaksi keuangan, serta politik penganggaran untuk menghadapi kontraksi anggaran negara yang sedang terjadi. 

Mattiello (2005) menyatakan bahwa kebijakan tax amnesty mempunyai manfaat jangka panjang dan jangka pendek. Dalam jangka pendek, tax amnesty dapat meningkatkan penerimaan negara serta kepatuhan wajib pajak, dan dalam waktu jangka panjangnya, wajib pajak tidak dapat menghindari kewajiban perpajakannya dikarenakan data harta wajib pajak sudah dilaporkan kepada pemerintah di tahun sebelumnya.

Kebijakan Tax Amnesty pertama kali berlaku di Indonesia pada tahun 1964. Di Era pemerintahan Soekarno, kebijakan ini dikeluarkan untuk mengembalikan dana revolusi pada saat itu. 

Tax Amnesty tidak berjalan dengan baik, sehingga dilakukan kembali pada tahun 1984. Pada tahun 1984 ini, kebijakan Tax Amnesty selain untuk memperoleh penerimaan pajak, juga mengubah sistem perpajakan yang berlaku, yaitu dari Official Assessment System (perhitungan besarnya jumlah pajak ditentukan oleh pemerintah) menjadi Self Assessment System (perhitungan besar pajak dilakukan oleh wajib pajak sendiri).Namun tax amnesty yang dilakukan pada tahun 1984, masih belum sempurna dikarenakan adanya dugaan KKN (Pravasanti, 2018). 

Pada tahun 2016, Presiden Joko Widodo mengesahkan UU Tax Amnesty No. 11 tahun 2016 tentang pengampunan pajak. 

Kebijakan tax amnesty tahun 2016 dicanangkan kembali dengan beberapa alasan, yaitu;1) banyaknya harta milik wajib pajak baik di dalam maupun luar negeri yang belum dilaporkan dalam surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan; 2) meningkatkan penerimaan negara dan pertumbuhan perekonomian serta kepatuhan dan kesadaran wajib pajak; 3) kasus panama papers tentang praktik tersembunyinya harta kekayaan serta penghindaran pembayaran pajak di luar kelaziman. (Pravasanti, 2018). 

Setelah enam tahun lamanya, kebijakan tax amnesty kembali diberlakukan di awal tahun 2022. Tax amnesty tahun ini dilatarbelakangi karena sebagian masyarakat yang belum serta enggan melaporkan pajaknya akibat masyarakat kesulitan menghitung Pajak Penghasilan (PPN). 

Selain itu, kebijakan ini bertujuan untuk menghapus denda keterlambatan pembayaran pajak, dan menarik uang dari wajib pajak yang diduga menyimpan hartanya secara rahasia di negara-negara bebas pajak. 

Berkaitan dengan hal tersebut peneliti mencoba untuk mengangkat dan mengulas mengenai dampak Tax Amnesty, dan perlukah Tax Amnesty Jilid II diterapkan kembali untuk menggenjot penerimaan pajak pada tahun yang akan datang.

Dilansir dari laman pajak.go.id, Pengampunan Pajak atau tax amnesty adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap harta dan membayar uang tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak. 

Kewajiban perpajakan yang mendapatkan Pengampunan Pajak terdiri atas kewajiban Pajak Penghasilan, dan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Program Pengungkapan Sukarela (PPS) ini mulai berlaku pada 1 Januari 2022 dan berakhir pada 30 Juni 2022. Harus dicatat bahwa penghapusan sanksi administratif ini hanya berlaku bagi  harta yang belum tercatat oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Secara umum, PPS bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara dari pajak. Agar membayar pajak menjadi suatu hal yang 'menarik' bagi masyarakat, Pemerintah pun mengadakan PPS. 

Penerimaan ini pun diharapkan dapat menjadi kontributor positif terhadap kemajuan perekonomian Indonesia. Selain itu Kementerian Keuangan juga mengatakan bahwa, ada beberapa tujuan dan manfaat utama dari diadakannya PPS. 

Yang pertama diharapkan dapat Meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui Repatriasi Aset, yang ditandai dengan peningkatan likuiditas domestik, perbaikan nilai tukar rupiah, penurunan Suku Bunga, dan peningkatan investasi. Selain itu Perluasan basis data perpajakan yang lebih valid, komprehensif dan terintegrasi juga merupakan tujuan dari PPS.

Program Pengampunan pajak kali ini memiliki 2 kebijakan. Kebijakan 1 ditujukan untuk wajib pajak badan dan pribadi yang belum mengungkapkan harta yang diperoleh selama periode 1 Januari 1985 -- 31 Desember 2015. Sedangkan kebijakan 2 ditujukan hanya untuk wajib pajak pribadi  yang belum mengungkapkan harta yang diperoleh selama periode 1 Januari 2016 -- 31 Desember 2020. 

Bagi para wajib pajak yang tidak disiplin, Program Pengampunan pajak memberikan keringanan yang besar. Karena dengan mengikuti PPS, maka tarif yang dibayarkan wajib pajak lebih kecil dari yang ditentukan pada PP 36 Tahun 2017, sekaligus terhindar dari sanksi 200 persen UU Tax Amnesty.

Pelaksanaan Tax Amnesty di Indonesia

Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang pernah melaksanakan pengampunan pajak. Sejarah tax amnesty di Indonesia dimulai pada tahun 1964 atau 20 tahun setelah Kemerdekaan Indonesia. 

Kebijakan Pemerintah Indonesia terkait pengampunan pajak (tax amnesty) ini bertujuan untuk mengembalikan dana revolusi, melalui perangkat Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres). 

Sejarah tax amnesty tahun 1964 ini berakhir pada 17 Agustus 1965. Saat itu, Penjelasan oleh Kepala Inspeksi Keuangan Jakarta Drs. Hussein Kartasasmita yaitu, sampai bulan Juli tahun 1965, jumlah dana yang diterima dari tax amnesty hanya sejumlah Rp. 12 miliar. 

Jumlah tersebut sama jumlahnya dengan penerima dana SWI (Sumbangan Wajib Pajak Istimewa) Dwikora. Hal ini dianggap sangat aneh karena memang seharusnya penerimaan dana dari tax amnesty lebih besar jika dibandingkan dengan dana pungutan SWI Dwikora. 

Sejarah tax amnesty mencatat, rendahnya pemasukan dari dana hasil tax amnesty ini akibat dari banyaknya pungutan-pungutan lainnya, yaitu diantaranya Gekerev dan SWI Dwikora. Hal ini berakibat mengurangi daya bayar pajak para wajib pajak. Target dana yang diterima dari tax amnesty ini untuk wilayah Jakarta sendiri berjumlah Rp. 25 miliar. 

Namun ternyata, dana dari tax amnesty yang masuk baru setengahnya. Karena itu, Presiden/Panglima Besar mengeluarkan keputusan yaitu, No.53/Kotoe Tahun 1965 yang isinya memperpanjang masa tax amnesty, yang awalnya dalam Perpres Nomor 5 Tahun 1964 batas waktu ditetapkan 17 Agustus 1965 menjadi sampai 10 Nopember 1965. Keputusan tersebut dianggap perlu untuk memberikan kelonggaran waktu kepada para pengusaha/pemilik modal yang mana belum sepenuhnya memenuhi Penpres Nomor 5 Tahun 1964. Namun, sejarah tax amnesty tahun 1964 ini tergolong gagal karena adanya Gerakan 30 September PKI atau yang lebih dikenal dengan G30S/PKI. 

Kemudian pada tahun 1984, Indonesia melaksanakan kebijakan tax amnesty yang kedua. Penerapan tax amnesty tahun 1984 ini bertujuan untuk mengubah sistem perpajakan di Indonesia dari official-assesment (besarnya jumlah pajak ditentukan oleh pemerintah) diubah ke self-assessment (besarnya pajak ditentukan oleh wajib pajak sendiri). 

Dalam pelaksanaannya, tax amnesty mengalami kegagalan karena sistem perpajakan yang belum terbangun. Namun ternyata, tax amnesty tersebut diperpanjang lagi sampai dengan 30 November 1965. 

Perpanjangan masa pembayaran tax amnesty tersebut, bertujuan memberikan kesempatan lagi kepada para wajib pajak yang memang melakukan kesalahan, utamanya dalam melakukan penghitungan harta kekayaan, seperti contohnya melaporkan harta berdasarkan harga yang tertera/tercantum dalam kwitansi, padahal seharusnya penghitungan berdasarkan harga yang berlaku saat itu. 

Selanjutnya Indonesia pernah menerapkan kembali pengampunan pajak pada tahun 2008. Demikian juga pelaksanaannya belum efektif karena wajib pajak sendiri kurang merespons dan tidak diikuti dengan reformasi sistem administrasi perpajakan secara terpadu dan menyeluruh.  

Minimnya keterbukaan dan peningkatan akses informasi juga menjadi salah satu penyebab belum berhasilnya pelaksanaan tax amnesty yang ketiga. Pemberian tax amnesty seharusnya tidak sekedar menghapus hak tagih atas wajib pajak namun yang lebih penting lagi sebenarnya adalah memperbaiki sikap dan perilaku wajib pajak, sehingga diharapkan akan terjadi peningkatan penerimaan negara di masa yang akan datang. 

Tahun 2022, Indonesia kembali melaksanakan tax amnesty selama 6 bulan ke depan yakni Januari-Juni 2022 atau yang lebih dikenal dengan program pengungkapan sukarela (PPS). Berbeda dengan pelaksanaan sebelumnya, tax amnesty di tahun 2022 dilakukan dengan memanfaatkan teknologi digital. 

Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan mencatat bahwa hingga Senin (4/4/2022), terdapat 32.820 wajib pajak yang mendaftar program PPS. Terdapat 37.440 surat keterangan dari seluruh peserta, sejak PPS berlaku pada 1 Januari 2022. Dari jumlah tersebut, Pemerintah memperoleh nilai harta bersih dari peserta PPS sebesar 53,07 triliun setelah 93 hari pelaksanaan program pengungkapan sukarela (PPS).

Dampak Tax Amnesty

Tidak dipungkiri bahwa kebijakan tax amnesty memberikan dampak positif dan negatif. Hal ini lah yang menimbulkan dilema bagi pemerintah selaku perumus kebijakan, sehingga pemerintah harus berupaya lebih untuk mengatasi dampak-dampak yang ditimbulkan dari tax amnesty, baik dari sisi pemerintahan maupun wajib pajak. Berkaca dari kebijakan tax amnesty di tahun 2016, kehadiran tax amnesty menimbulkan pro kontra baik dari sisi pemerintahan dan wajib pajak. 

Tax amnesty yang diterapkan tahun 2016 lalu, disambut baik oleh sebagian masyarakat yang beranggapan akan mengatasi segala permasalahan sosial ekonomi mereka. Adapun dampak positif dari penerapan tax amnesty. Pertama, Berpotensi dalam meningkatkan penerimaan APBN dan berkelanjutan. 

Secara masif, hal ini akan membantu program pembangunan pemerintah melalui daya belanja pemerintah yang besar dan diharapkan mampu mengurangi segala permasalahan sosial dan memperbaiki kondisi perekonomian. Kedua, dampak fundamental perekonomian negara melalui repatriasi. 

Hal ini akan membantu dalam menjaga stabilitas ekonomi makro suatu negara melalui indikator nilai tukar rupiah, likuiditas perbankan, dan cadangan devisa. Ketiga, mencegah terjadinya praktik penyelundupan pajak. Praktik ini membuat wajib pajak yang jujur memikul beban pajak yang besar. Keempat, meningkatkan kepatuhan dan kesadaran wajib pajak di Indonesia.

Mengacu pada penerapan di tahun 2016 , timbul suatu gagasan tax amnesty berulang yang menuai banyak kritik dari pengamat ekonomi akan munculnya dampak negatif. 

Pertama, memiliki potensi dalam mengurangi kedisiplinan dan kesadaran wajib pajak, serta yang kedua, memiliki potensi menimbulkan rasa ketidakadilan bagi wajib pajak. Adanya kesenjangan antara wajib pajak yang taat dalam melaporkan aset dan membayar pajak dibandingkan dengan yang mendapat pengampunan pajak.

Pada tax amnesty jilid 2 di tanggal 1 Januari 2022 ini, penetapan tarif diekspektasikan akan mendapatkan sentimen positif khususnya di pasar Surat Berharga Negara (SBN), karena terdapat aliran dana reinvestasi dan repatriasi yang masuk. Namun, apa yang diyakini oleh para analisis menyatakan bahwa pasar SBN cenderung terbatas. 

Menurut Dimas Yusuf selaku Head of Fixed Income Sucorinvest Asset Management, timing yang kurang tepat menjadi salah satu penyebab dari kurangnya dampak tax amnesty ke pasar SBN saat ini. 

Menurutnya, akan timbul potensi pembatasan minat karena profit yang terbatas, hal ini disebabkan oleh yield SBN pada tahun ini tidak memiliki perbedaan yang mendalam terhadap prospek di tahun mendatang.  "Dengan kemungkinan jumlah pajak yang balik tidak sebesar tax amnesty jilid I, maka dampaknya ke pasar SBN juga akan terbatas. Terlebih, tahun depan memang akan jadi periode yang cukup menantang untuk SBN,"ujar Dimas, Kamis (30/12/2021). 

Selain itu, Senior Economist Samuel Sekuritas Fikri C Permana mengungkapkan bahwa efektivitas tax amnesty akan menentukan positif atau tidaknya dampak tax amnesty ke pasar SBN. 

Namun, Fikri meragukan akan tax amnesty kali ini dapat memberikan dampak signifikan. Tarif yang ditetapkan kali ini tidak semenarik tax amnesty di jilid pertama sebesar 0%. Alhasil, diprediksi tidak terlalu berdampak ke pasar SBN.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun