Mohon tunggu...
Data Membangun Indonesia
Data Membangun Indonesia Mohon Tunggu... Konsultan - Lembaga Riset

Akun resmi Data Membangun Indonesia. Melihat dan membangun Indonesia dengan kajian dan data. Kunjungi kami di twitter @dmindonesia_org

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Milenial Jabodetabek Optimis Selama PSBB Berlangsung, Bagaimana Sekarang?

19 Juli 2020   12:40 Diperbarui: 19 Juli 2020   13:07 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Riset ini dilakukan oleh Tim Data Membangun Indonesia dan Behavioral Research Jakarta Smart City

Masa PSBB di DKI Jakarta dan daerah sekitarnya (Bodetabek) dengan protokol dan pembatasan pergerakan masyarakat secara ketat, telah berakhir. Saat ini, warga Jabodetabek memasuki masa transisi, atau jika menurut versi Pemprov DKI Jakarta disebut sebagai masa Kolaborasi Sosial Berskala Besar (KSBB). 

Masyarakat sekarang dapat berpergian, bekerja, menggunakan transportasi publik, atau bagi para pedagang dapat membuka lagi lapaknya, asal tetap menjalankan protokol pencegahan COVID-19 secara disiplin. 

Meskipun begitu, angka positif (PDP ataupun ODP) di daerah Jakarta, grafiknya belum juga turun. Berita baiknya, angka kesembuhan terus meningkat seiring dengan kualitas pelayanan kesehatan yang semakin baik. Hal ini, setidaknya memberikan angin segar bagi masyarakat untuk tetap bersama-sama berjuang melawan pandemi.

Selama masa PSBB, kondisi semacam ini sudah diprediksi akan terjadi oleh tim peneliti, bahwa kondisi yang menggambarkan perasaan-perasaan optimis selama masa PSBB, akan menimbulkan hal-hal atau berita-berita baik mengenai COVID-19 ke depannya. 

Harapan-harapan itu, utamanya adalah peningkatan kualitas layanan kesehatan, baik untuk pencegahan (adanya jaminan kesehatan) atau perawatan intensif bagi pasien yang positif COVID-19. Penelitian  ini dilakukan selama masa PSBB dan melibatkan 520 responden yang disampling secara convenience  di area Jabodetabek. Pengambilan data penelitian dilakukan dengan self-report menggunakan google form.

Faktor Utamanya adalah Kecemasan, Keduanya adalah Ekonomi

Sejak kasus pertama COVID-19 muncul, dan telah dikonfirmasi oleh pemerintah, kecemasan publik mutlak tidak dapat dihindarkan. Sejak awal munculnya COVID-19, pada Januari lalu, sudah membuat masyarakat was-was. Hal ini diperkuat juga oleh mudahnya akses masyarakat terhadap sumber informasi global seperti youtube, twitter, atau facebook

Belum lagi, pesan-pesan berantai yang telah menjadi latah kebudayaan baru di masyarakat kita.  Adanya ketidakjelasan pemerintah dalam menerapkan kebijakan, tepatnya protokol, penanganan dan pencegahan penyebaran COVID-19 tentu menjadikan masyarakat kita semakin merasa cemas, rentan, dengan teror yang tak kasat mata ini (baca: virus yang dapat menembus antibodi siapa saja tanpa pandang bulu, di manapun, dan kapanpun).

Sigapnya, pemerintah kita tidak ingin blunder untuk kedua kali, khususnya Pemprov DKI Jakarta yang segera membentuk tim cepat tanggap COVID-19, ditambah membuat platform atau wadah sistem informasi yang dapat membantu, baik pemerintah atau masyarakat, untuk memantau perkembangan dan persebaran virus secara terkini. 

Hal ini juga diikuti dengan diterapkannya kebijakan-kebijakan, atau lebih tepatnya himbauan, kepada masyarakat mengenai hal apa yang harus dilakukan jika mengalami gejala-gejala COVID-19, rumah sakit mana yang dapat dijadikan rujukan, atau bantuan-bantuan apa yang kira-kira dapat tepat sasaran membantu masyarakat di situasi kondisi saat itu. 

Selain kecemasan, faktor lain yang dirasa penting untuk diperhatikan waktu itu adalah kerentanan ekonomi. Faktor ini tidak dapat dinihilkan begitu saja karena juga menjadi imbas dari adanya pandemi, tentang bagaimana masyarakat memenuhi kebutuhan primernya atau mempertahankan pekerjaannya, apabila harus melaksanakan protokol ketat selama PSBB. 

Kedua faktor ini kemudian menjadi dilema sosial tersendiri yang membuat masyarakat harus memilih, begitu juga pemerintah, apakah dengan ketat dan patuh melakukan protokol ketat selama PSBB, tapi tidak bisa bekerja, dan tidak bekerja berarti akan sulit untuk memenuhi kebutuhan pangan; atau mementingkan urusan 'perut', tapi rantai virus tidak akan terkendali.

Hal inilah yang akhirnya menjadi fokus utama penelitian (saat pandemi dan pemberlakuan PSBB ketat), yaitu seberapa cemas masyarakat dengan COVID-19, yang dapat membuat siapa saja menjadi korban; dan bagaimana masyarakat menyikapi kerentanan ekonominya selama pandemi.

Kecemasan terhadap perasaan takut mati oleh COVID-19, diukur dengan scale of death anxiety yang dikembangkan oleh Cai, Tang, Wu, dan Li (2017) dengan penyesuaian item, sedangkan gambaran kerentanan ekonomi dilihat dari seberapa masyarakat mempersepsikan daya pemenuhan kebutuhan pangan dan kesehatan, memprediksi ketahanan untuk dapat terus bekerja, dan juga dukungan sosial dari lingkungan sekitar.

Semakin Tahu, Semakin Patuh Protokol, atau Sebaliknya?

Dari hasil data penelitian, informasi-informasi mengenai COVID-19 selalu menjadi topik teratas sehari-hari di media-media dan juga pembicaraan masyarakat. Paling banyak akses informasi diperoleh di berita daring (12,43%), disusul dengan televisi (11,82%), Instagram (11, 54%), percakapan Whatsapp (9,92), dan situs resmi (9,20%). Informasi yang telah diperoleh itu, kemudian disebarkan kembali oleh responden kepada keluarga (45,42%), dan juga teman atau kolega (41,72%) menggunakan aplikasi whatsapp (36,34%) dan juga percakapan langsung (25,09%). 

Dari data ini, kuat membuktikan bahwa masyarakat kita terlihat begitu komunal dan saling peduli dengan sesama. Tentu hal ini menjadi hal yang baik dan meningkatkan optimisme bagi kita semua, khususnya pemerintah yang terus menggalakan himbauan untuk 'tetap tinggal di rumah; bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dan beribadah di rumah'. 

Pasalnya, pengetahuan terkait COVID-19 yang disebarkan bukanlah hal yang deklaratif, melainkan lebih ke diskusi-diskusi dan praktis tentang bagaimana cara mencegah dan menjaga diri dan orang terdekat dari paparan virus.

Pengetahuan terkait COVID-19 menjadi pegangan penting bagi masyarakat selama pandemi berlangsung. Semakin masyarakat tahu mengenai hal apa yang boleh dan tidak dilakukan selama PSBB, semakin terkontrol penyebaran virus. 

Namun, apakah hal itu benar terjadi? Sepertinya belum tepat dan butuh penajaman fakta yang lebih kuat. Buktinya, angka positif (hingga saat ini) belum juga turun, walau PSBB ketat sudah dilakukan. Apakah virus sebegitu cepatnya menyebar? Atau lambatnya tindak lanjut pemerintah terhadap penanganan pandemi?

Milenial Kita Masih 'Optimis', Tapi Banyak PR untuk Pemerintah

“Walaupun saat ini tren kasus positif belum dapat dinyatakan menurun, responden ternyata memiliki perasaan optimis untuk mampu melewati pandemi, hanya 25% saja yang memiliki tingkat kecemasan tinggi dan sangat tinggi”

Sesuai dengan yang tertera pada kutipan di atas, masyarakat milenial kita masih dalam kondisi optimis, belum ada kecemasan berarti terkait kematian akan COVID-19. 

Hal ini tergambar dari hasil penelitian yang memperlihatkan bahwa tingkat kecemasan dengan kategori tinggi dan sangat tinggi hanya berada di tingkat persentase 25,4%, sedangkan untuk kategori sangat tidak cemas, cemas, dan kecemasan yang tidak berlebih terakumulasi sebesar 74,6%. Setidaknya, masyarakat masih siap siaga untuk kondisi terburuk, jika suatu hari nanti mereka terinveksi COVID-19. 

Namun demikian, hal yang perlu dijadikan catatan adalah persepsi kerentanan ekonomi yang dialami responden. Angka persentasenya dirasa menghkhawatirkan, yaitu berada di 34,8% merasa sangat khawatir dan khawatir (di aspek pemenuhan kebutuhan pangan), 80,5% sangat khawatir dan khawatir (di aspek pemenuhan fasilitas kesehatan yang memadai), serta 70% tidak mampu dan sedikit merasa mampu (di aspek klaim asuransi kesehatan jika terinfeksi COVID-19). 

Tentu ini menjadi tantangan serius bagi pemerintah setempat untuk menurunkan kekhawatiran masyarakat dengan meningkatkan layanan kesehatan, baik untuk langkah-langkah preventif ataupun kuratif, pun ketersediaan kebutuhan pangan yang dapat menjagkau semua.

“Perlu digarisbawahi responden ternyata memiliki kekhawatiran yang cukup tinggi terhadap pemenuhan kebutuhan pangan dan akses kesehatan yang memadai, dan juga hanya 33% responden yang merasa mampu untuk mengeluarkan biaya kesehatan”

Beruntungnya kondisi di atas, cukup diimbangi oleh pola interaksi masyarakat kita yang begitu tepa salira dan memiliki empati tinggiHasil penelitian menunjukkan bahwa 71,8% menyatakan yakin dan sangat yakin dapat mengatasi wabah COVID-19 dengan baik, 78,5% merasa didukung dan sangat didukung oleh lingkungan sosial sekitarnya, serta 64% responden menyatakan telah mengurangi mobilitas bekerja dan beraktivitas, sesuai dengan himbauan dari tempat bekerja atau pemerintah. Salut.

"Responden merasa kondisi sosial dan lingkungan sudah saling mendukung, sehingga mayoritas siap untuk mengurangi mobilitas dan mengikuti arahan dari pemerintah"

Bagaimana Sekarang?

Berkaca pada penelitian di atas, mari kita saling merefleksikan usaha-usaha kita sendiri, apa peran yang telah kita ambil dan lakukan dalam rangka memutus mata rantai COVID-19. 

Pemerintah, tentunya selalu menginginkan hasil baik dan menyudahi masa pandemi. Terlalu banyak goncangan di berbagai aspek, ekonomi, konflik sosial, mobilitas, belum lagi saling hujat dan menyalahkan. 

Apakah kita sudah benar-benar selalu mendukung usaha pemerintah untuk menyudahi grafik angka positif COVID-19 yang terus naik? Apakah kita sudah disiplin memakai masker, atau menjaga jarak, dan menghindari kerumunan? Lebih-lebih, jika kita mampu, seberapa kita berempati kepada korban dan tenaga medis dengan memberikan donasi, atau minimalnya memberikan dukungan sosial? 

Hal yang jelas terjadi saat ini, PSBB dengan protokol ketat sudah berakhir. Berganti dengan masa transisi karena urusan 'perut', tidak dapat dikompromikan. Masyarakat sudah sedikit lowong (sudah sangat bebas bahkan) untuk keluar rumah, tanpa rentetan pertimbangan ini itu. Tentunya juga, kita tidak ingin lagi ada kabar-kabar PHK besar-besaran terjadi atau milenial yang sedang merintis startup, gulung tikar. 

Situasi terkini, pembiasaan menuju normal baru sedang berjalan. Bantuan-bantuan sosial juga semakin digalakan, dengan tuntutan Bapak Presiden yang ngotot untuk dipenuhi: menggelontorkan APBN yang luar biasa banyak untuk subsidi kesehatan, pangan, dan ekonomi. 

Akan lebih bijak jika saat ini, kita memelihara sikap siap siaga dengan perasaan-perasaan optimis dan penuh harapan, karena kita semua belum tahu pasti, bagaimana akhir dari pandemi yang telah menggegerkan dunia ini, ke depannya.  (GAS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun