Mohon tunggu...
Djumiatun SR
Djumiatun SR Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Hobi membaca, menambah ilmu

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Lantai Empat

2 Juni 2024   14:50 Diperbarui: 2 Juni 2024   14:55 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Pribadi desain dengan Bing

Pesawat yang kami tumpangi mendarat mulus di bandara Ngurah Rai, Bali. Kami berlima, aku, Meili, Sandra, Kirana, Nadira dan Tiara bersahabat sejak SMP.

"Bali ... kami datang!" Teriak Sandra di pintu keluar pesawat. Semua penumpang melihat ke arah kami sambil menahan senyum.

"Hadeuuuh, kampungan banget si Sandra!" gerutuku pelan, diikuti cekikikan yang lain.

Kami dijemput pihak hotel tempat kami menginap. Sebuah hotel yang cantik di daerah legian. Kami masih terus bercanda. Kami pun terpesona oleh keindahan penataan eksterior maupun interior hotel. Hotel ini letaknya sangat strategis. Kami diantar sampai kamar di lantai paling atas.

Sorenya kami dijemput pemandu wisata, menuju Uluwatu untuk melihat pertunjukan tari Kecak. Kami memilih pertunjukan pertama  pukul 18.00 - 19.00. Menonton pertunjukan dengan latar belakang sunset. Piringan mentari berwarna jingga perlahan mendekati cakrawala yang merona jingga kekuningan. Amazing! Sangat memesona. Semilir dingin angin malam di tengah hentakan suara rampak penari, oncor bambu pun dinyalakan. Nuansa magis berkelindan. Penonton tampak sangat terpukau, seperti berada di dunia lain.

Dari Uluwatu, kami lanjut ke Jimbaran untuk makan malam. "Bukan main! Hati ini rasanya sangat terharu," desisku lirih pada diri sendiri. 

Sambil menunggu pesanan, kami foto-foto di pantai. Panorama pantai alami di malam hari. Kami makan diiringi debur ombak dinaungi bintang gemintang. Di atas sana langit begitu bersih biru kehitaman, sang Dewi Purnama raya tersenyum memperhatikan kami yang tengah asyik melahap makanan tanpa sisa. Kami benar-benar menikmati malam yang sangat mengesankan terutama diriku, si cewek cupu. 

Ortuku sangat protektif menjagaku. Baru kali aku pergi jauh sendiri tanpa penjagaan mereka. Aku menikmati kebebasanku. Merdeka! teriakku dalam hati. Tanpa sadar bibirku mengulas senyum.

Sekitar pukul 10.00 malam kami pulang ke hotel. Rupanya beberapa tamu hotel juga baru berdatangan dengan niat sama, istirahat untuk melanjutkan melancong keesokan harinya. Di depan lift kami bergabung mengantri.

Tiba giliran aku masuk lift, terdengar bunyi alarm akibat overload. Aku turun, alarm pun berhenti. Beberapa saat kemudian lift satunya terbuka, beberapa turis asing keluar. Aku sendirian, langsung kupencet tombol paling atas. Lift meluncur naik. Tiba-tiba lampu berkedip-kedip. Mataku langsung terbelalak mendapati angka empat di tombol yang menyala. Saat datang kami tidak hirau, hanya tahu kamar kami di lantai paling atas.

"Sandra! Kenapa lo berbohong?"  gerutuku dalam hati. Debar jantung mulai berpacu. Aku ingat larangan Mamah untuk tidak tinggal di lantai empat. Keyakinan kami, angka itu membawa sial, bahkan kematian.

Jantungku berdebaran semakin kencang, keringat dingin mulai mengalir di punggung. Kupencet semua tombol, tapi gagal. Listrik pun padam. Lift terus melaju kencang dan berhenti tiba-tiba. Aku panik, tak ingat menyalakan HP. Tetiba pintu terbuka, keadaan di luar sangat gelap. Sesuatu menarikku ke luar dengan kasar membuatku terjatuh. HP terlepas dari genggaman. Aku dilempar dan jatuh di tempat yang lembab. Kudengar suara-suara aneh. Tiba-tiba ...

"Meili ... Meili ...," sebuah suara serak menggaung memanggilku. Aduh, ini ada di mana? Siapa yang memanggilku? jerit hatiku.

"Akhirnya kau datang juga!"  Terdengar lagi suara menyeramkan itu.

Akhirnya? tanyaku dalam hati. Kapan aku janji mau datang? batinku bingung. Aku semakin ketakutan. Kuedarkan pandanganku dalam keremangan. Bulan bulat terhalang pepohonan. Aku berada di suatu padang rumput liar bersemak belukar. Rumpun-rumpun ilalang di sana-sini. Kutengok arah lift tempatku tadi diseret keluar, tak nampak apa pun. Semua bangunan juga raib. Hanya pepohonan tinggi yang tumbuh rapat memagari tempatku berada.

Tak berapa lama muncul arak-arakan yang tampak seperti bayangan berjubah, keluar dari hutan. Mereka mengikuti empat orang yang menggotong sesuatu, seperti sebuah peti panjang. Mereka semua memakai tudung hitam yang membayangi wajahnya.

Aduuuh, seperti rombongan malaikat maut, batinku dengan hati kecut. Ban hitam wushu yang kusandang, tak ada artinya. Kaki rasanya lemas sekali. Aku mulai konsentrasi mengatur napas untuk mengembalikan keberanianku dan membesarkan hati, bersiap jika sesuatu yang buruk menimpa. 

Benar saja mereka menuju ke tempatku. Mulai terdengar tawa serak bergaung diseling menyebut namaku. Tubuhku merinding, hampir saja aku kehilangan nyali yang susah payah kukumpulkan. Aku langsung bangkit dan berlari ke arah tempat aku keluar tadi. Lari, terus berlari dan berlari. Sesuatu mengejarku. Tiba-tiba ...

"Mau ke mana kau, hah!" suara serak menakutkan menghardikku. Sesuatu melayang meluncur turun tepat di hadapanku, membuatku berhenti mendadak dan tersungkur. Aku berusaha bangkit, tapi bayangan itu membuat ciut hatiku. Bayangan itu tertawa terkekeh menakutkan. Pandanganku mulai normal lagi, bayangan itu ... 

"Ni Rangda, Ratu Iblis! Kata pencerita tadi," bisikku lirih dengan ketakutan. Kulihat matanya merah menyala, mulut merahnya menyeringai menampakkan kedua taring tajamnya. "Berarti ... berarti ....! Aku tak mampu melanjutkan saking takutnya.

"Hua ha ha ha ... kau tak sangka aku ada? Aku memang nyata adanya," katanya sambil terus tertawa mengerikan. "Tak akan ada yang menolongmu! Kau berada di daerah kekuasaanku."

Aku terhenyak lalu menjerit minta tolong, tapi suaraku nyangkut di tenggorokan.

"Moyangmu dulu, telah mengusir kami dari tempat ini! Manusia serakah itu, demi membangun tempat yang menghasilkan uang, telah menghancurkan kerajaan kami! Sekarang kami butuh darah segar untuk menyiram tanah yang kotor ini. Isi perutmu pasti lezat menerbitkan air liurku," katanya sambil menyedot liurnya sendiri. Menjijikkan!

"Darahmu, darah keturunan moyangmu yang rakus itu! Hemm ...," dengusnya.

Begitu ucapannya selesai, aku diringkus bayangan lain dan dimasukkan kedalam peti diikuti tawa Ni Rangda. Ternyata sebuah peti mati. Aku berontak hendak keluar peti, tapi tutup peti melayang tepat di atasku. Seketika aku merebahkan diri agar kepalaku selamat. Tutup peti jatuh berdebum menutup dengan keras.

Aku terus memukul dan menendang sambil menjerit memanggil Mama, Papa dan Engkong. Kurasakan guncangan keras terus menerus, sepertinya dibawa sambil berlari, atau mungkin sambil dilempar-lempar. Entahlah.

***

Sementara di lantai atas hotel tempat Meili dan kawan-kawan menginap, keempat temannya sedang berkumpul di kamar Sandra. Mereka sibuk dengan ponselnya memilih foto-foto terbaik. Tiba-tiba ...

 "Heh, dah tengah malem Meili belum sampai!" kata Sandra mengejutkan sambil menatap jam dinding yang jarumnya nyaris berhimpitan di angka 12.

"Oh iya! Hayo kita turun!" ajak Tiara dengan panik.

Dengan terburu-buru keempat gadis itu keluar. Mereka saling mempertanyakan keberadaan Meili. Sampai di lobby, Sandra menceritakan tentang terpisahnya mereka dengan Meili yang hilang. Semua petugas tidak ada yang mengetahui keberadaan Meili. 

Seorang satpam melintas dari arah belakang. Petugas resepsionis menanyainya. Dia memandang keempatnya sambil mengerutkan dahi. Beberapa saat kemudian dia teringat sesuatu.

"Apa temennya tadi yang ketinggalan lift?" Keempat teman Meili mengangguk dengan antusias. Secercah harapan tumbuh di hati mereka.

"Tidak lama setelah pintu lift menutup, pintu lift sebelahnya terbuka. Dia naik sendirian. Kebetulan tadi saya mau naik, tapi nggak jadi."

"Harusnya dia sudah sampai, dong. Nyatanya belum," sahut Nadira khawatir. 

Keempat gadis itu pun bingung dan cemas, wajah mereka memucat ketakutan. Begitu juga petugas hotel.

"Aduh gimana ini? Ini pertama kali Meili pergi sendiri," keluh Sandra. Yang lain bungkam.

Manajer hotel datang setelah mendapat laporan dari petugas resepsionis. Malam itu mereka berpencar mencari. Teman-teman Meili mulai menangis. Mereka menyesal telah membujuknya ikut ke Bali. Sementara Meili masih berjuang di dalam peti.

***

"Gila panasnya ... panas dan pengap, mana gelap lagi!" keluhku. 

Percuma saja menggerutu, marah atau pun menangis, aku nggak bisa keluar dari sini. Tapi masih ada setitik harapan di hatiku. Moyangku tak akan tinggal diam. 

Tiba-tiba kurasakan guncangan hebat. Peti berputar kesana-kemari dan terbalik lalu melambung, seperti rollercoaster. Kepalaku pusing, tubuhku kadang tengkurap dan kembali terlentang setelah sebelumnya berputar vertikal, seperti bola yang sedang ditendang-tendang pemainnya. Daaan ...

Bruaak ... peti hancur berkeping. Angin kencang bertiup di sekitar tubuh lemasku. Aku tak bisa lagi berpikir, otakku terasa kosong. Kupejamkan mata untuk mengurangi rasa pusing yang meremas kepalaku. Kurasakan tubuhku seperti didorong oleh sesuatu, tepat ketika pusaran angin kencang mereda, lalu dilempar menimpa dinding. Aku jatuh tergolek di lantai. 

Setengah mati aku berusaha membuka mataku. Hanya beberapa mili saja aku berhasil membukanya. Aku berada di selasar yang  terang. Kepalaku berdenyut, telinga pun berdenging. Pandangan makin menjadi buram, kelam lalu gulita. Suasana menjadi hening dan sunyi. Aku tak merasakan dan mendengar 

______________

Jakarta, Akhir Mei 2024

CATATAN:

Hotel J4 Bali di jl. Raya Legian berlantai 5. Satu-satunya hotel yang memakai tombol bernomor 4 di lift.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun