Aku terhenyak lalu menjerit minta tolong, tapi suaraku nyangkut di tenggorokan.
"Moyangmu dulu, telah mengusir kami dari tempat ini! Manusia serakah itu, demi membangun tempat yang menghasilkan uang, telah menghancurkan kerajaan kami! Sekarang kami butuh darah segar untuk menyiram tanah yang kotor ini. Isi perutmu pasti lezat menerbitkan air liurku," katanya sambil menyedot liurnya sendiri. Menjijikkan!
"Darahmu, darah keturunan moyangmu yang rakus itu! Hemm ...," dengusnya.
Begitu ucapannya selesai, aku diringkus bayangan lain dan dimasukkan kedalam peti diikuti tawa Ni Rangda. Ternyata sebuah peti mati. Aku berontak hendak keluar peti, tapi tutup peti melayang tepat di atasku. Seketika aku merebahkan diri agar kepalaku selamat. Tutup peti jatuh berdebum menutup dengan keras.
Aku terus memukul dan menendang sambil menjerit memanggil Mama, Papa dan Engkong. Kurasakan guncangan keras terus menerus, sepertinya dibawa sambil berlari, atau mungkin sambil dilempar-lempar. Entahlah.
***
Sementara di lantai atas hotel tempat Meili dan kawan-kawan menginap, keempat temannya sedang berkumpul di kamar Sandra. Mereka sibuk dengan ponselnya memilih foto-foto terbaik. Tiba-tiba ...
 "Heh, dah tengah malem Meili belum sampai!" kata Sandra mengejutkan sambil menatap jam dinding yang jarumnya nyaris berhimpitan di angka 12.
"Oh iya! Hayo kita turun!" ajak Tiara dengan panik.
Dengan terburu-buru keempat gadis itu keluar. Mereka saling mempertanyakan keberadaan Meili. Sampai di lobby, Sandra menceritakan tentang terpisahnya mereka dengan Meili yang hilang. Semua petugas tidak ada yang mengetahui keberadaan Meili.Â
Seorang satpam melintas dari arah belakang. Petugas resepsionis menanyainya. Dia memandang keempatnya sambil mengerutkan dahi. Beberapa saat kemudian dia teringat sesuatu.