"Sandra! Kenapa lo berbohong?" Â gerutuku dalam hati. Debar jantung mulai berpacu. Aku ingat larangan Mamah untuk tidak tinggal di lantai empat. Keyakinan kami, angka itu membawa sial, bahkan kematian.
Jantungku berdebaran semakin kencang, keringat dingin mulai mengalir di punggung. Kupencet semua tombol, tapi gagal. Listrik pun padam. Lift terus melaju kencang dan berhenti tiba-tiba. Aku panik, tak ingat menyalakan HP. Tetiba pintu terbuka, keadaan di luar sangat gelap. Sesuatu menarikku ke luar dengan kasar membuatku terjatuh. HP terlepas dari genggaman. Aku dilempar dan jatuh di tempat yang lembab. Kudengar suara-suara aneh. Tiba-tiba ...
"Meili ... Meili ...," sebuah suara serak menggaung memanggilku. Aduh, ini ada di mana? Siapa yang memanggilku? jerit hatiku.
"Akhirnya kau datang juga!" Â Terdengar lagi suara menyeramkan itu.
Akhirnya? tanyaku dalam hati. Kapan aku janji mau datang? batinku bingung. Aku semakin ketakutan. Kuedarkan pandanganku dalam keremangan. Bulan bulat terhalang pepohonan. Aku berada di suatu padang rumput liar bersemak belukar. Rumpun-rumpun ilalang di sana-sini. Kutengok arah lift tempatku tadi diseret keluar, tak nampak apa pun. Semua bangunan juga raib. Hanya pepohonan tinggi yang tumbuh rapat memagari tempatku berada.
Tak berapa lama muncul arak-arakan yang tampak seperti bayangan berjubah, keluar dari hutan. Mereka mengikuti empat orang yang menggotong sesuatu, seperti sebuah peti panjang. Mereka semua memakai tudung hitam yang membayangi wajahnya.
Aduuuh, seperti rombongan malaikat maut, batinku dengan hati kecut. Ban hitam wushu yang kusandang, tak ada artinya. Kaki rasanya lemas sekali. Aku mulai konsentrasi mengatur napas untuk mengembalikan keberanianku dan membesarkan hati, bersiap jika sesuatu yang buruk menimpa.Â
Benar saja mereka menuju ke tempatku. Mulai terdengar tawa serak bergaung diseling menyebut namaku. Tubuhku merinding, hampir saja aku kehilangan nyali yang susah payah kukumpulkan. Aku langsung bangkit dan berlari ke arah tempat aku keluar tadi. Lari, terus berlari dan berlari. Sesuatu mengejarku. Tiba-tiba ...
"Mau ke mana kau, hah!" suara serak menakutkan menghardikku. Sesuatu melayang meluncur turun tepat di hadapanku, membuatku berhenti mendadak dan tersungkur. Aku berusaha bangkit, tapi bayangan itu membuat ciut hatiku. Bayangan itu tertawa terkekeh menakutkan. Pandanganku mulai normal lagi, bayangan itu ...Â
"Ni Rangda, Ratu Iblis! Kata pencerita tadi," bisikku lirih dengan ketakutan. Kulihat matanya merah menyala, mulut merahnya menyeringai menampakkan kedua taring tajamnya. "Berarti ... berarti ....! Aku tak mampu melanjutkan saking takutnya.
"Hua ha ha ha ... kau tak sangka aku ada? Aku memang nyata adanya," katanya sambil terus tertawa mengerikan. "Tak akan ada yang menolongmu! Kau berada di daerah kekuasaanku."