Mohon tunggu...
Djumiatun SR
Djumiatun SR Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Hobi membaca, menambah ilmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terpuruk

18 Maret 2024   08:53 Diperbarui: 18 Maret 2024   08:54 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

TERPURUK

Kegelisahan memuncak netra pun sulit terpicing. Benakku riuh rendah membayangkan vonis terburuk yang besok pagi akan diputuskan untukku. Miring ke kanan, ganti ke kiri. Lempang lalu meringkuk. Terlentang terkadang tengkurap. Menyisakan seprei kusut. Perlahan dengan kepala berat, aku bangkit menuju dapur, menuang air es. Cairan dingin meluncur mendinginkan dada dan perutku. Aku bersuci menghadap Dia yang menguasai segalanya. Sujud tersungkur mengadu sampai berurai air mata. Memohon kekuatan menghadapi semua cobaan hidup dari-Nya. Aku juga mengharap agar sakitku sebagai penggugur dosa-dosaku. Sebagian beban beratku terasa luruh dari kedua bahu yang rasanya mau patah.

Aku duduk terpaku di depan meja dokter ahli penyakit kandungan di sebuah Rumah Sakit Kanker di Jakarta. Dengan penuh rasa khawatir dan pikiran buruk yang riuh berseliweran di benakku, kutatap dokter Suma yang memeriksaku. Dengan ekspresi yang sulit kuterka, dia membaca hasil laparoskopi lima hari yang lalu. Keringat dingin mulai mengembun di keningku, kedua tangan juga mendingin dan lembab oleh keringat. 

Jika perkiraanku benar, tentu saja obat-obatan yang kuminum pasti sangat keras. Bagaimana tubuhku bisa tahan menerima obat-obatan dengan dosis tinggi? keluhku dalam hati. 

Aku pernah infark jantung hanya karena minum antibiotik dosis tinggi. Setelah mengembuskan napas dalam keluhan, dr. Suma menatapku dengan pandangan sulit diterka. Tak ada sepatah kata pun yang diucapkannya. Dalam kebungkaman, aku jadi tak sabar.

"Bagaimana Dok? Parahkah kondisinya?" tanyaku khawatir.

Sebenarnya aku tahu tubuhku tidak baik-baik saja. Setiap bulan jika tamu bulanan datang, rasa sakit oleh-olehnya. Makin lama makin sakit, hingga puncaknya aku tak mampu lagi menahannya. Kuberanikan diri untuk periksa ke rumah sakit. Di sinilah aku sekarang.

Setelah melalui rangkaian pemeriksaan, dokter memberi berita yang membuatku syok berat. Jiwaku terguncang, harapan dan cita-citaku luluh lantak tak berbentuk. Aku divonis menderita kanker kelenjar getah bening yang bermetastasis di indung telur. Dokter Suma angkat tangan. Kondisinya sudah menyebar kemana-mana. Pengobatan atau pun tindakan akan sangat berisiko tinggi. Dunia terasa gelap, separuh nyawa terasa melayang. Lemah lunglai tak bertenaga. 

Dalam keadaan terpuruk, takut, bingung dan entah kata apalagi yang cocok untuk melukiskan perasaanku saat itu, aku tetap harus berusaha untuk tegar. Tidak boleh tumbang dan harus terus bekerja jika tidak ingin diberhentikan. Selama nyawa ini masih menghuni ragaku, aku harus terus berusaha.

"Dok, memang nggak ada obatnya? Atau mungkin ada terapi apa, gitu?" tanyaku. Dokter Suma menggeleng lemah. 

"Risikonya terlalu tinggi. Untuk yang baru gejala atau stadium 1, mungkin bisa. Tapi ini sudah stadium 4 lanjut dan menyebar ke semua organ vital," jelasnya, sambil meresepkan dua macam obat yang aku tidak tahu kegunaannya.

Aku hanya bisa menangis, menangis dan menangis. Bantal dan guling menjadi saksi kesedihanku. Malam semakin larut, mata pun tak hendak berkompromi. Dengan tertatih aku bangun, mengambil air wudhu. Badan rasanya menjadi segar. Sengaja tak kukeringkan, takut kehilangan kesegarannya. Aku kembali merebahkan diri. Kulihat HP yang masih tergolek setia menunggu di pembaringan. Kupindah dia ke meja malam, lalu kuambil lagi.

"Ya Allah beri aku petunjukmu," desisku.

Kulihat penunjuk waktu di HP, ternyata sudah pukul 03.00 dini hari. Aku mengambil sajadah dan mukena. Tahajud tak mungkin kudirikan, tapi aku masih bisa salat Witir. Tersungkur sujud menangis di atas sajadah di ujung salat. Kuadukan semua derita yang menimpa, meski aku tahu Tuhan mengetahui penderitaan umatnya. Aku yakin, Allah menungguku untuk memohon pertolongan dan petunjuk-Nya. Salat benar-benar mampu menenangkan hati dan jiwaku. Kubuka mushaf al-Quran. Kubaca deretan kalam ilahi mengisi waktu menunggu azan subuh. Kegelisahan terkikis, hatiku tenang, air mata pun mengering.

Selepas salat Subuh, tv kunyalakan untuk melihat kajian subuh di salah satu kanal tv swasta. Mata rasanya berat. Dari bangun tidur kemarin, belum sedetikpun mata terpejam untuk istirahat. Dan semalaman dia dipaksa mengalirkan airnya untuk membasuh kesedihan, dan semua rasa sakit di hati, jiwa dan tubuhku. Tausyiah dari ustadz yang sedang naik daun, seperti menina bobo mengantarku dalam tidur yang menenangkan. Entah berapa lama aku tertidur, lamat-lamat kudengar bunyi dering HP. 

Kukumpulkan kesadaranku, bunyi HP semakin jelas. Perlahan mata kubuka. Seberkas cahaya matahari menerpa dari jendela yang sejak subuh terbuka tirainya, menyilaukan mataku. Seketika aku bangun dan meraih HP. Sambungan dari teman kantor.

"Nin, kau di mana?"

"Astaghfirullahaladzim ... maaf, aku semalaman nggak bisa tidur. Perutku sakit sekali. Habis subuh tadi aku ketiduran. Pamitin bu Aris ya, hari ini ijin."

"Sudah kupamitin. Bagaimana hasilnya kemarin? Apa kata dokter?"

Aku terdiam, apa yang harus kukatakan? Kepada kerabat pun aku tak mengatakannya. Aku tak ingin nelangsa menggelayuti hidupku 24 jam, hanya karena perlakuan khusus orang-orang sekitar yang mengasihaniku.

"Nin! Kamu masih di sana?"

"Iya ... eh maaf ... iya. Dokter memberiku pereda rasa sakit. Dia menyarankan untuk istirahat. Surat keterangannya nanti tak kirim di WA"

Kulihat penunjuk waktu di HP, "astaghfirullah, aku tidur nggak kira-kira, 4 jam lebih!" gumamku sambil bergegas bangun untuk mandi dan mengambil wudhu. Kudirikan shalat Dhuha meminta pertolongan Allah untuk mengatasi penyakitku. Kuabaikan perutku yang protes minta diisi. Segelas susu panas yang takarannya kulebihkan, cukup menghangatkan dan mengenyangkan. Mulutku benar-benar enggan untuk mengunyah sesuatu. Rasanya aku ingin pulang menyusul ibu dan ayah.

Air mata mulai mengembun. Mataku membasah lagi. Kuembuskan napas dengan keras untuk melegakan dadaku. Selama ini pengobatan yang kulakukan, biayanya ditanggung asuransi. Di luar pengobatan medis harus bayar sendiri. Padahal dokter sudah angkat tangan. Ada niat untuk melakukan pengobatan alternatif. Tapi biaya dari mana? keluhku dalam hati.

Kaki mulai membengkak, kusembunyikan dengan gaun panjang lebar. Pinggul ke bawah rasanya sakit tanpa jeda, sangat menyiksaku. Aku hanya bisa menangis di malam-malam waktu tidurku. Kuakui aku sering protes kepada Tuhan, mengapa penyakit ini menimpaku. Semua orang tahu, keganasannya dapat merenggut nyawa. Sakit ini mengganggu aktivitas kerjaku.

Derita tidak berhenti sampai di sini. Ternyata di rahimku juga ada miom sebesar telur ayam berisi cairan darah. Suatu hari, kupikir tamu bulanan datang, sebagaimana biasa rasanya sakit sekali. Darah segar keluar begitu banyak, hingga mengalir seperti urine. Tubuh rasanya lunglai tak bertenaga. Makan waktu hingga 10 hari sampai benar-benar berhenti. Aku tetap menyangka itu tamu bulanan yang tidak normal. Aku pun mulai bertanya-tanya tentang pengobatan alternatif. Hingga suatu hari ...

"Nin, kau mulai menyerah?" pertanyaan Bram, mengejutkan dan menyadarkanku.

"Maksudmu?"

"Kudengar kau mencari pengobatan alternatif. Mulai tidak percaya pengobatan medis?"

"Bukannya tidak percaya, Bram. Maaf aku tidak bilang. Sebenarnya ...," aku bingung memberitahunya. Dengan menguatkan hati, aku menjelaskan. "Dokter Suma, yang ahlinya penyakit kandungan saja menyerah."

"Kandungan?" tanyanya terkejut. Aku mengangguk.

"Kankernya bermetastase di indung telur. Tidak di dalam indung telur, tapi di salurannya. Itu sebabnya aku selalu rutin kesakitan setiap bulan. Aku menderita endometriosis. Tanpa penanganan yang benar, dan sekarang sudah abses hingga ke usus dan dinding perut. Mungkin itu yang mempercepat pertumbuhan cell kankerku," jelasku terengah.

Bram termangu. Keheningan menyergap. Kami membisu. Kulihat Bram mulai gelisah, beberapa kali dia menutup wajah lalu mengempaskan punggung ke sandaran sofa. Beberapa kali dia mau bicara tapi batal. Aku tak tahan lagi.

"Ada apa, Bram? Katakanlah sesuatu!"

Setelah hening beberapa saat, dengan ragu dia bertanya, "Berarti kamu tidak bisa melahirkan? Kau tahu sendiri, kan? Bagaimana Papa dan Mama?"

Pertanyaannya benar-benar seperti palu godam menghantam keras dadaku, merontokkan sendi-sendi kehidupanku. Aku perempuan tidak sehat! Kami berdua hanya bisa bungkam.

Atas rekomendasi salah satu saudaraku, aku mencoba pengobatan seorang sinshe. Beberapa kali datang dengan biaya sukarela, aku belum merasakan kemajuan. Akhirnya beliau bilang harus minum obat ramuan yang bahan-bahannya langsung dari Cina. Harganya membuatku mau pingsan. Satu resep sekitar 75 juta, padahal aku perlu tiga resep. Aku pun hanya mampu menjanjikan untuk mengabarinya lagi.

Nyawa rasanya melayang. Putus asa menyelimutiku. Dari mana uang yang begitu banyak? Meski sinshe bilang menebusnya secara bertahap. Berapa bulan gaji untuk menebus satu resep? Lalu keperluan lain?

Di tengah kegalauan, juga rasa sakit yang tak henti, HP-ku bergetar. Dari nomor Bram. Sekilas rasa nyeri menggores relung hatiku. Perasaan hati pun was-was. Kuterima sambungannya, dan ... 

Pernyataannya membuatku seperti terbanting ke dasar palung jurang dari ketinggian bibir tebing yang curam.

Jakarta, 18 Maret 2024

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun