Kulihat penunjuk waktu di HP, "astaghfirullah, aku tidur nggak kira-kira, 4 jam lebih!" gumamku sambil bergegas bangun untuk mandi dan mengambil wudhu. Kudirikan shalat Dhuha meminta pertolongan Allah untuk mengatasi penyakitku. Kuabaikan perutku yang protes minta diisi. Segelas susu panas yang takarannya kulebihkan, cukup menghangatkan dan mengenyangkan. Mulutku benar-benar enggan untuk mengunyah sesuatu. Rasanya aku ingin pulang menyusul ibu dan ayah.
Air mata mulai mengembun. Mataku membasah lagi. Kuembuskan napas dengan keras untuk melegakan dadaku. Selama ini pengobatan yang kulakukan, biayanya ditanggung asuransi. Di luar pengobatan medis harus bayar sendiri. Padahal dokter sudah angkat tangan. Ada niat untuk melakukan pengobatan alternatif. Tapi biaya dari mana? keluhku dalam hati.
Kaki mulai membengkak, kusembunyikan dengan gaun panjang lebar. Pinggul ke bawah rasanya sakit tanpa jeda, sangat menyiksaku. Aku hanya bisa menangis di malam-malam waktu tidurku. Kuakui aku sering protes kepada Tuhan, mengapa penyakit ini menimpaku. Semua orang tahu, keganasannya dapat merenggut nyawa. Sakit ini mengganggu aktivitas kerjaku.
Derita tidak berhenti sampai di sini. Ternyata di rahimku juga ada miom sebesar telur ayam berisi cairan darah. Suatu hari, kupikir tamu bulanan datang, sebagaimana biasa rasanya sakit sekali. Darah segar keluar begitu banyak, hingga mengalir seperti urine. Tubuh rasanya lunglai tak bertenaga. Makan waktu hingga 10 hari sampai benar-benar berhenti. Aku tetap menyangka itu tamu bulanan yang tidak normal. Aku pun mulai bertanya-tanya tentang pengobatan alternatif. Hingga suatu hari ...
"Nin, kau mulai menyerah?" pertanyaan Bram, mengejutkan dan menyadarkanku.
"Maksudmu?"
"Kudengar kau mencari pengobatan alternatif. Mulai tidak percaya pengobatan medis?"
"Bukannya tidak percaya, Bram. Maaf aku tidak bilang. Sebenarnya ...," aku bingung memberitahunya. Dengan menguatkan hati, aku menjelaskan. "Dokter Suma, yang ahlinya penyakit kandungan saja menyerah."
"Kandungan?" tanyanya terkejut. Aku mengangguk.
"Kankernya bermetastase di indung telur. Tidak di dalam indung telur, tapi di salurannya. Itu sebabnya aku selalu rutin kesakitan setiap bulan. Aku menderita endometriosis. Tanpa penanganan yang benar, dan sekarang sudah abses hingga ke usus dan dinding perut. Mungkin itu yang mempercepat pertumbuhan cell kankerku," jelasku terengah.
Bram termangu. Keheningan menyergap. Kami membisu. Kulihat Bram mulai gelisah, beberapa kali dia menutup wajah lalu mengempaskan punggung ke sandaran sofa. Beberapa kali dia mau bicara tapi batal. Aku tak tahan lagi.