Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Aksara Pallawa, Penanda Sejarah Nusantara di Kalimantan Timur

17 September 2024   08:37 Diperbarui: 18 September 2024   06:25 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dari kiri: Ibu Ninie Susanti, Bapak Judi Wahjudin, dan Bapak Nardi/Museum Kebangkitan Nasional pada pembukaan pameran | Dokumentasi Pribadi

Tahukah Anda aksara apa yang tertua di Nusantara? Lalu tahukah juga aksara-aksara apa yang pernah ada di Nusantara? Aksara berhubungan dengan bahasa, nah bahasa-bahasa apa yang pernah ada di Nusantara?

Soal aksara dan bahasa yang pernah ada di Nusantara ini, bisa disaksikan di Museum Kebangkitan Nasional. Museum ini beralamat Jalan Abdul Rahman Saleh 26, Jakarta Pusat, tidak jauh dari RSPAD Gatot Subroto. 

Pameran berlangsung mulai 16 September hingga 28 September 2024. Tema yang diambil Aksara Gata: Mengungkap Makna Membaca Tanda. Selain pameran diadakan diskusi dengan berbagai topik, seperti tentang epigrafi, filologi, dan fotogrametri. Cukup membayar karcis masuk museum, kita bisa menyaksikan narasi tentang aksara dan bahasa.

Pameran ini diselenggarakan oleh Perkumpulan Ahli Epigrafi Indonesia (PAEI) didukung Direktorat Pelindungan Kebudayaan Kemendikbudristek dan Indonesian Heritage Agency. Pameran dibuka oleh Direktur Pelindungan Kebudayaan Bapak Judi Wahjudin.

Ruang pameran diawali prasasti yupa | Dokumentasi Pribadi
Ruang pameran diawali prasasti yupa | Dokumentasi Pribadi

Tertua

Menurut Ketua Kegiatan Dr. Ninie Susanti, pameran menjelaskan empat segmen dalam rangkaian pengkajian prasasti, yaitu perkembangan aksara, antara tradisi dan seni, aksara menguari makna, dan merekam aksara membaca tanda.

Prasasti yupa dalam bentuk tugu adalah penanda awal peradaban Sejarah Nusantara, terpahat dengan aksara Pallawa Tua dan bahasa Sanskerta. Beberapa buah yupa ditemukan pada 1879 di Bukit Beubus, Muara Kaman. Yupa-yupa yang berasal dari abad ke-5 ini berasal dari Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur.

Mengingat saat ini ibu kota negara berada di Kalimantan Timur, bukan tidak mungkin banyak tinggalan arkeologi yang masih terpendam di wilayah sana. Semoga penelitian arkeologi sering dilakukan. Jangan sampai nasib ibu kota Nusantara seperti Jakarta. Karena pembangunan fisik di Jakarta sangat pesat, banyak situs arkeologi tergerus oleh pembangunan itu, seperti oleh pembangunan jalan raya, pembangunan perumahan, dan pembangunan gedung.

Kembali ke masalah aksara, diketahui aksara Pallawa berakar dari aksara Brahmi berasal dari India, Arab, dan Latin. Dalam perkembangannya aksara Pallawa menjadi aksara Sumatra Kuno, aksara Ulu, aksara Lontara, dan aksara Batak.

Delapan belas tahun berselang setelah ditemukannya prasasti-prasasti beraksara Pallawa Akhir (732 Masehi), ditemukan prasasti-prasasti dengan pahatan aksara Jawa Kuno, yang disebut juga aksara Kawi. Hingga saat ini prasasti tertua beraksara Jawa Kuno adalah prasasti Hampran (Plumpungan) yang ditemukan di Salatiga dengan angka tahun 672 Saka (750 Masehi).

Yang unik, di Bali belum ditemukan adanya prasasti yang menggunakan aksara Pallawa. Aksara Bali dikenal di sana karena memiliki karakteristik yang berbeda. Begitu pun di Sumatra, dikenal aksara Sumatra Kuno yang kemudian menurunkan aksara lokal, yaitu Kaganga (Lampung), Rejang (Bengkulu), dan Batak. Selanjutnya pada abad ke-14 hingga ke-18 berkembang aksara dan bahasa Sunda Kuno.

Dari kiri: Ibu Ninie Susanti, Bapak Judi Wahjudin, dan Bapak Nardi/Museum Kebangkitan Nasional pada pembukaan pameran | Dokumentasi Pribadi
Dari kiri: Ibu Ninie Susanti, Bapak Judi Wahjudin, dan Bapak Nardi/Museum Kebangkitan Nasional pada pembukaan pameran | Dokumentasi Pribadi

Arab hingga Latin

Pada masa selanjutnya muncul pengaruh Islam. Karena itu aksara Arab dipergunakan untuk menulis dalam bahasa-bahasa daerah Nusantara. Maka muncullah aksara Jawi, Pegon, Serang, Rambang Buri Woleo, dan Melayu Bima. Prasasti beraksara Arab biasanya terdapat pada nisan kuno, makam kuno, dan manuskrip kuno. Paling banyak terdapat di Aceh, sehingga nisan tipe Aceh menjadi acuan jika ditemukan nisan bertulis di daerah lain.

Sayang, banyak nisan Aceh telah hilang, terutama terjadi saat bencana tsunami 2004 lalu. Beberapa foto nisan Aceh sempat didokumentasikan pada abad ke-19. Saat ini foto kaca nisan Aceh menjadi koleksi Direktorat Pelindungan Kebudayaan Kemendikbudristek.

Aksara asing lainnya yang pernah masuk Nusantara adalah aksara Han (bahasa Tiongkok). Prasasti beraksara Han pernah ditemukan di Kepulauan Selat Karimata. Diduga prasasti itu peninggalan tentara kekaisaran Tiongkok yang melakukan ekspedisi masa Dinasti Song akhir abad ke-12-13. Aksara Han sering terdapat pula pada temuan keramik.

Menurut Ninie Susanti, inskripsi Latin tertua di Indonesia terdapat pada prasasti Padrao bertahun 1522, yaitu setelah Portugis berhasil menguasai Malaka. Aksara Latin dikenalkan secara resmi di Nusantara pada 1536 melalui sekolah yang didirikan oleh seorang penguasa Portugis, Antonio Galvao, di Ambon.

Prasasti pada gulungan timah, ketika tertutup dan terbuka | Dokumentasi Pribadi
Prasasti pada gulungan timah, ketika tertutup dan terbuka | Dokumentasi Pribadi

Gulungan Timah

Pada pameran terlihat gulungan timah yang bertuliskan. Prasasti-prasasti timah ditemukan di muara Sungai Musi dan Batanghari. Isi prasasti timah biasanya doa, mantra, dan bisa juga rajah. Diperkirakan prasasti timah berkembang pada abad ke-10---18. Pada foto tampak prasasti dalam bentuk gulungan dan terbuka. Disayangkan, karena berbentuk gulungan, benda ini sering digunakan untuk bandul jaring nelayan.

Pameran ini menampilkan objek prasasti dalam bentuk replika dan abklats. Replika adalah benda tiruan sesuai aslinya. Saat ini teknologi sudah maju sehingga bisa dibuatkan replika menggunakan bahan fiber yang ringan. Bayangkan kalau mengangkat batu seberat ratusan kilogram. Sementara abklats adalah cetakan prasasti yang dibuat menggunakan kertas. Dulu menggunakan kertas singkong atau kertas roti karena mudah dibentuk. Air menjadi alat bantu pembuatan abklats.

Nah, mumpung masih ada waktu, silakan berkunjung saja ke pameran. Museum Kebangkitan Nasional mudah dicapai dengan transportasi publik. Jika naik Transjakarta turun di halte Kwitang atau halte Senen Raya (sebelumnya bernama halte Atrium). Selanjutnya sambung jalan kaki sejauh kira-kira 300 meter.***   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun