Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Aksara Pallawa, Penanda Sejarah Nusantara di Kalimantan Timur

17 September 2024   08:37 Diperbarui: 18 September 2024   06:25 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dari kiri: Ibu Ninie Susanti, Bapak Judi Wahjudin, dan Bapak Nardi/Museum Kebangkitan Nasional pada pembukaan pameran | Dokumentasi Pribadi

Yang unik, di Bali belum ditemukan adanya prasasti yang menggunakan aksara Pallawa. Aksara Bali dikenal di sana karena memiliki karakteristik yang berbeda. Begitu pun di Sumatra, dikenal aksara Sumatra Kuno yang kemudian menurunkan aksara lokal, yaitu Kaganga (Lampung), Rejang (Bengkulu), dan Batak. Selanjutnya pada abad ke-14 hingga ke-18 berkembang aksara dan bahasa Sunda Kuno.

Dari kiri: Ibu Ninie Susanti, Bapak Judi Wahjudin, dan Bapak Nardi/Museum Kebangkitan Nasional pada pembukaan pameran | Dokumentasi Pribadi
Dari kiri: Ibu Ninie Susanti, Bapak Judi Wahjudin, dan Bapak Nardi/Museum Kebangkitan Nasional pada pembukaan pameran | Dokumentasi Pribadi

Arab hingga Latin

Pada masa selanjutnya muncul pengaruh Islam. Karena itu aksara Arab dipergunakan untuk menulis dalam bahasa-bahasa daerah Nusantara. Maka muncullah aksara Jawi, Pegon, Serang, Rambang Buri Woleo, dan Melayu Bima. Prasasti beraksara Arab biasanya terdapat pada nisan kuno, makam kuno, dan manuskrip kuno. Paling banyak terdapat di Aceh, sehingga nisan tipe Aceh menjadi acuan jika ditemukan nisan bertulis di daerah lain.

Sayang, banyak nisan Aceh telah hilang, terutama terjadi saat bencana tsunami 2004 lalu. Beberapa foto nisan Aceh sempat didokumentasikan pada abad ke-19. Saat ini foto kaca nisan Aceh menjadi koleksi Direktorat Pelindungan Kebudayaan Kemendikbudristek.

Aksara asing lainnya yang pernah masuk Nusantara adalah aksara Han (bahasa Tiongkok). Prasasti beraksara Han pernah ditemukan di Kepulauan Selat Karimata. Diduga prasasti itu peninggalan tentara kekaisaran Tiongkok yang melakukan ekspedisi masa Dinasti Song akhir abad ke-12-13. Aksara Han sering terdapat pula pada temuan keramik.

Menurut Ninie Susanti, inskripsi Latin tertua di Indonesia terdapat pada prasasti Padrao bertahun 1522, yaitu setelah Portugis berhasil menguasai Malaka. Aksara Latin dikenalkan secara resmi di Nusantara pada 1536 melalui sekolah yang didirikan oleh seorang penguasa Portugis, Antonio Galvao, di Ambon.

Prasasti pada gulungan timah, ketika tertutup dan terbuka | Dokumentasi Pribadi
Prasasti pada gulungan timah, ketika tertutup dan terbuka | Dokumentasi Pribadi

Gulungan Timah

Pada pameran terlihat gulungan timah yang bertuliskan. Prasasti-prasasti timah ditemukan di muara Sungai Musi dan Batanghari. Isi prasasti timah biasanya doa, mantra, dan bisa juga rajah. Diperkirakan prasasti timah berkembang pada abad ke-10---18. Pada foto tampak prasasti dalam bentuk gulungan dan terbuka. Disayangkan, karena berbentuk gulungan, benda ini sering digunakan untuk bandul jaring nelayan.

Pameran ini menampilkan objek prasasti dalam bentuk replika dan abklats. Replika adalah benda tiruan sesuai aslinya. Saat ini teknologi sudah maju sehingga bisa dibuatkan replika menggunakan bahan fiber yang ringan. Bayangkan kalau mengangkat batu seberat ratusan kilogram. Sementara abklats adalah cetakan prasasti yang dibuat menggunakan kertas. Dulu menggunakan kertas singkong atau kertas roti karena mudah dibentuk. Air menjadi alat bantu pembuatan abklats.

Nah, mumpung masih ada waktu, silakan berkunjung saja ke pameran. Museum Kebangkitan Nasional mudah dicapai dengan transportasi publik. Jika naik Transjakarta turun di halte Kwitang atau halte Senen Raya (sebelumnya bernama halte Atrium). Selanjutnya sambung jalan kaki sejauh kira-kira 300 meter.***   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun