Tahukah Anda aksara apa yang tertua di Nusantara? Lalu tahukah juga aksara-aksara apa yang pernah ada di Nusantara? Aksara berhubungan dengan bahasa, nah bahasa-bahasa apa yang pernah ada di Nusantara?
Soal aksara dan bahasa yang pernah ada di Nusantara ini, bisa disaksikan di Museum Kebangkitan Nasional. Museum ini beralamat Jalan Abdul Rahman Saleh 26, Jakarta Pusat, tidak jauh dari RSPAD Gatot Subroto.Â
Pameran berlangsung mulai 16 September hingga 28 September 2024. Tema yang diambil Aksara Gata: Mengungkap Makna Membaca Tanda. Selain pameran diadakan diskusi dengan berbagai topik, seperti tentang epigrafi, filologi, dan fotogrametri. Cukup membayar karcis masuk museum, kita bisa menyaksikan narasi tentang aksara dan bahasa.
Pameran ini diselenggarakan oleh Perkumpulan Ahli Epigrafi Indonesia (PAEI) didukung Direktorat Pelindungan Kebudayaan Kemendikbudristek dan Indonesian Heritage Agency. Pameran dibuka oleh Direktur Pelindungan Kebudayaan Bapak Judi Wahjudin.
Tertua
Menurut Ketua Kegiatan Dr. Ninie Susanti, pameran menjelaskan empat segmen dalam rangkaian pengkajian prasasti, yaitu perkembangan aksara, antara tradisi dan seni, aksara menguari makna, dan merekam aksara membaca tanda.
Prasasti yupa dalam bentuk tugu adalah penanda awal peradaban Sejarah Nusantara, terpahat dengan aksara Pallawa Tua dan bahasa Sanskerta. Beberapa buah yupa ditemukan pada 1879 di Bukit Beubus, Muara Kaman. Yupa-yupa yang berasal dari abad ke-5 ini berasal dari Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur.
Mengingat saat ini ibu kota negara berada di Kalimantan Timur, bukan tidak mungkin banyak tinggalan arkeologi yang masih terpendam di wilayah sana. Semoga penelitian arkeologi sering dilakukan. Jangan sampai nasib ibu kota Nusantara seperti Jakarta. Karena pembangunan fisik di Jakarta sangat pesat, banyak situs arkeologi tergerus oleh pembangunan itu, seperti oleh pembangunan jalan raya, pembangunan perumahan, dan pembangunan gedung.
Kembali ke masalah aksara, diketahui aksara Pallawa berakar dari aksara Brahmi berasal dari India, Arab, dan Latin. Dalam perkembangannya aksara Pallawa menjadi aksara Sumatra Kuno, aksara Ulu, aksara Lontara, dan aksara Batak.
Delapan belas tahun berselang setelah ditemukannya prasasti-prasasti beraksara Pallawa Akhir (732 Masehi), ditemukan prasasti-prasasti dengan pahatan aksara Jawa Kuno, yang disebut juga aksara Kawi. Hingga saat ini prasasti tertua beraksara Jawa Kuno adalah prasasti Hampran (Plumpungan) yang ditemukan di Salatiga dengan angka tahun 672 Saka (750 Masehi).
Yang unik, di Bali belum ditemukan adanya prasasti yang menggunakan aksara Pallawa. Aksara Bali dikenal di sana karena memiliki karakteristik yang berbeda. Begitu pun di Sumatra, dikenal aksara Sumatra Kuno yang kemudian menurunkan aksara lokal, yaitu Kaganga (Lampung), Rejang (Bengkulu), dan Batak. Selanjutnya pada abad ke-14 hingga ke-18 berkembang aksara dan bahasa Sunda Kuno.
Arab hingga Latin
Pada masa selanjutnya muncul pengaruh Islam. Karena itu aksara Arab dipergunakan untuk menulis dalam bahasa-bahasa daerah Nusantara. Maka muncullah aksara Jawi, Pegon, Serang, Rambang Buri Woleo, dan Melayu Bima. Prasasti beraksara Arab biasanya terdapat pada nisan kuno, makam kuno, dan manuskrip kuno. Paling banyak terdapat di Aceh, sehingga nisan tipe Aceh menjadi acuan jika ditemukan nisan bertulis di daerah lain.
Sayang, banyak nisan Aceh telah hilang, terutama terjadi saat bencana tsunami 2004 lalu. Beberapa foto nisan Aceh sempat didokumentasikan pada abad ke-19. Saat ini foto kaca nisan Aceh menjadi koleksi Direktorat Pelindungan Kebudayaan Kemendikbudristek.
Aksara asing lainnya yang pernah masuk Nusantara adalah aksara Han (bahasa Tiongkok). Prasasti beraksara Han pernah ditemukan di Kepulauan Selat Karimata. Diduga prasasti itu peninggalan tentara kekaisaran Tiongkok yang melakukan ekspedisi masa Dinasti Song akhir abad ke-12-13. Aksara Han sering terdapat pula pada temuan keramik.
Menurut Ninie Susanti, inskripsi Latin tertua di Indonesia terdapat pada prasasti Padrao bertahun 1522, yaitu setelah Portugis berhasil menguasai Malaka. Aksara Latin dikenalkan secara resmi di Nusantara pada 1536 melalui sekolah yang didirikan oleh seorang penguasa Portugis, Antonio Galvao, di Ambon.
Gulungan Timah
Pada pameran terlihat gulungan timah yang bertuliskan. Prasasti-prasasti timah ditemukan di muara Sungai Musi dan Batanghari. Isi prasasti timah biasanya doa, mantra, dan bisa juga rajah. Diperkirakan prasasti timah berkembang pada abad ke-10---18. Pada foto tampak prasasti dalam bentuk gulungan dan terbuka. Disayangkan, karena berbentuk gulungan, benda ini sering digunakan untuk bandul jaring nelayan.
Pameran ini menampilkan objek prasasti dalam bentuk replika dan abklats. Replika adalah benda tiruan sesuai aslinya. Saat ini teknologi sudah maju sehingga bisa dibuatkan replika menggunakan bahan fiber yang ringan. Bayangkan kalau mengangkat batu seberat ratusan kilogram. Sementara abklats adalah cetakan prasasti yang dibuat menggunakan kertas. Dulu menggunakan kertas singkong atau kertas roti karena mudah dibentuk. Air menjadi alat bantu pembuatan abklats.
Nah, mumpung masih ada waktu, silakan berkunjung saja ke pameran. Museum Kebangkitan Nasional mudah dicapai dengan transportasi publik. Jika naik Transjakarta turun di halte Kwitang atau halte Senen Raya (sebelumnya bernama halte Atrium). Selanjutnya sambung jalan kaki sejauh kira-kira 300 meter.*** Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H