Lembaga purbakala yang tadinya satu induk, sejak 1975 itu memiliki dua induk. Nama purbakala, kemudian cagar budaya, dipakai untuk lembaga pelestarian. Sedangkan nama arkeologi dipakai untuk lembaga penelitian dan lembaga pendidikan. Ini sesuai asal kata arkeologi, yakni archaeos (purbakala) dan logos (ilmu). Jadi arkeologi bersifat 'keilmuan'.
Adanya dua nama---purbakala dan arkeologi---tentu saja membingungkan masyarakat awam. Misalnya ketika hendak mendaftarkan benda purbakala miliknya, ia datang ke instansi arkeologi. Karena 'salah kamar' pasti ditolak oleh instansi arkeologi karena memang bukan wewenang mereka.
Saat ini nama purbakala dan cagar budaya, tidak muncul secara nyata karena dilebur menjadi kebudayaan. Sebagai misal, nama Balai Pelestarian Kebudayaan merupakan gabungan dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) dan Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB). Nama arkeologi pun muncul berdampingan dengan Bahasa dan Sastra. Perlahan-lahan nama purbakala dan arkeologi menghilang.
Sebagai disiplin yang unik, seharusnya arkeologi berdiri sendiri. Perlu lembaga tunggal seperti masa Dinas Purbakala. Selama ini pemugaran candi, sebagai contoh, hanya dianggap pekerjaan lembaga pelestarian seperti Direktorat. Padahal pemugaran pun memerlukan penelitian sebagaimana pernah dikatakan dosen arkeologi Moendardjito. "Dalam setiap kegiatan pemugaran harus diselenggarakan pula penelitian arkeologi lapangan. Pemugaran tanpa penelitian, bukanlah pemugaran arkeologi dalam arti sesungguhnya," katanya dalam sebuah makalah. Jelas, antara pelestarian dan penelitian terkait erat. Bukan berjalan sendiri-sendiri. Â Â
Sejak lama kalangan arkeologi kurang bersifat aktif. Publikasi tentang arkeologi masih sulit diakases. Kalau pun mudah, masih berupa karangan ilmiah yang sulit dimengerti masyarakat awam. Padahal publikasi yang gencar seharusnya menjadi kekuatan untuk merangkul masyarakat yang kurang peduli arkeologi. Publikasi populer amat diperlukan demi penyebaran informasi masa lalu dan misi 'Arkeologi untuk Publik'. Demikian pula perlu lembaga tunggal arkeologi, agar kegiatan arkeologi terpusat.
Beruntung kita masih punya arkeolog yang tidak bekerja di instansi arkeologi dan kalangan komunitas yang peduli arkeologi. Kalangan inilah yang 'memberi hidup kepada arkeologi' meskipun dengan dana terbatas. Semoga setelah Hari Purbakala tahun ini, arkeologi benar-benar untuk publik. Dengan begitu aktivitas negatif seperti penggalian liar, pencurian dari situs, penyelaman liar, dan perobohan bangunan bersejarah bisa diminimalisasi sedikit demi sedikit. Apresiasi masyarakat terhadap arkeologi harus meningkat.***Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H