Dibandingkan disiplin lain, arkeologi termasuk paling sering diperbincangkan masyarakat. Beberapa hari belakangan ini, Candi Borobudur menjadi topik hangat. Sebelumnya tentang penemuan candi dan prasasti di Situs Gemekan, Mojokerto, yang berada di sawah milik warga. Penemuan struktur kuno ketika para pekerja sedang membuka lahan untuk pembangunan jalan tol di Malang, sempat menjadi sorotan media.
Arkeologi memang unik. Kita belum tahu di mana ada tinggalan masa lampau. Bisa di tanah milik warga, bisa di atas bukit, bahkan bisa di dalam air. Lokasi-lokasi lain pun berpotensi memiliki tinggalan arkeologi. Kita juga belum tahu lokasi tepat tinggalan arkeologi itu meskipun sudah ada teknologi modern. Maklum, tinggalan-tinggalan itu sudah berusia ratusan tahun, bahkan ribuan tahun. Berkali-kali bencana alam telah mengubur tinggalan-tinggalan itu.
Sekadar gambaran, Candi Sambisari muncul ke permukaan berkat penggarap tanah. Setelah digali tim arkeologi, diketahui struktur candi berada beberapa meter di bawah permukaan tanah. Rupanya candi itu berkali-kali tertimbun debu dari letusan gunung berapi.Â
Sepanjang sejarahnya, memang arkeologi belum pernah menemukan artefak/benda berdasarkan hipotesis mereka. Banyak tinggalan justru terkuak karena laporan warga atau adanya penggalian/penyelaman liar. Dengan kata lain penemuan tidak disengaja jauh lebih banyak daripada penemuan disengaja. Â
Ekskavasi
Benda-benda budaya dari dalam tanah/air begitu dilindungi. Maka Arkeologi diidentikkan dengan (kegiatan) pemerintah. Hanya arkeolog dari instansi pemerintah, tentu saja yang berhubungan dengan arkeologi atau kebudayaan, yang boleh melakukan ekskavasi atau penggalian.
Ekskavasi arkeologi menggunakan metode khusus sehingga tidak sembarang orang boleh dan bisa melakukan kegiatan itu. Ekskavasi harus berada di bawah pengawasan arkeolog berkompeten, sebagaimana diatur Undang-undang Cagar Budaya 2010.
Ironisnya, tinggalan-tinggalan arkeologi selalu menjadi perhatian kalangan luar arkeologi. Harga benda arkeologi yang tinggi sering menjadi incaran para kolektor benda antik. Akibatnya timbul perburuan benda antik, antara lain melalui penggalian dan penyelaman dari dalam air. Itulah penggalian liar dan penyelaman liar, marak selama bertahun-tahun di negara kita.
Pencurian koleksi museum, juga menjadi gambaran betapa berharganya benda antik. Bukan hanya di Indonesia, berbagai museum di mancanegara pun pernah  menjadi korban para maling. Di pihak lain, kolektor benda antik semakin bermunculan. Ditambah sejumlah rumah lelang dan pasar gelap tumbuh di mana-mana.
Sampai kini pencurian di daratan dan di perairan masih sulit dicegah, termasuk dari dalam laut. Selama ratusan tahun berniaga, diketahui banyak kapal kargo tenggelam di perairan Nusantara karena berbagai sebab, seperti menabrak karang, peperangan, badai, dan kerusakan teknis. Hasil dari kapal tenggelam tergolong menggiurkan.Â
Mungkin kita masih ingat, pencurian dari dasar laut masa 1980-an lalu. Hasil lelang mencapai jutaan dollar yang masuk ke kantong sindikat pencurian. Â Penyelaman liar sulit diawasi, mengingat laut Nusantara sangat luas. Tentu saja pengawasan di darat juga sulit karena wilayah kita terbentang lebar, ditambah kondisi geografis yang beragam.Â
Namun, masyarakat yang peduli arkeologi pun cukup banyak. Mereka sering terlibat dalam upaya pelestarian meskipun dengan dana pribadi. Upaya mereka antara lain membuat papan nama cagar budaya di beberapa lokasi, memasang cungkup untuk melindungi prasasti-prasasti di areal warga, mendokumentasikan tinggalan atau ODCB (Obyek Diduga Cagar Budaya), serta  menyelenggarakan sinau cagar budaya dan aksara Jawa Kuno. Sejak beberpa tahun lalu komunitas pelestari sejarah dan budaya muncul di berbagai kota.
Ini tentu sesuai dengan prinsip Arkeologi Publik, bahwa masa lalu itu milik semua orang. Jadi setiap orang harus melindungi warisan masa lalu mereka. Namun bukan berarti setiap orang bebas merusak warisan dari masa lalu itu. Banyak nilai yang terkandung dari tinggalan masa lalu. Karena itu arkeologi harus benar-benar didukung publik dan untuk publik. Selama ini masih terlihat ironis, tinggalan arkeologi mendapat perhatian, sedangkan ilmu arkeologi/purbakala kurang mendapat perhatian.Â
Kewalahan
Sejak lama tenaga arkeolog sangat terbatas, tidak sebanding dengan luas wilayah Nusantara. Ini karena seluruh lulusan arkeologi tidak tertampung di instansi-instansi pemerintah. Inilah masalah mendasar arkeologi, selalu kekurangan tenaga. Padahal lulusan arkeologi tergolong banyak. Mereka berasal dari Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Udayana, Universitas Hasanuddin, Universitas Jambi, dan Universitas Halu Oleo.
Arkeologi sendiri memiliki tiga instansi besar, yakni lembaga pendidikan tinggi (enam PTN di atas), lembaga penelitian (BRIN = Badan Riset dan Inovasi Nasional, sebelumnya Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Balai Arkeologi), dan lembaga pelestarian (Direktorat Pelindungan Kebudayaan serta Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, sebelumnya Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman ditambah Balai Pelestarian Cagar Budaya). Dalam pekerjaan sehari-hari, arkeologi didukung oleh Dinas Kebudayaan dari berbagai provinsi/kota/kabupaten.
Hari Purbakala
Sebenarnya kegiatan arkeologi di Nusantara sudah berlangsung lama. Pengumpulan dan penelitian tinggalan arkeologi, misalnya, sudah dilakukan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen sejak 1778. Namun secara instansional baru dihitung sejak 14 Juni 1913, saat berdiri Oudheidkundige Dienst (Dinas Purbakala). Tanggal itulah yang kemudian dijadikan awal Hari Purbakala.
Dalam perkembangannya Dinas Purbakala pun beberapa kali berganti nomenklatur. Sebelum 1975 bernama Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN). Sejak 1975 LPPN terbagi dua, yaitu instansi yang bergerak di bidang pelestarian disebut Direktorat Sejarah dan Purbakala (DSP), sedangkan intansi yang bergerak di bidang penelitian disebut Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional (P4N).
Nama DSP beberapa kali berubah nomenklatur. Terakhir bernama Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman. Ini pun kemudian pecah lagi dan tidak menyandang nama purbakala/cagar budaya.
Nama P4N beberapa kali berubah nomenklatur. Terakhir bernama Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Sejak awal 2022 bergabung dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam Organisasi Riset (OR) Arkeologi, Bahasa, dan Sastra (Arbastra).
Lembaga purbakala yang tadinya satu induk, sejak 1975 itu memiliki dua induk. Nama purbakala, kemudian cagar budaya, dipakai untuk lembaga pelestarian. Sedangkan nama arkeologi dipakai untuk lembaga penelitian dan lembaga pendidikan. Ini sesuai asal kata arkeologi, yakni archaeos (purbakala) dan logos (ilmu). Jadi arkeologi bersifat 'keilmuan'.
Adanya dua nama---purbakala dan arkeologi---tentu saja membingungkan masyarakat awam. Misalnya ketika hendak mendaftarkan benda purbakala miliknya, ia datang ke instansi arkeologi. Karena 'salah kamar' pasti ditolak oleh instansi arkeologi karena memang bukan wewenang mereka.
Saat ini nama purbakala dan cagar budaya, tidak muncul secara nyata karena dilebur menjadi kebudayaan. Sebagai misal, nama Balai Pelestarian Kebudayaan merupakan gabungan dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) dan Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB). Nama arkeologi pun muncul berdampingan dengan Bahasa dan Sastra. Perlahan-lahan nama purbakala dan arkeologi menghilang.
Sebagai disiplin yang unik, seharusnya arkeologi berdiri sendiri. Perlu lembaga tunggal seperti masa Dinas Purbakala. Selama ini pemugaran candi, sebagai contoh, hanya dianggap pekerjaan lembaga pelestarian seperti Direktorat. Padahal pemugaran pun memerlukan penelitian sebagaimana pernah dikatakan dosen arkeologi Moendardjito. "Dalam setiap kegiatan pemugaran harus diselenggarakan pula penelitian arkeologi lapangan. Pemugaran tanpa penelitian, bukanlah pemugaran arkeologi dalam arti sesungguhnya," katanya dalam sebuah makalah. Jelas, antara pelestarian dan penelitian terkait erat. Bukan berjalan sendiri-sendiri. Â Â
Sejak lama kalangan arkeologi kurang bersifat aktif. Publikasi tentang arkeologi masih sulit diakases. Kalau pun mudah, masih berupa karangan ilmiah yang sulit dimengerti masyarakat awam. Padahal publikasi yang gencar seharusnya menjadi kekuatan untuk merangkul masyarakat yang kurang peduli arkeologi. Publikasi populer amat diperlukan demi penyebaran informasi masa lalu dan misi 'Arkeologi untuk Publik'. Demikian pula perlu lembaga tunggal arkeologi, agar kegiatan arkeologi terpusat.
Beruntung kita masih punya arkeolog yang tidak bekerja di instansi arkeologi dan kalangan komunitas yang peduli arkeologi. Kalangan inilah yang 'memberi hidup kepada arkeologi' meskipun dengan dana terbatas. Semoga setelah Hari Purbakala tahun ini, arkeologi benar-benar untuk publik. Dengan begitu aktivitas negatif seperti penggalian liar, pencurian dari situs, penyelaman liar, dan perobohan bangunan bersejarah bisa diminimalisasi sedikit demi sedikit. Apresiasi masyarakat terhadap arkeologi harus meningkat.***Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H