Banjir besar pertama tercatat pada 1621, padahal Batavia yang berdiri pada 1619 itu sudah dilengkapi sistem kanal. Banjir-banjir kecil pun hampir setiap tahun terjadi di daerah pinggiran kota. Banjir besar lain terjadi pada 1654. Â
Keadaan semakin parah setelah meletusnya Gunung Salak pada 1699. Karena itu pada 1701 dikirim ahli-ahli hidrologi untuk melakukan penelitian di daerah hulu sungai di Ommelanden, luar kota Batavia.Â
Menurut para peneliti, daerah hulu sungai Ciliwung sampai hilir di perkebunan tebu Cornelis Chastelein telah bersih ditebangi. Akibatnya aliran sungai Ciliwung yang masuk kota semakin kecil, terlebih karena banyaknya pengalihan aliran sungai Ciliwung untuk kepentingan irigasi. Sungai Cisadane juga mengalami pengendapan.Â
Pada 1780 sebagian besar daerah Batavia telah berubah menjadi "gua dan reruntuhan". Bahkan kemudian, Pemerintah Batavia kerepotan menghadapi masalah sampah dan kebersihan kota (Restu Gunawan, Gagalnya Sistem Kanal, 2010).
Sejak lama memang diyakini masalah banjir Jakarta dapat diatasi dengan membangun kanal, terusan, sodetan, dan saluran. Dulu salah satu kiat Belanda untuk mengatasi banjir di Batavia adalah membuat saluran dari Harmoni lurus ke laut membelah Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk sekarang.Â
Ketika itu kota dihuni oleh sedikit manusia dan belum banyak tertimbun sampah. Sayang kemudian penyelesaian masalah banjir hanya ditangani secara temporer. Â
Ketika meninjau banjir 2013 itu, Presiden SBY memutuskan pembuatan sodetan Ciliwung ke Kanal Banjir Timur untuk mengurangi dampak banjir (Kompas, 21/01/2013).
Namun sejatinya masalah utama di Jakarta adalah faktor geografis karena Jakarta terletak di dataran yang sangat rendah. Di beberapa tempat ketinggian permukaan tanahnya, hanya beberapa sentimeter dari permukaan laut (dpl).Â
Bahkan sebagian di bawah permukaan laut dalam bentuk rawa-rawa. Dengan demikian tingkat sedimentasi yang tinggi di sungai-sungainya membuat air tidak dapat mengalir sesuai hukum gravitasi, yakni dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah.Â
Maka kanal-kanal yang tadinya diharapkan dapat membantu menggelontorkan air hujan dengan cepat ke Teluk Jakarta, tak dapat berfungsi maksimal.Â
Tragisnya, semakin tahun permukaan tanah di Jakarta semakin menurun. Akibatnya air laut telah merembes masuk ke wilayah Senen. Hal ini tentu saja memperparah daerah resapan.