Hadiah terbesar bangsa Tiongkok ke Indonesia adalah agama Islam. Demikian pernah dikatakan Presiden BJ Habibie. Bicara pluralisme atau multikulturalisme, Habibie tak kalah dengan Presiden Abdurrahman Wahid.
Membincangkan Islam di Nusantara, kita tidak bisa mengesampingkan Laksamana Cheng Ho pada awal abad ke-15. Pernyataan Habibie dinilai kritis dan berani. Betapa tidak, menurut penelitian sejarah, Islamisasi di Nusantara dibawa masuk oleh etnis Tionghoa. Namun di masa Orde Baru, hipotesis seperti itu dilarang keras.
Sebagai contoh, pada 1968 sejarawan Slamet Muljana menulis buku Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara. Â Karena dipandang kontroversi, pada 1971 buku tersebut dilarang oleh Orde Baru.Â
Lihat tulisan sebelumnya [di sini].
Setelah Residen Poortman melakukan riset dari naskah-naskah Tionghoa di kelenteng Sam Po Kong (Semarang) dan kelenteng Talang (Cirebon), ia menerbitkan lima eksemplar hasil penelitian. Publikasi itu diberi status 'sangat rahasia' sehingga hanya boleh dibaca oleh pejabat-pejabat tertentu dan hanya boleh dibaca di kantor. Â Â
Sebagaimana laman indonesia.go.id, Poortman khawatir, jika penelitian itu diketahui khalayak luas, maka dipastikan akan menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat Islam di Pulau Jawa.
Laksamana Cheng Ho
Islamisasi di Indonesia berawal dari pembentukan masyarakat Tionghoa Islam yang pertama. Disebutkan antara lain Raden Patah atau Jin Bun, seorang peranakan Tionghoa. Â Begitu pula beberapa Wali Songo.
Dengan bantuan Wali Songo, Â Raden Patah atau Jin Bun mendirikan Kerajaan Demak. Demak merupakan kerajaan Islam pertama di Tanah Jawa. Â Setelah Raden Patah (1478-1518), Demak diperintah oleh Yat Sun (Adipati Unus, 1518-1521), Tung Ka Lo (Trenggana, 1521-1546), dan Muk Ming (Sunan Prawata, 1546).
Sontak, pendapat Slamet Muljana menimbulkan reaksi dari masyarakat dan pemerintah. Selama ini masyarakat secara umum beranggapan para Wali Songo bukan berasal dari etnis Tionghoa. Mereka datang dari Gujarat (India) serta Hadramaut (Yaman) dan Arab.
Penelitian bertopik 'Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Islam di Nusantara Abad ke-15---16' pernah dilakukan Sumanto Al Qurtuby. Ia menggunakan sumber lokal seperti Babad Tanah Jawi, Babad Tuban, dan Babad Gresik. Juga sumber Tiongkok Ying-yai Sheng-lan, Hsin-cha Sheng-lan, dan Ming Shi. Ini belum termasuk sumber Portugis seperti Summa Oriental, sumber Arab seperti Ajaibil Hindi, dan sumber lisan.
BukuÂ
Kesimpulan Qurtuby, masih menurut indonesia.go.id, tak jauh berbeda dari Slamet Muljana. Masuknya Islam di Nusantara disebarkan oleh orang-orang Tionghoa. Â Lantas sejauh mana kontribusi masyarakat Arab dalam penyebaran Islam di Nusantara, menurut Qurtuby, peran determinan mereka baru terasakan di akhir abad ke-18.
Hipotesis masuknya Islam di Indonesia karena kontribusi etnis Tionghoa semakin dikukuhkan oleh beberapa penelitian lain sebagaimana terlihat dari buku-buku bertopik Cheng Ho.Â
Selama ini memang orang-orang lebih meyakini kontribusi orang-orang Arab jauh lebih besar daripada orang-orang Tiongkok dalam penyebaran Islam di Nusantara. Kemungkinan besar, Â prasangka buruk kepada etnis Tionghoa mulai terbangun sejak kedatangan kolonialisme Belanda ke Nusantara. Tentu kita masih ingat akan pembunuhan orang-orang Tionghoa oleh tentara penjajah pada 1740.
Sejarah berpedoman pada sumber tertulis. Pendukungnya adalah data arkeologi berupa tinggalan artefak. Ternyata dalam penyebaran Islam di Nusantara kontribusi Tiongkok lebih besar daripada kontribusi Arab. Data arkeologi ada di beberapa tempat.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H