Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Celana Dalam yang Dilempar ke Atap Lebih Ampuh dari Pawang Hujan?

21 Maret 2022   17:19 Diperbarui: 21 Maret 2022   17:23 1381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ilustrasi Dewa Bayu (Sumber: britishmuseum.org melalui id.wikipedia)
Ilustrasi Dewa Bayu (Sumber: britishmuseum.org melalui id.wikipedia)

Dewa Bayu

Hujan dan awan selalu berhubungan. Nah, penggemar batik pasti mengenal motif mega mendung dari Cirebon. Mega berarti awan dan menjadi motif sakral.

Pawang hujan dikenal luas di kalangan keraton. Maklum keraton banyak menyelenggarakan acara, antara lain prosesi putra mahkota, mauludan, dan pernikahan.

Saya belum menemukan sumber tertulis tertua tentang pawang hujan. Kemungkinan dalam Hindu, pawang hujan dihubungkan dengan Dewa Vayu atau Bayu, penguasa angin/udara. Dengan kekuatannya, Dewa Bayu mampu membawa awan ke tempat lain. Hindu mengenal banyak dewa, seperti Agni = Dewa Api, Varuna = Dewa Air/Samudera, Candra = Dewa Bulan, Indra = Dewa Hujan, dan Surya = Dewa Matahari.

Sebenarnya dari abad ke-9 dan ke-10, di Nusantara banyak ditemukan prasasti. Banyak profesi masa lalu disebutkan dalam prasasti itu, antara lain pelawak, penyanyi, penjual dengan pikulan, pemain gendang, tabib, dan masih banyak lagi.

Namun para epigraf (pakar membaca aksara kuno) belum menemukan istilah pawang hujan. Memang masih sulit menafsirkan bahasa Jawa kuno yang sekarang tergolong bahasa mati. Apalagi banyak aksara pada prasasti kuno sudah rusak atau aus. Bahkan mungkin belum mampu ditafsirkan oleh epigraf karena istilahnya masih asing.

Semoga nanti para epigraf bisa menemukan adanya istilah pawang hujan. Dengan demikian narasi sejarah kuno Nusantara semakin terkuak.***

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun