Seusai perhelatan motoGP di sirkuit Mandalika, Lombok, pawang hujan yang berpartisipasi dalam ajang itu menjadi pembicaraan hangat di berbagai media. Mbak Rara, nama pawang hujan itu, menjadi trending di dalam negeri dan mancanegara. Ada yang pro dan ada yang kontra terhadap peran pawang hujan. Ada yang menganggap tradisi dan kearifan lokal. Ada yang menganggap klenik. Banyak komentar warganet terhadap mbak Rara.
Istilah pawang hujan mengacu kepada orang yang mampu memindahkan hujan dari satu tempat ke tempat lain. Ini dimaksudkan agar lokasi yang digunakan untuk acara/kegiatan untuk sementara bebas dari hujan. Biasanya jasa pawang hujan diperlukan ketika ada acara hajatan, konser musik, dan peresmian proyek besar. Bayangkan saja, ketika ada acara pernikahan turun hujan lebat. Bisa-bisa para undangan batal hadir sehingga acara hajatan menjadi sepi.
Begitu juga ketika berlangsung acara balap motor di Mandalika. Jika saja terjadi hujan saat acara berlangsung, bisa dipastikan banyak pebalap akan jatuh tergelincir di jalan yang licin. Untung saja hujan turun sebelum balapan dimulai sehingga jalanan menjadi bersih.
Pawang hujan sebenarnya merupakan kearifan lokal yang ada pada banyak etnis. Setau saja di Jakarta, Madura, Bali, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan ada pawang hujan, tentu dengan nama berbeda-beda. Profesi mereka tidak tetap dan sering kali dibayar secara sukarela.
Seperti halnya dukun, tidak sembarang orang mampu 'memindahkan awan'. Biasanya pawang hujan memiliki kemampuan lebih yang berasal dari turun-temurun.
Celana dalam
Ingat pawang hujan, saya jadi teringat masa kecil. Dulu kalau mendung dan mau bermain layang-layang, saya selalu menancapkan cabai merah dan bawang yang ditusuk lidi di atas tanah. Kadang-kadang membalikkan sapu lidi, artinya meletakkan gagang tempat pegangan di bawah. Saya lupa apakah terjadi hujan ataukah tidak.
Di masa kuliah, ketika sedang melakukan penelitian arkeologi di lapangan, lain lagi cara menangkal hujan. Ini keisengan yang luar biasa. Beberapa teman, tentu saja pria, mengangkati celana dalam wanita dari tali jemuran. Setelah itu mereka melempari celana dalam tersebut ke atas pohon dan ke atas atap rumah. Jadilah pemandangan yang luar biasa.
Dipercaya, celana dalam yang dilempar ke atap lebih ampuh dari pawang hujan. Ini fakta atau mitos, entahlah.
Uniknya, celana dalam tersebut dibiarkan berhari-hari di atas pohon dan atap rumah. Tentu saja banyak yang merasa malu kalau mengakui itu celana dalam miliknya.
Dewa Bayu
Hujan dan awan selalu berhubungan. Nah, penggemar batik pasti mengenal motif mega mendung dari Cirebon. Mega berarti awan dan menjadi motif sakral.
Pawang hujan dikenal luas di kalangan keraton. Maklum keraton banyak menyelenggarakan acara, antara lain prosesi putra mahkota, mauludan, dan pernikahan.
Saya belum menemukan sumber tertulis tertua tentang pawang hujan. Kemungkinan dalam Hindu, pawang hujan dihubungkan dengan Dewa Vayu atau Bayu, penguasa angin/udara. Dengan kekuatannya, Dewa Bayu mampu membawa awan ke tempat lain. Hindu mengenal banyak dewa, seperti Agni = Dewa Api, Varuna = Dewa Air/Samudera, Candra = Dewa Bulan, Indra = Dewa Hujan, dan Surya = Dewa Matahari.
Sebenarnya dari abad ke-9 dan ke-10, di Nusantara banyak ditemukan prasasti. Banyak profesi masa lalu disebutkan dalam prasasti itu, antara lain pelawak, penyanyi, penjual dengan pikulan, pemain gendang, tabib, dan masih banyak lagi.
Namun para epigraf (pakar membaca aksara kuno) belum menemukan istilah pawang hujan. Memang masih sulit menafsirkan bahasa Jawa kuno yang sekarang tergolong bahasa mati. Apalagi banyak aksara pada prasasti kuno sudah rusak atau aus. Bahkan mungkin belum mampu ditafsirkan oleh epigraf karena istilahnya masih asing.
Semoga nanti para epigraf bisa menemukan adanya istilah pawang hujan. Dengan demikian narasi sejarah kuno Nusantara semakin terkuak.***
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI