Sejak kemarin, Kamis, 17 Februari 2022, di Facebook muncul twibbon berisi kata-kata "Jamu Goes to UNESCO", "Saya mendukung penetapan jamu sebagai Warisan Budaya Takbenda Dunia UNESCO", dan beberapa kalimat lain. Twibbon disediakan oleh laman twibbonize.com, biasanya untuk tujuan kampanye.
Soal jamu, saya jadi teringat masa kecil. Yang namanya jamu pasti terasa pahit di lidah. Apalagi untuk anak kecil seperti saya. Ketika itu ibu saya suka membeli jamu dari seorang ibu. Ia menggendong bakul jamu dengan selendang. Satu tangannya membawa ember kecil dan gelas. Uniknya, ia memakai kain batik dan baju kebaya.
Dalam bakul saya saya lihat ada beberapa botol. Ia meracik di depan ibu saya. Seingat saya ada cairan lempuyang, kencur, kunyit, entah apa lagi. Setelah ibu saya meminum habis, pada gelas kosong itu si ibu jamu menuangkan sedikit cairan berwarna kecoklatan.
Nah, inilah bagian yang saya tunggu-tunggu karena rasanya manis dan hangat. Maklum, cairan itu berupa jahe bercampur gula jawa atau gula merah.
Dari orang semacam si ibulah kemudian dikenal istilah jamu gendong karena membawanya dengan cara digendong di atas punggung.
Jamu gendong dijual dari rumah ke rumah dengan berjalan kaki. Tentu punggung akan terasa berat dengan beban beberapa botol berisi cairan rempah.
Dulu di depan rumah saya pun sering lewat penjual jamu gendong. Namun kemudian bakul jamunya tidak lagi digendong. Demi kepraktisan, kemudian digunakan sepeda. Sekarang istilahnya berubah menjadi jamu sepeda.
Saya sendiri pernah merasakan minum jamu ketika berkuliah. "Jamu mas, jamu...ada obat kuat loh," kata si mbak jamu ketika itu. Akhirnya saya coba memesan jamu ditambah bagian merah telur ayam kampung.
Itulah rupanya jamu obat kuat atau jamu kuat lelaki. Ternyata saya memang benar-benar kuat: kuat begadang, kuat berjalan kaki, dan kuat naik gunung. Maklum arkeolog.
Data arkeologi
Sewaktu kuliah di jurusan arkeologi, saya pernah mengambil mata kuliah Pengantar Epigrafi. Epigrafi adalah ilmu yang mempelajari prasasti atau batu bertulis.
Seingat saya banyak prasasti menyinggung dunia pengobatan atau kesehatan, namun tidak ada satu pun yang menyinggung resep obat-obatan. Biasanya prasasti hanya menyebutkan profesi tertentu yang dikenai pajak. Dari berbagai profesi itu, ada yang berhubungan dengan dunia pengobatan/kesehatan.
Prasasti Madhawapura dari masa Kerajaan Majapahit antara lain menyebut pembuat pakaian (abhasana), pembuat kuali (angawari), dan penjual jamu (acaraki). Sayang prasasti tidak menyebut apa khasiat jamu yang dijual oleh acaraki itu.
Informasi berbeda terdapat pada Prasasti Balawi (1305 Masehi). Disebutkan di dalamnya istilah tuha nambi (tukang obat), kdi (dukun perempuan), dan walyan (tabib).
Adanya tuha nambi juga terdapat pada Prasasti Sidoteka atau Prasasti Jayanegara II (1323 Masehi). Bahkan ada kata...wli tamba (orang yang mengobati penyakit).
Istilah berbeda terdapat pada Prasasti Bendosari (1360 Masehi). Â Di sini disebutkan istilah janggan (tabib desa).
Dalam Prasasti Biluluk (abad ke-14 Masehi) kita mendapati istilah padadah (pemijatan). Para padadah dibebaskan dari segala macam pajak. Mungkin karena pekerjaannya menolong orang sakit.
Sayang tulisan kuno pada prasasti banyak yang belum terbaca. Umumnya karena aksaranya aus, rusak, dan terpotong. Ditambah ada bagian batunya yang hilang atau terpotong dan potongannya belum ditemukan.
Selain prasasti, data arkeologi lain tentang pengobatan atau kesehatan terdapat pada relief beberapa candi. Yang paling dikenal tentu saja relief Karmawibhangga pada Candi Borobudur. Relief itu antara lain menggambarkan seorang lelaki mendapat perawatan dari beberapa wanita, ada yang menggosok perutnya, ada yang membawakan obat. Â
Relief lain memberikan gambaran tentang tanaman yang menjadi bahan jamu, seperti nagasari, semanggen, cendana merah, jamblang, pinang, pandan, maja, cendana wangi, dan kecubung.
Kata jamu kadang disebut jampi, berarti obat. Sayang kita tidak tahu resep obat-obatan atau jamu-jamuan pada prasasti dan relief candi. Informasi yang lebih jelas terdapat pada kitab sastra dan kitab kuno, terutama dari lingkungan keraton. Di Bali sendiri terdapat berbagai kitab usadha, tentang berbagai jenis pengobatan.
Kita harapkan kitab jampi di Jawa dan kitab usadha di Bali, mampu mendukung kepopuleran jamu atau obat herbal. Belum lagi kitab sejenis di Batak dan daerah lain. Siapa tahu kita bisa kembali ke alam, karena alam menyediakan berbagai ramuan.
***
Baca juga: YANG INI dan INI JUGA
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H