Ketika bersekolah, saya sering pergi pulang naik becak. Becak bisa dimuati tiga orang. Terlebih dulu jok becak dimajukan sehingga ada celah untuk yang duduk di tengah.Â
Sebelum dilarang, terlebih dulu diberlakukan DBB atau Daerah Bebas Becak. Di jalan protokol becak hilang. Becak hanya boleh beroperasi di daerah permukiman.
Meskipun ada DBB, penarik becak sering nekad bahkan kucing-kucingan dengan petugas. Mereka yang ketangkap bisa memberi 'uang suap' kepada petugas. Karena ada jasa itu, becak mereka tidak ditahan. Lama-kelamaan becak yang melanggar, langsung dinaikkan ke atas truk. Tumpukan becak itu dibuang ke Kepulauan Seribu untuk dijadikan rumpon.
Setelah becak, giliran oplet dan bemo. Oplet tidak dilarang tapi diremajakan, diganti mikrolet. Bemo masih beroperasi di daerah pinggiran.Â
Setelah itu muncul bus sedang dan bus besar. Karena sering berhenti di seberang tempat, meskipun sudah tersedia halte, bus sedang dan bus besar dituding menjadi biang kemacetan.
Kemacetan sering terjadi di dekat perlintasan atau pintu kereta api. Di dekat lampu lalu lintas juga sering terjadi kemacetan. Â
Nah, kemacetan akan sulit terurai kalau lampu lalu lintas padam. Waduh, serobot sana serobot sini. Bahkan caci maki di antara sopir.
Alternatif mengurangi kemacetan
Seingat saya, pada 2004 mulai beroperasi bus TransJakarta. Memang pembangunan halte TransJakarta sempat heboh gegara penebangan banyak pohon peneduh di sepanjang Jalan Thamrin-Sudirman.Â
Namun akhirnya TransJakarta beroperasi juga dan menjadi alternatif sarana transportasi umum. Tidak ada pramudi saling mendahului sebagaimana bus-bus sebelumnya. Menaikkan dan menurunkan penumpang selalu pada halte. Â
Lambat-laun jumlah koridor dan armada bus TransJakarta semakin bertambah. Ada bus tunggal dan ada bus gandeng. Disediakan juga kendaraan pengumpan dari wilayah Bodetabek. Soalnya banyak warga bermukim di daerah-daerah itu lalu kerja atau usaha di Jakarta.