Sejak lama masalah utama di Jakarta adalah macet. Gubernur berganti gubernur tetap saja kemacetan sulit ditanggulangi.Â
Memang dimaklumi Jakarta merupakan kota besar. Aktivitas masyarakat berlangsung sepanjang hari. Jangan heran Jakarta menjadi magnet buat masyarakat di luar Jakarta. Ada yang mencari pekerjaan, ada yang membuka tempat usaha, ada yang bersekolah atau berkuliah, pokoknya segala aktivitas di Jakarta.
Dulu penduduk Batavia, nama lama Jakarta, relatif sedikit. Namun perlahan-lahan mulai berdatangan warga dari daerah lain. Jadilah kemudian Jakarta kota yang padat.Â
Banyak orang  mengadu nasib di sini. Mereka yang 'kalah bertarung' terpaksa mendirikan gubuk-gubuk liar di tepian sungai.
Beban Jakarta begitu berat karena menyandang berbagai sebutan: kota pemerintahan, kota pelabuhan, kota dagang, kota pendidikan, dan masih banyak lagi. Â
Macet
Jakarta yang tadinya lengang, lambat-laun menjadi padat. Dulu jalan masih tanah. Belum banyak orang yang memiliki mobil. Boleh dibilang jalan sempit pun tidak masalah.
Setelah banyak orang mampu membeli mobil, jalan mulai padat dan terasa sempit. Mulai dilakukan pelebaran jalan.Â
Seingat saya, rumah keluarga pernah terpotong 1,5 meter. Untung halaman depan masih luas. Sejak itu jalan tanah berubah jadi aspal. Di depan rumah pun dibuat trotoar.
Becak masih banyak beroperasi. Umumnya penarik becak berasal dari luar Jakarta. "Susah mencari makan di kampung," begitulah alasan mereka ke Jakarta. Karena dianggap biang kemacetan, kemudian becak dilarang. Juga dipandang tidak manusiawi karena penarik becak sering membawa beban berat dengan kayuhan.
Ketika bersekolah, saya sering pergi pulang naik becak. Becak bisa dimuati tiga orang. Terlebih dulu jok becak dimajukan sehingga ada celah untuk yang duduk di tengah.Â
Sebelum dilarang, terlebih dulu diberlakukan DBB atau Daerah Bebas Becak. Di jalan protokol becak hilang. Becak hanya boleh beroperasi di daerah permukiman.
Meskipun ada DBB, penarik becak sering nekad bahkan kucing-kucingan dengan petugas. Mereka yang ketangkap bisa memberi 'uang suap' kepada petugas. Karena ada jasa itu, becak mereka tidak ditahan. Lama-kelamaan becak yang melanggar, langsung dinaikkan ke atas truk. Tumpukan becak itu dibuang ke Kepulauan Seribu untuk dijadikan rumpon.
Setelah becak, giliran oplet dan bemo. Oplet tidak dilarang tapi diremajakan, diganti mikrolet. Bemo masih beroperasi di daerah pinggiran.Â
Setelah itu muncul bus sedang dan bus besar. Karena sering berhenti di seberang tempat, meskipun sudah tersedia halte, bus sedang dan bus besar dituding menjadi biang kemacetan.
Kemacetan sering terjadi di dekat perlintasan atau pintu kereta api. Di dekat lampu lalu lintas juga sering terjadi kemacetan. Â
Nah, kemacetan akan sulit terurai kalau lampu lalu lintas padam. Waduh, serobot sana serobot sini. Bahkan caci maki di antara sopir.
Alternatif mengurangi kemacetan
Seingat saya, pada 2004 mulai beroperasi bus TransJakarta. Memang pembangunan halte TransJakarta sempat heboh gegara penebangan banyak pohon peneduh di sepanjang Jalan Thamrin-Sudirman.Â
Namun akhirnya TransJakarta beroperasi juga dan menjadi alternatif sarana transportasi umum. Tidak ada pramudi saling mendahului sebagaimana bus-bus sebelumnya. Menaikkan dan menurunkan penumpang selalu pada halte. Â
Lambat-laun jumlah koridor dan armada bus TransJakarta semakin bertambah. Ada bus tunggal dan ada bus gandeng. Disediakan juga kendaraan pengumpan dari wilayah Bodetabek. Soalnya banyak warga bermukim di daerah-daerah itu lalu kerja atau usaha di Jakarta.
TransJakarta memiliki jalur khusus. Selain itu calon penumpang bisa memantau jam kedatangan bus lewat layar televisi yang tersedia di halte. Membayar ongkos pun dengan kartu elektronik. Nah, ini yang membuat nilai plus.
Sayang armada Jakarta bertambah secara lamban, sementara jumlah penumpang semakin banyak. Betapa padatnya TransJakarta akan terasa pada jam-jam sibuk, pagi hari dan sore hari saat warga pergi dan pulang kantor.
Untuk mengatasi kemacetan, pernah diberlakukan minimal tiga penumpang untuk kendaraan pribadi, pada daerah-daerah tertentu dan jam-jam tertentu. Di sinilah muncul joki-joki three in one, istilah yang akrab waktu itu. Namun kemudian sistem tersebut diganti dengan sistem ganjil-genap sesuai kalender. Rupanya sistem ganjil-genap terasa belum efektif. Masih terjadi kemacetan di sana-sini, biarpun dalam masa pandemi seperti ini.
Sekarang, salah satu penyebab kemacetan adalah menjamurnya taksi daring dan ojek daring, baik untuk mengangkut penumpang maupun barang/makanan. Nah, ini akibat kesulitan ekonomi, mereka beralih melayani taksi atau ojek daring.
Memperbanyak armada TransJakarta pada jam-jam sibuk, menurut saya, ampuh untuk menjadi alternatif mengurangi kemacetan.Â
Taruhlah armada tambahan itu beroperasi pada pukul 06.00-10.00 dan pukul 16.00-20.00. Rangkullah perusahaan-perusahaan besar untuk berpartisipasi mengatasi kemacetan Jakarta. Ada yang mampu menyediakan 10 bus, yah silakan.
Pokoknya Pemprov DKI Jakarta bekerja sama dengan Kementerian Perhubungan dan institusi swasta harus menyediakan transportasi umum yang aman, nyaman, dan tepat waktu.Â
Semoga dengan berpindahnya ibu kota negara, kemacetan Jakarta akan berkurang banyak. Dengan demikian banyak orang tidak akan stres lagi.*** Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H