Meskipun ditulis dengan aksara kuno dan bahasa kuno, prasasti menyimpan banyak informasi dari masa lampau. Ada tentang makanan dan minuman yang disajikan kerajaan.Â
Ada tentang utang-piutang antarwarga. Ada tentang sejumlah profesi yang digeluti masyarakat. Bahkan ada tentang sumpah atau kutukan bagi warga yang melanggar peraturan.
Umumnya prasasti berbahan batu dan logam. Ditinjau dari tarikhnya, prasasti berasal dari abad ke-5 hingga ke-15 Masehi. Aksara dan bahasa yang digunakan kebanyakan Jawa Kuno. Sebagian lagi Bali Kuno, Melayu Kuno, dan Sunda Kuno.
Dari sekian banyak prasasti, ada sejumlah prasasti dalam kondisi rusak dan aus sehingga pembacaan menjadi kurang lengkap. Kalaupun bisa dibaca, terjemahan kata itu belum ditemukan atau artinya belum teridentifikasi. Maklum bahasa-bahasa dalam prasasti merupakan bahasa mati, dalam arti tidak digunakan lagi pada masa sekarang.
Pada kesempatan ini kita bicarakan prasasti yang berhubungan dengan pengobatan. Ada berbagai profesi yang disebutkan di dalamnya. M. Rizal Salam menguraikan informasi dalam tulisannya "Melacak Pengobatan Tradisional Melalui Prasasti" (Prajnaparamita, edisi 6/2018, hal. 103-110).
Prasasti Balawi dari masa 1305 Masehi, tulis Salam, menyebutkan tuha nambi (tukang obat), kdi (dukun wanita), dan walyan (tabib). Tuha berarti kepala pengawas dan nambi berarti obat.
Kata tuha nambi juga terdapat pada Prasasti Sidoteka atau Jayanagara II (1323 Masehi). Selain itu ada kata wli tamba (orang yang menyembuhkan penyakit).
Prasasti lain yang dibahas Salam adalah Bendosari atau Manah i Manuk/Jayasong (1360 Masehi). Di dalam prasasti ini disebutkan janggan (tabib desa). Ternyata kata janggan memiliki lebih dari satu arti, yakni murid dan orang suci. Hal ini menjadi kendala dalam penafsiran.
Istilah lain terdapat pada prasasti Madhawapura (dari periode Majapahit). Acaraki, demikian disebutkan oleh prasasti itu. Acaraki berarti penjual jamu. Asalnya dari kata caraka, yang bermakna orang bijak yang menyusun kitab tentang obat-obatan.
Sayang, prasasti tidak menyebutkan jenis obat apa dan bagaimana teknik pengobatan. Untuk itu Salam menggunakan data pendukung berupa naskah kuno. Â
Pada Naskah NR 147 Salam menemukan mantra-mantra untuk orang sakit gila, mantra untuk menghindar dari binatang berbisa, dan teks pengobatan. Â Â
Tiga naskah lain yang dipakai Salam adalah Naskah A 34,03, Naskah NR 366, dan Naskah B 48. Menurut naskah-naskah itu ada dua jenis pengobatan masyarakat, yakni dengan ramuan tumbuh-tumbuhan dan dengan mantra.
Sebenarnya secara khusus ada yang disebut kitab usadha, yang berisi pengobatan. Tentu saja kitab kuno ini perlu diterjemahkan dan ditafsirkan.
Sekadar gambaran, naskah menyebutkan pengobatan dengan ramuan tumbuh-tumbuhan. Untuk batuk, misalnya, daun kemiri tujuh lembar, akar kamorongan, adas, minyak wijen, abu rowan tiga jumput, kunyit, bawang merah dibenamkan dalam abu panas, dipipis, kemudian diminum. Untuk kencing batu, podisari, murmak daging, ketumbar, terawas, adas, pulasari, kunyit, arang wuluh, daun lara garut, dipipis kemudian diminum. Â Â
Adanya penyebutan yang berhubungan dengan pengobatan pada prasasti didukung oleh temuan tinggalan arkeologi berupa batu pipisan atau batu untuk menggerus obat. Tinggalan arkeologi tersebut terdapat pada beberapa museum.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H