Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menurut Prasasti Kuno, Dulu Ada "Tuha Nambi" (Tukang Obat), "Kdi" (Dukun Wanita), "Walyan" (Tabib), dan "Janggan" (Tabib Desa)

11 Oktober 2020   07:43 Diperbarui: 11 Oktober 2020   07:50 930
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tulisan pada prasasti batu (Foto: Buku Prasasti Batu, Museum Nasional, 2016)

Meskipun ditulis dengan aksara kuno dan bahasa kuno, prasasti menyimpan banyak informasi dari masa lampau. Ada tentang makanan dan minuman yang disajikan kerajaan. 

Ada tentang utang-piutang antarwarga. Ada tentang sejumlah profesi yang digeluti masyarakat. Bahkan ada tentang sumpah atau kutukan bagi warga yang melanggar peraturan.

Umumnya prasasti berbahan batu dan logam. Ditinjau dari tarikhnya, prasasti berasal dari abad ke-5 hingga ke-15 Masehi. Aksara dan bahasa yang digunakan kebanyakan Jawa Kuno. Sebagian lagi Bali Kuno, Melayu Kuno, dan Sunda Kuno.

Dari sekian banyak prasasti, ada sejumlah prasasti dalam kondisi rusak dan aus sehingga pembacaan menjadi kurang lengkap. Kalaupun bisa dibaca, terjemahan kata itu belum ditemukan atau artinya belum teridentifikasi. Maklum bahasa-bahasa dalam prasasti merupakan bahasa mati, dalam arti tidak digunakan lagi pada masa sekarang.

Ilustrasi prasasti batu, Prasasti Gajah Mada (Foto: Buku Prasasti Batu, Museum Nasional, 2016)
Ilustrasi prasasti batu, Prasasti Gajah Mada (Foto: Buku Prasasti Batu, Museum Nasional, 2016)
Pengobatan

Pada kesempatan ini kita bicarakan prasasti yang berhubungan dengan pengobatan. Ada berbagai profesi yang disebutkan di dalamnya. M. Rizal Salam menguraikan informasi dalam tulisannya "Melacak Pengobatan Tradisional Melalui Prasasti" (Prajnaparamita, edisi 6/2018, hal. 103-110).

Prasasti Balawi dari masa 1305 Masehi, tulis Salam, menyebutkan tuha nambi (tukang obat), kdi (dukun wanita), dan walyan (tabib). Tuha berarti kepala pengawas dan nambi berarti obat.

Kata tuha nambi juga terdapat pada Prasasti Sidoteka atau Jayanagara II (1323 Masehi). Selain itu ada kata wli tamba (orang yang menyembuhkan penyakit).

Prasasti lain yang dibahas Salam adalah Bendosari atau Manah i Manuk/Jayasong (1360 Masehi). Di dalam prasasti ini disebutkan janggan (tabib desa). Ternyata kata janggan memiliki lebih dari satu arti, yakni murid dan orang suci. Hal ini menjadi kendala dalam penafsiran.

Istilah lain terdapat pada prasasti Madhawapura (dari periode Majapahit). Acaraki, demikian disebutkan oleh prasasti itu. Acaraki berarti penjual jamu. Asalnya dari kata caraka, yang bermakna orang bijak yang menyusun kitab tentang obat-obatan.

Ilustrasi naskah kuno (Foto: republika.co.id/antara)
Ilustrasi naskah kuno (Foto: republika.co.id/antara)
Naskah

Sayang, prasasti tidak menyebutkan jenis obat apa dan bagaimana teknik pengobatan. Untuk itu Salam menggunakan data pendukung berupa naskah kuno.  

Pada Naskah NR 147 Salam menemukan mantra-mantra untuk orang sakit gila, mantra untuk menghindar dari binatang berbisa, dan teks pengobatan.   

Tiga naskah lain yang dipakai Salam adalah Naskah A 34,03, Naskah NR 366, dan Naskah B 48. Menurut naskah-naskah itu ada dua jenis pengobatan masyarakat, yakni dengan ramuan tumbuh-tumbuhan dan dengan mantra.

Sebenarnya secara khusus ada yang disebut kitab usadha, yang berisi pengobatan. Tentu saja kitab kuno ini perlu diterjemahkan dan ditafsirkan.

Sekadar gambaran, naskah menyebutkan pengobatan dengan ramuan tumbuh-tumbuhan. Untuk batuk, misalnya, daun kemiri tujuh lembar, akar kamorongan, adas, minyak wijen, abu rowan tiga jumput, kunyit, bawang merah dibenamkan dalam abu panas, dipipis, kemudian diminum. Untuk kencing batu, podisari, murmak daging, ketumbar, terawas, adas, pulasari, kunyit, arang wuluh, daun lara garut, dipipis kemudian diminum.   

Adanya penyebutan yang berhubungan dengan pengobatan pada prasasti didukung oleh temuan tinggalan arkeologi berupa batu pipisan atau batu untuk menggerus obat. Tinggalan arkeologi tersebut terdapat pada beberapa museum.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun