Sebenarnya ketika itu akan dibuat istilah Soehartonomics. Namun, kata Pak Soebijakto, Pak Harto menolak karena beralasan ia melaksanakan GBHN. Pak Soebijakto selanjutnya menceritakan tentang gelar Bapak Pembangunan yang lebih tinggi daripada Pahlawan karena yang menetapkan MPR dan tentang ucapan Pak Harto yang tidak akan mengadili Bung Karno.
Cerita .lain diungkapkan Letjen (Pur) Soejono. Menurutnya, Pak Harto senang mendengar cerita Pak Habibie. Beliau betah menjadi pendengar yang baik selama tiga jam. "Kalau mendengar Habibie satu jam, berarti membaca satu buku," kata Pak Soejono menirukan Pak Harto.
Pak Soejono pernah menjadi Ketua Umum Perkumpulan Filatelis Indonesia (PFI). Menurut beliau, selama masa pemerintahan Pak Harto, 445 kejadian terabadikan dalam prangko. Bahkan tiap tahun pernah diterbitkan prangko seri Pelita (Pembangunan Lima Tahun).
Prof. Susanto Zuhdi ikut berkomentar tentang buku karya Pak Mahpudi. "Kelebihan Pak Mahpudi mengemas tulisan, mengambil hikmah, dan menampilkan sisi terang," kata Pak Santo. Tambahnya, semakin banyak tulisan, semakin baik kita melihat sejarah.
Sejarah, kata Pak Santo, harus melihat keseimbangan. "Sejarah terbuka untuk siapa saja yang ingin memasukinya," katanya. "Ada yang ingin melupakan. Pada saat mengingat, sedang melupakan yang lain," begitu kira-kira ilmu sejarah.
Pembukaan pameran dan diskusi buku dihadiri beberapa tokoh era Pak Harto, Asosiasi Museum DKI Jakarta "Paramita Jaya", komunitas, pelajar, dan pemerhati sejarah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H