Warisan-warisan budaya Indonesia sangat dikagumi bangsa asing. Benda-benda antik memang selalu menarik perhatian orang sejak lama. Ini karena nilai komersial benda antik sangat tinggi.
Hal tersebut tentu saja mendorong segelintir orang untuk melakukan perbuatan negatif, seperti mencuri dari situs-situs arkeologi, melakukan ekskavasi secara liar, menyelundupkan barang-barang itu ke luar negeri, dan memalsukan berbagai koleksi seolah-olah asli.
Di banyak negara, termasuk Indonesia, mengoleksi benda-benda kuno, tidak dipungkiri merupakan hobi bergengsi. Selain untuk menunjukkan status sosial yang bersangkutan, berkoleksi barang antik merupakan investasi untuk masa depan. Meskipun demikian ada juga segelintir kolektor yang memiliki idealisme tinggi dan motivasi lain, yakni melestarikan kebudayaan sendiri. Umumnya mereka mempunyai museum pribadi.
Namun disayangkan catatan gelap terhadap koleksi asal Indonesia, tak pernah surut. Sejak bertahun-tahun lalu dan hingga saat ini banyak warisan budaya kita terus diboyongi ke negara lain secara ilegal tanpa mampu dicegah.
Penjajahan
Sebenarnya, bukan hanya Indonesia yang mengalami hal demikian. Banyak negara juga pernah kecolongan artefak-artefak budayanya karena berbagai hal, seperti penjajahan, penjarahan, pencurian, dan perbuatan negatif lainnya. Perbedaannya adalah banyak negara sudah berusaha meminta kembali barang-barang yang diambil negara lain, sebaliknya kita belum berusaha ke arah itu.
Saya mencatat beberapa negara sudah peduli akan warisan budayanya yang berada di negara lain. Salah satunya Italia yang banyak memiliki sisa-sisa kerajaan Romawi. Dulu barang-barang kuno dari Italia diselundupkan ke luar negeri. Ternyata sebagian barang menjadi koleksi sejumlah museum di AS.
Departemen Kebudayaan Italia pun cepat-cepat turun tangan. Hasilnya pada 2006 lalu Metropolitan Museum of Art di New York mencapai kesepakatan dengan Departemen Kebudayaan Italia untuk mengembalikan enam buah artefak kuno, antara lain berupa sebuah vas Yunani purba berusia 2.500 tahun dan “harta karun Morgantina” yakni koleksi barang-barang perak buatan abad ke-3. Sebelumnya pada 2005 Museum J. Paul Getty di Los Angeles juga telah mengembalikan tiga artefak kuno hasil curian di Italia.
![Artefak asal Italia yang dikembalikan oleh AS (Foto: bbc.co.uk)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/04/22/artefak-italia-1-58facd33bc22bd4009e4fc25.jpg?t=o&v=770)
Masih di tahun yang sama, cucu dari seorang kolektor AS yang telah meninggal, mengembalikan sejumlah benda antik Mesir yang sudah 150 tahun menghuni rumah keluarganya. Menurut dia, barang-barang itu merupakan hasil curian yang pernah dibeli oleh leluhurnya.
Pengembalian benda-benda seni pernah dilakukan oleh pemerintah Rusia pada 1999. Benda-benda tersebut merupakan milik Jerman yang dijarah tentara Uni Soviet pada masa Perang Dunia II. Pada 2000 pemerintah Rusia juga mengembalikan benda-benda milik Belanda, berupa sejumlah arsip milik organisasi politik, ekonomi, dan keagamaan. Arsip-arsip penting itu merupakan hasil rampasan perang tentara Uni Soviet.
Pengadilan
Di Asia yang peduli terhadap masalah demikian umumnya adalah negara-negara Asia Timur. Pada 1965 pemerintah Jepang pernah mengembalikan sekitar 1.300 artefak kuno kepada Korea Selatan. Benda-benda itu diambil secara ilegal oleh tentara Jepang sewaktu meletus Perang Korea (1910-1945).
Pengadilan pun sering kali ikut berperan. Pada 2002 sebuah pengadilan di Austria memerintahkan penyitaan benda-benda seni yang pernah dirampas tentara Nazi dari kaum Yahudi. Salah satunya adalah koleksi seorang Yahudi-Austria yang meninggal di kamp konsentrasi Cekoslowakia. Banyaknya sekitar 800 lukisan, termasuk karya sejumlah pelukis Austria terkenal.
Yang unik, beberapa tahun lalu seorang kolektor Jepang pernah membeli benda-benda peninggalan Napoleon dari sebuah balai lelang. Karena dia tahu benda itu merupakan barang curian, maka dia menghibahkannya kepada negara asal koleksi itu.
Salah satu negara di Asia yang warisan budayanya banyak dicuri adalah Kamboja saat terjadi Perang Indocina 1940-an dan perang saudara 1970-an. Diketahui sejumlah benda antik Kamboja berada di negara penjajahnya, Perancis dan di negara tetangganya, Thailand. Sebagian terbesar merupakan benda-benda curian dari Candi Angkor.
Selama bertahun-tahun benda-benda kuno curian diselundupkan ke Thailand oleh para pemberontak lewat perbatasan. Oleh para penadah, barang itu dijual lagi ke toko-toko barang antik. Di luar dugaan, bertahun-tahun kemudian barang-barang antik curian itu banyak beredar di sejumlah art gallery di mancanegara. Bahkan ditawarkan melalui internet dan balai lelang ternama.
Yang patut dipuji adalah pemerintah Kamboja mempunyai langkah kreatif. Untuk melacak warisan arkeologinya yang hilang, mereka menerbitkan buku katalogus yang disebarkan ke seluruh dunia. Ternyata upaya mereka menuai hasil positif. Selang beberapa waktu, sejumlah artefak berhasil dilacak keberadaannya.
Banyaknya benda kuno yang hilang dari sejumlah negara, mendapat perhatian serius dari segelintir kalangan di Barat. Mereka aktif menyebarkan katalogus ke berbagai negara, bahkan mereka membuat situs Art Loss. Aktivitas mereka juga dilengkapi dengan sejumlah tenaga detective art yang benar-benar terampil. Menurut mereka, pola pencurian tetap sama. Barang curian akan beredar di pasaran selang bertahun-tahun setelah terjadinya kasus.
Kasus Indonesia
Benda-benda kuno Indonesia juga banyak diboyongi ke mancanegara, baik secara legal maupun ilegal. Contohnya berbagai benda batu dari sejumlah candi di Jawa. Sampai kini benda-benda kuno tersebut masih berada di Thailand dan Jepang. Dulu bagian-bagian dari candi itu merupakan hadiah dari pemerintah Hindia Belanda kepada Raja Siam Chulalongkorn. Sebagian lagi merupakan hadiah kepada Kaisar Jepang Tenno Heika ketika berulang tahun dari tentaranya di Hindia Belanda.
Sebagai bekas penjajah, tentu saja Belanda menjadi negara yang memiliki koleksi asal Indonesia terbanyak. Belum lagi di negara-negara sekutu Hindia Belanda ketika itu. Hingga kini benda-benda budaya Indonesia masih terdapat di 30-an negara.
Benda-benda tersebut tentu saja perlu diminta kembali. Dengan Belanda, pada 1977 kita pernah menandatangani Perjanjian Wassenaar sehingga arca Prajnaparamita, naskah kuno Nagarakretagama, dan Gong Geusan Ulun berhasil dikembalikan ke Indonesia. Apalagi kini Belanda sedang ‘bersih-bersih’ benda budaya luar. Dana pemeliharaan kebudayaan sudah demikian kecil.
Kita perlu bermimpi. Yah mimpi punya museum yang luar biasa besar. Mimpi anggaran besar dengan tenaga terlatih. Kita perlu meniru langkah Korea Selatan yang sengaja membangun museum, untuk menampung warisan-warisan budaya mereka yang pernah dijarah tentara Jepang.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI