Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menurut Prasasti Kuno, Masyarakat Awam Dilarang Memakai Jenis Pakaian Tertentu

12 Desember 2016   07:29 Diperbarui: 13 Desember 2016   05:29 3602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Busana di relief Karmawibhangga (Sumber: Buku Busana Jawa Kuna)

Dalam bentuknya yang paling sederhana, paling tidak, dunia fashion dan mode sudah dikenal sejak zaman prasejarah. Diperkirakan masyarakat Indonesia mulai membuat pakaian pada Masa Bercocok Tanam, ribuan tahun yang lalu. Karena masih primitif, tentu saja bahan-bahan pakaian berasal dari lingkungan alam terdekat. Diyakini kulit kayu dan kulit hewan merupakan bahan pakaian yang paling awal.   

Bukti arkeologis berupa ragam motif anyam pada tembikar memberi petunjuk bahwa nenek moyang kita sudah memiliki kepandaian menganyam. Pengetahuan anyam-menganyam inilah yang kelak menjadi dasar pengetahuan menenun atau membuat kain. Bahan-bahan anyaman terdiri atas serat tumbuhan atau tanaman, seperti serat rami dan serat pohon pisang. Agar menarik, serat-serat ini diberi pewarnaan atau pencelupan, yang juga berasal dari tumbuhan atau mineral alam. Proses penenunan dan pewarnaan tersebut masih dilakukan secara konvensional.

Bahan pewarna yang cukup dikenal ketika itu adalah manambul, sebagaimana disebut dalam Prasasti Alasantan (abad ke-10). Manambul adalah zat pewarna alami yang menghasilkan warna gelap atau hitam (Buku Pengantar Pameran Tekstil dan Busana Indonesia yang Dipengaruhi Budaya Cina, 2005).

Pakaian modern dibuat dari beragam bahan dengan berbagai mode dan aksesorinya. Fungsinya adalah sebagai pelengkap perhiasan tubuh. Artinya, dengan berpakaian maka tubuh terlindungi dari pengaruh alam, seperti panas dan dingin. Pakaian juga membentuk kepribadian dan menunjukkan status sosial seseorang. Apalagi ada yang disebut haute couture, pakaian yang harganya hingga jutaan rupiah dan umumnya dikenakan para selebriti.

Pada zaman sekarang, corak, ragam hias, dan mode pakaian mudah diamati karena teknologi untuk melakukan dokumentasi sudah berkembang baik.

Petunjuk prasasti

Nah, bagaimana kalau kita ingin tahu hal-ihwal pakaian yang dikenakan Raja Majapahit atau masyarakat di Kerajaan Singhasari, umpamanya? Hingga saat ini kita sulit untuk menginventarisasi atau mengetahui hal tersebut secara pasti. Petunjuk yang ada hanya mengungkapkan peranan pakaian secara samar-samar. Petunjuk-petunjuk itu berasal dari sumber tertulis, yakni prasasti, berita Tiongkok, dan karya sastra (naskah kuno). Sebagai pendukung adalah sumber tak tertulis, seperti relief candi dan arca.

Dari ratusan prasasti yang berkenaan dengan sima atau pembebasan pajak, tekstil hampir selalu disebut sebagai salah satu hadiah kepada pejabat kerajaan yang telah memberi anugerah sima kepada suatu wilayah. Meskipun tidak dirinci tekstil apa yang dimaksud, namun informasi tersebut cukup memberi kesan bahwa masyarakat sudah mengenakan pakaian dari bahan tekstil, bukan lagi dari bahan alami. Yang menarik,  sejumlah informasi prasasti menyebutkan larangan memakai jenis kain tertentu dan penggunaan ragam pencelupan tertentu. Kemungkinan, pada saat itu terjadi “diskriminasi” berpakaian. Artinya, tekstil yang digunakan warga biasa atau masyarakat awam akan berbeda dengan para pejabat,  bangsawan, atau keluarga istana.

Di antara prasasti-prasasti itu, ada yang lebih “khusus” menginformasikan tekstil, yakni kata wdihan (pakaian pria) dan kain atau ken (pakaian wanita). Prasasti-prasasti itu berasal dari abad ke-9 dan ke-10 Masehi. Selain itu dijumpai kata kalambi (pakaian atas) dan singhel (pakaian khusus untuk golongan pendeta, terbuat dari kulit kayu). Kitab Tantu Panggelaran menginformasikan, singhel dibuat dari daun lalang, daluwang, atau babakaning kayu.

Menurut penelitian arkeolog Edhie Wurjantoro (1986), ada berbagai jenis wdihan yang dijumpai dalam sumber prasasti. Ternyata tiap jenis wdihan dipakai oleh golongan tertentu, termasuk raja. Wdihan untuk raja antara lain adalah ganjar haji, ganjar patra sisi, dan bwat pinilai. Wdihan untuk pejabat tinggi antara lain tapis cadar, bwat kling putih, dan alapnya salari kuning. Sedangkan wdihan untuk pejabat rendahan antara lain siwakidang, hamarawu, dan takurang.

Berdasarkan namanya hanya beberapa wdihan yang bisa diketahui corak dan warnanya. Namun bagaimana bentuk pola keseluruhannya, tetap belum jelas. Wdihanputih kemungkinan berupa pakaian dengan dasar putih, wdihanambay ambay adalah kain dengan motif bunga-bungaan, dan wdihanganjar patra sisi adalah kain dengan motif sulur-suluran di bagian tepinya. Beberapa motif lain juga disebutkan dalam prasasti, hanya penjabarannya belum diketahui secara detil.

Seperti halnya wdihan, kain atau ken juga ada beberapa jenis dan pemakainya berbeda-beda menurut jenisnya. Dari sekian banyak jenis kain atau ken, untuk sementara ini baru diketahui sedikit tentang golongan pemakainya. Kainjaro konon dipakai oleh isteri pejabat tinggi; kainpinilai, kalyaga, dan rangga dipakai oleh istri pejabat menengah; serta kainpangkat, atmaraksa, dan halang pakan dipakai oleh istri pejabat rendahan.

Sumber prasasti boleh dibilang unik karena seluruh informasi tentang wdihan dan kain/ken ini berasal dari masa kerajaan Mataram (Hindu). Ketika kerajaan masih berpusat di Jawa Tengah, jenis wdihan juga relatif banyak dijumpai. Sebaliknya, ketika pusat kerajaan berpindah ke Jawa Timur, hanya sedikit wdihan yang disebutkan sumber prasasti.

Kemungkinan hal ini karena tingkat perekonomian masyarakat sudah menurun akibat letusan Gunung Merapi. Namun bukan berarti masyarakat di kerajaan lain dari masa sebelum dan sesudahnya tidak mengenal pakaian. Boleh jadi karena dipandang kurang penting atau hanya cenderung menyinggung masalah politik, maka pakaian jarang  disebut-sebut dalam prasasti.

Berita Tiongkok dan Relief

Jenis sandang apa yang dikenakan masyarakat kuno, sampai sekarang masih sulit diidentifikasi. Dengan demikian kita tidak tahu bahan-bahan apa saja yang ada waktu itu. Hanya dari berita Tiongkok masa dinasti Song (960-1279) disebutkan bahwa penduduk Jawa memelihara ulat sutra dan menenun kain sutra halus. Dikatakan juga, banyak penduduk memakai baju dari katun. Sebagian mengenakan pakaian yang menutupi tubuhnya dari dada sampai ke bawah lutut. Baju-baju itu dipakai dengan cara dibelitkan di sekeliling tubuh.

Beberapa jenis pakaian di relief Karmawibhangga (Sumber: Buku Busana Jawa Kuna)
Beberapa jenis pakaian di relief Karmawibhangga (Sumber: Buku Busana Jawa Kuna)
Informasi ini pun belum mendalam. Kita masih belum tahu bagaimana cara menjahitnya dan mode apa yang trend saat itu. Adanya penyebutan pawdihan (tukang jahit) pada prasasti, tentu menunjukkan bahwa mode pakaian sudah dikenal masyarakat kuno.

Dari sejumlah kitab sastra, diketahui adanya istilah kain, dodot, wastra, dsb yang mengacu kepada pakaian terbuat dari katun atau sutra. Sedangkan dari relief Candi Borobudur, kita memperoleh gambaran bahwa baik rakyat maupun bangsawan—pria dan wanita—umumnya hanya memakai kain dan membiarkan bagian dadanya terbuka. Kenyataan ini tidak banyak bedanya dengan berita Tiongkok yang menyatakan bahwa rakyat biasa, baik pria maupun wanita, umumnya membiarkan bagian atas badannya terbuka (Groeneveldt, 1960).

Relief juga menggambarkan adanya bangsawan yang mengenakan pakaian tipis yang terbuat dari sutra atau katun. Selain disebutkan berita Tiongkok, adanya sutra atau katun antara lain diperoleh dari Prasasti Ayam Teas (910 M).

Pada relief Candi Borobudur sebenarnya banyak dijumpai penggambaran busana dengan aneka ragam motif. Begitu pula dari beberapa arca kuno. Meskipun belum teridentifikasi jelas, hal ini tentunya menunjukkan bahwa tradisi tekstil dan pakaian di Nusantara sudah maju.

Soal relief pakaian di Candi Borobudur pernah dibahas oleh Inda Citraninda Noerhadi dalam skripsi di Jurusan Arkeologi UI (1983) yang kemudian diterbitkan oleh Komunitas Bambu, Busana Jawa Kuna (2012). Sumber penelitiannya adalah relief Karmawibhangga, yang saat ini tertutup batu karena alasan teknis bangunan.

Menurut penelitian Inda, pakaian di relief Karmawibhangga dikenakan oleh wanita dan pria. Inda melihatnya dari segi banyaknya perlengkapan yang dipakai dan segi lingkungan yang menentukan pakaiannya. Dari banyaknya perlengkapan, pakaian terbagi menjadi tiga, yakni taraf paling sederhana, taraf menengah, dan taraf lengkap.

Sekadar gambaran, taraf paling sederhana terdiri atas selembar kain yang panjangnya sebatas lutut. Diputar di badan dari arah kiri ke kanan dan berakhir di sisi kanan. Kain itu dipakai di bawah pusar. Ini untuk wanita. Sementara untuk pria, terdiri atas selembar kain yang diangkat pendek sehingga tampak seperti cawat atau celana pendek.

Biasanya penggambaran demikian tanpa perhiasan. Perhiasan baru tampak pada taraf menengah dan taraf lengkap. Sementara ditinjau dari lingkungan, menurut Inda, terbagi menjadi lingkungan istana atau lingkungan orang-orang terpandang, orang kebanyakan, dan tokoh-tokoh mitologi.***

Penulis: Djulianto Susantio

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun