Seperti halnya wdihan, kain atau ken juga ada beberapa jenis dan pemakainya berbeda-beda menurut jenisnya. Dari sekian banyak jenis kain atau ken, untuk sementara ini baru diketahui sedikit tentang golongan pemakainya. Kainjaro konon dipakai oleh isteri pejabat tinggi; kainpinilai, kalyaga, dan rangga dipakai oleh istri pejabat menengah; serta kainpangkat, atmaraksa, dan halang pakan dipakai oleh istri pejabat rendahan.
Sumber prasasti boleh dibilang unik karena seluruh informasi tentang wdihan dan kain/ken ini berasal dari masa kerajaan Mataram (Hindu). Ketika kerajaan masih berpusat di Jawa Tengah, jenis wdihan juga relatif banyak dijumpai. Sebaliknya, ketika pusat kerajaan berpindah ke Jawa Timur, hanya sedikit wdihan yang disebutkan sumber prasasti.
Kemungkinan hal ini karena tingkat perekonomian masyarakat sudah menurun akibat letusan Gunung Merapi. Namun bukan berarti masyarakat di kerajaan lain dari masa sebelum dan sesudahnya tidak mengenal pakaian. Boleh jadi karena dipandang kurang penting atau hanya cenderung menyinggung masalah politik, maka pakaian jarang  disebut-sebut dalam prasasti.
Berita Tiongkok dan Relief
Jenis sandang apa yang dikenakan masyarakat kuno, sampai sekarang masih sulit diidentifikasi. Dengan demikian kita tidak tahu bahan-bahan apa saja yang ada waktu itu. Hanya dari berita Tiongkok masa dinasti Song (960-1279) disebutkan bahwa penduduk Jawa memelihara ulat sutra dan menenun kain sutra halus. Dikatakan juga, banyak penduduk memakai baju dari katun. Sebagian mengenakan pakaian yang menutupi tubuhnya dari dada sampai ke bawah lutut. Baju-baju itu dipakai dengan cara dibelitkan di sekeliling tubuh.
Dari sejumlah kitab sastra, diketahui adanya istilah kain, dodot, wastra, dsb yang mengacu kepada pakaian terbuat dari katun atau sutra. Sedangkan dari relief Candi Borobudur, kita memperoleh gambaran bahwa baik rakyat maupun bangsawan—pria dan wanita—umumnya hanya memakai kain dan membiarkan bagian dadanya terbuka. Kenyataan ini tidak banyak bedanya dengan berita Tiongkok yang menyatakan bahwa rakyat biasa, baik pria maupun wanita, umumnya membiarkan bagian atas badannya terbuka (Groeneveldt, 1960).
Relief juga menggambarkan adanya bangsawan yang mengenakan pakaian tipis yang terbuat dari sutra atau katun. Selain disebutkan berita Tiongkok, adanya sutra atau katun antara lain diperoleh dari Prasasti Ayam Teas (910 M).
Pada relief Candi Borobudur sebenarnya banyak dijumpai penggambaran busana dengan aneka ragam motif. Begitu pula dari beberapa arca kuno. Meskipun belum teridentifikasi jelas, hal ini tentunya menunjukkan bahwa tradisi tekstil dan pakaian di Nusantara sudah maju.
Soal relief pakaian di Candi Borobudur pernah dibahas oleh Inda Citraninda Noerhadi dalam skripsi di Jurusan Arkeologi UI (1983) yang kemudian diterbitkan oleh Komunitas Bambu, Busana Jawa Kuna (2012). Sumber penelitiannya adalah relief Karmawibhangga, yang saat ini tertutup batu karena alasan teknis bangunan.
Menurut penelitian Inda, pakaian di relief Karmawibhangga dikenakan oleh wanita dan pria. Inda melihatnya dari segi banyaknya perlengkapan yang dipakai dan segi lingkungan yang menentukan pakaiannya. Dari banyaknya perlengkapan, pakaian terbagi menjadi tiga, yakni taraf paling sederhana, taraf menengah, dan taraf lengkap.