Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengenang Bapak Permuseuman Indonesia, Moh Amir Sutaarga

12 Oktober 2016   11:15 Diperbarui: 16 Oktober 2016   11:01 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendengar atau membaca nama Moh. Amir Sutaarga, jelas tidaklah familiar. Soalnya, bidang yang digeluti Amir, bukanlah termasuk ilmu populer. Hanya sebagai olok-olok nama ’museum’ sangat dikenal. Amir merupakan orang Indonesia pertama yang meletakkan dasar-dasar ilmu permuseuman.

Masuknya Amir ke dunia permuseuman terbilang ‘kecelakaan’. Sebenarnya cita-cita Amir kecil adalah belajar perkapalan di Belanda. Namun karena pecah perang pada 5 Maret 1942, cita-citanya menjadi hancur. 

Akibatnya ketika bersekolah di Taman Madya Yogyakarta, dia memasuki dunia militer untuk mempertahankan kemerdekaan RI. Selama beberapa bulan Amir bergerilya bersama teman akrabnya, Uka Tjandrasasmita, yang kemudian dikenal sebagai arkeolog.

Amir Sutaarga muda (Koleksi Museum Nasional)
Amir Sutaarga muda (Koleksi Museum Nasional)
Karena kecerdikannya, Amir ditugaskan di bagian intelijen. Sebagai perwira penghubung, dia ditunjuk mengatur siasat. Pada 1947, ketika berusia 19 tahun, pangkat kemiliteran Amir sudah tinggi, yakni Letnan Dua pada divisi Siliwangi. Amir sendiri lahir pada 5 Maret 1928 di Kuningan, Jawa Barat.

Menjadi redaktur penerbitan

Pada 1948 Amir ditawan Belanda selama beberapa bulan. Tahun itu juga ayahnya yang berprofesi sebagai pamongpraja meninggal. Sang ayah hanya sempat berpesan kepada Amir, ”Kamu jangan masuk pamongpraja atau polisi karena tidak menurunkan ilmu”. 

Amir yang sedang bingung kemudian bertemu van der Hoop, seorang ilmuwan di Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW). Hoop lah yang mengajak Amir ke Jakarta. Kelak, Amir belajar sekaligus menularkan ilmu di bidang etnologi atau ilmu bangsa-bangsa. Jadi Amir merasa telah mematuhi pesan ayahnya.

Amir Sutaarga, 2012
Amir Sutaarga, 2012
Tahun 1952 Amir diangkat van der Hoop menjadi redaktur penerbitan. Di situlah Amir mulai menuangkan gagasan tentang museum melalui tulisan. Para ilmuwan di BGKW sangat senang dengan kepintaran Amir. Maka pada 1955 Amir dihadiahi beasiswa untuk belajar museum di Eropa Barat.

Selepas dari Eropa, pada 1958 Amir memasuki Jurusan Antropologi UI. Sambil menuntut ilmu, dia aktif di Lembaga Museum Nasional. Dia bahu-membahu memperkenalkan dunia permuseuman dan kepurbakalaan dengan R. Soekmono, arkeolog pertama bangsa Indonesia, yang waktu itu menjabat Kepala Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional.

Ketika pada 1962 Museum van Het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen diserahkan kepada pemerintah, Amir diangkat menjadi Kepala Museum Pusat, yang sekarang menjadi Museum Nasional. 

Lepas dari Kepala Museum Pusat, Amir menjadi Direktur Permuseuman. Sebenarnya setelah itu, Amir dicalonkan oleh Angkatan Darat menjadi Direktur Jendral Kebudayaan, namun Amir menolak secara halus. “Berikan saja jabatan itu kepada orang-orang pintar,” katanya.

Ada kejadian yang tidak bisa dilupakan Amir ketika menjabat Kepala Museum Pusat. Suatu pagi pada 1963 datang seorang ‘polisi’ dengan ‘kendaraan dinas’. Sewaktu para pekerja masih mengepel lantai, ‘polisi’ tadi menodongkan pistol. Ruang khasanah digerayanginya. Akibatnya, sejumlah koleksi perhiasan emas diambil si perampok. Ternyata si perampok itu adalah penjahat besar bernama Kusni Kasdut yang kemudian dihukum mati.

Menguasai beberapa bahasa asing

Sedari kecil Amir senang membaca. Dia banyak belajar dari pamannya, Sjafruddin Prawiranegara. Bahkan karena ikut van der Hoop, Amir menguasai beberapa bahasa asing, seperti Inggris, Belanda, Jerman, Prancis, dan Jepang. Bahasa Jawa kuno juga dipahaminya. 

Karena menguasai bahasa asing, Amir sempat menerjemahkan beberapa buku. Salah satu bukunya yang paling laris karena telah mengalami belasan kali cetak ulang adalah Perempuan di Titik Nol terbitan Yayasan Obor Indonesia.

Meskipun masih distensil, tetap merupakan karya-karya terbaik Amir Sutaarga (Foto: internet)
Meskipun masih distensil, tetap merupakan karya-karya terbaik Amir Sutaarga (Foto: internet)
Menulis buku juga sering dilakukan Amir. Bukunya yang fenomenal, di luar buku-buku permuseuman, adalah tentang Prabu Siliwangi. Amir malah senang menulis humor. Meskipun diketik manual dan distensil, hasil karyanya pernah diedarkan ke sejumlah teman dan anak buahnya. 

Karya stensilannya yang ’kontroversial’ itu berjudul Perang Kentut. ”Isinya kocak habis, pasti yang membaca terpingkal-pingkal,” kata Trigangga, staf Museum Nasional, yang pernah menjadi anak buahnya.

Godaan sebagai pimpinan museum, terutama dalam tender, sering dijumpai Amir. Sejumlah amplop pernah disodorkan kepadanya, tapi segera dikembalikan. Banyak keluarganya yang ikut tender, namanya segera dicoret. Amir benar-benar anti KKN.

Merintis Museologi

Tahun 1984 Amir merintis mata kuliah Museologi di Jurusan Arkeologi FS-UI. Sebenarnya, dia akan membuka mata kuliah tersebut di Jurusan Antropologi FISIP-UI. Namun karena waktu itu ada gesekan dengan Dekan FISIP, maka Guru Besar Antropologi Prof. Koentjaraningrat dan Guru Besar Arkeologi Prof. R. Soekmono mengalihkannya ke Jurusan Arkeologi. Kini mata kuliah Museologi telah berkembang pesat. Bahkan menjadi program setara pascasarjana di UI dan UGM. Sebelumnya Unpad juga pernah menyelenggarakan program magister museologi.

Setelah sembilan tahun bergelut di dunia pendidikan, akhirnya pada 1993 Amir resmi pensiun. Pangkat terakhirnya adalah IV/E setara dengan guru besar. ”Saya adalah direktur yang tidak punya apa-apa sekembalinya ke UI,” katanya dengan guyon. Direktur dengan kantong petruk, begitu istilah Amir.

Prinsip Amir dalam memimpin adalah memperhatikan bawahan. Untuk itu Amir mencari kerja sama dengan berbagai instansi dan lembaga, seperti Rockefeller Foundation dan ICOM, demi mendapatkan dana beasiswa. 

Selama kepemimpinannya, sejumlah anak buahnya berhasil dikuliahkan di dalam negeri dan di luar negeri. Saking memperhatikan anak buah, kalau ke daerah Amir selalu ingin tidur bersama stafnya. ”Saya harus membagi ilmu secara informal, kan gak terasa,” kata ayah dari enam putra/putri dan kakek dari 13 cucu ini beralasan.

Kebanggaan Amir, saat ini beberapa anak buahnya sudah ’jadi orang’. Dia menyebut Intan Mardiana Napitupulu dengan berbagai kebijakannya. ”Batak yang galak ini dipuji beberapa kepala museum,” katanya sambil terkekeh. Intan Mardiana pernah menjabat Direktur Permuseuman dan saat ini kembali menjadi Kepala Museum Nasional.

Untuk memajukan museum, kata Amir, masyarakat dan komunitas harus mengambil bagian. Di berbagai negara ada Friends of Museum, dengan aktivitas antara lain menerbitkan buletin, menerbitkan buku, dan membuat cenderamata.

Dalam pertemuan 2012 lalu, meskipun sudah berusia 84 tahun, Amir masih bersemangat bicara soal museum. Suaranya berapi-api dan ingatannya masih kuat. Sesekali diselingi cerita lucu, cerita jorok, dan cerita seram khas Amir dulu. Hanya pendengarannya agak terganggu.

Kini seluruh bukunya, sekitar akhir 2011 lalu, disumbangkan ke Perpustakaan FIB-UI. Amir yang bersahaja memang benar-benar telah menurunkan ilmu. Manusia langka yang pantas dicatat dalam museum, karena Amir adalah Kamus Hidup Permuseuman.

Makam Amir Sutaarga di Pandeglang (Foto: Jaka Perbawa)
Makam Amir Sutaarga di Pandeglang (Foto: Jaka Perbawa)
Amir Sutaarga meninggal pada 1 Juni 2013 di rumahnya di Ciputat. Ia dimakamkan di Menes, Pandeglang, Jawa Barat. Banyak warisan berharga kita peroleh darinya, terutama pengetahuan tentang permuseuman.

Sumber: Museografia, Vol. VI, No. 9 - Juli 2012 dan internet

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun