Mendengar atau membaca nama Moh. Amir Sutaarga, jelas tidaklah familiar. Soalnya, bidang yang digeluti Amir, bukanlah termasuk ilmu populer. Hanya sebagai olok-olok nama ’museum’ sangat dikenal. Amir merupakan orang Indonesia pertama yang meletakkan dasar-dasar ilmu permuseuman.
Masuknya Amir ke dunia permuseuman terbilang ‘kecelakaan’. Sebenarnya cita-cita Amir kecil adalah belajar perkapalan di Belanda. Namun karena pecah perang pada 5 Maret 1942, cita-citanya menjadi hancur.
Akibatnya ketika bersekolah di Taman Madya Yogyakarta, dia memasuki dunia militer untuk mempertahankan kemerdekaan RI. Selama beberapa bulan Amir bergerilya bersama teman akrabnya, Uka Tjandrasasmita, yang kemudian dikenal sebagai arkeolog.
Menjadi redaktur penerbitan
Pada 1948 Amir ditawan Belanda selama beberapa bulan. Tahun itu juga ayahnya yang berprofesi sebagai pamongpraja meninggal. Sang ayah hanya sempat berpesan kepada Amir, ”Kamu jangan masuk pamongpraja atau polisi karena tidak menurunkan ilmu”.
Amir yang sedang bingung kemudian bertemu van der Hoop, seorang ilmuwan di Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW). Hoop lah yang mengajak Amir ke Jakarta. Kelak, Amir belajar sekaligus menularkan ilmu di bidang etnologi atau ilmu bangsa-bangsa. Jadi Amir merasa telah mematuhi pesan ayahnya.
Selepas dari Eropa, pada 1958 Amir memasuki Jurusan Antropologi UI. Sambil menuntut ilmu, dia aktif di Lembaga Museum Nasional. Dia bahu-membahu memperkenalkan dunia permuseuman dan kepurbakalaan dengan R. Soekmono, arkeolog pertama bangsa Indonesia, yang waktu itu menjabat Kepala Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional.
Ketika pada 1962 Museum van Het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen diserahkan kepada pemerintah, Amir diangkat menjadi Kepala Museum Pusat, yang sekarang menjadi Museum Nasional.
Lepas dari Kepala Museum Pusat, Amir menjadi Direktur Permuseuman. Sebenarnya setelah itu, Amir dicalonkan oleh Angkatan Darat menjadi Direktur Jendral Kebudayaan, namun Amir menolak secara halus. “Berikan saja jabatan itu kepada orang-orang pintar,” katanya.
Ada kejadian yang tidak bisa dilupakan Amir ketika menjabat Kepala Museum Pusat. Suatu pagi pada 1963 datang seorang ‘polisi’ dengan ‘kendaraan dinas’. Sewaktu para pekerja masih mengepel lantai, ‘polisi’ tadi menodongkan pistol. Ruang khasanah digerayanginya. Akibatnya, sejumlah koleksi perhiasan emas diambil si perampok. Ternyata si perampok itu adalah penjahat besar bernama Kusni Kasdut yang kemudian dihukum mati.
Menguasai beberapa bahasa asing
Sedari kecil Amir senang membaca. Dia banyak belajar dari pamannya, Sjafruddin Prawiranegara. Bahkan karena ikut van der Hoop, Amir menguasai beberapa bahasa asing, seperti Inggris, Belanda, Jerman, Prancis, dan Jepang. Bahasa Jawa kuno juga dipahaminya.
Karena menguasai bahasa asing, Amir sempat menerjemahkan beberapa buku. Salah satu bukunya yang paling laris karena telah mengalami belasan kali cetak ulang adalah Perempuan di Titik Nol terbitan Yayasan Obor Indonesia.
Karya stensilannya yang ’kontroversial’ itu berjudul Perang Kentut. ”Isinya kocak habis, pasti yang membaca terpingkal-pingkal,” kata Trigangga, staf Museum Nasional, yang pernah menjadi anak buahnya.
Godaan sebagai pimpinan museum, terutama dalam tender, sering dijumpai Amir. Sejumlah amplop pernah disodorkan kepadanya, tapi segera dikembalikan. Banyak keluarganya yang ikut tender, namanya segera dicoret. Amir benar-benar anti KKN.
Merintis Museologi
Tahun 1984 Amir merintis mata kuliah Museologi di Jurusan Arkeologi FS-UI. Sebenarnya, dia akan membuka mata kuliah tersebut di Jurusan Antropologi FISIP-UI. Namun karena waktu itu ada gesekan dengan Dekan FISIP, maka Guru Besar Antropologi Prof. Koentjaraningrat dan Guru Besar Arkeologi Prof. R. Soekmono mengalihkannya ke Jurusan Arkeologi. Kini mata kuliah Museologi telah berkembang pesat. Bahkan menjadi program setara pascasarjana di UI dan UGM. Sebelumnya Unpad juga pernah menyelenggarakan program magister museologi.
Setelah sembilan tahun bergelut di dunia pendidikan, akhirnya pada 1993 Amir resmi pensiun. Pangkat terakhirnya adalah IV/E setara dengan guru besar. ”Saya adalah direktur yang tidak punya apa-apa sekembalinya ke UI,” katanya dengan guyon. Direktur dengan kantong petruk, begitu istilah Amir.
Prinsip Amir dalam memimpin adalah memperhatikan bawahan. Untuk itu Amir mencari kerja sama dengan berbagai instansi dan lembaga, seperti Rockefeller Foundation dan ICOM, demi mendapatkan dana beasiswa.
Selama kepemimpinannya, sejumlah anak buahnya berhasil dikuliahkan di dalam negeri dan di luar negeri. Saking memperhatikan anak buah, kalau ke daerah Amir selalu ingin tidur bersama stafnya. ”Saya harus membagi ilmu secara informal, kan gak terasa,” kata ayah dari enam putra/putri dan kakek dari 13 cucu ini beralasan.
Kebanggaan Amir, saat ini beberapa anak buahnya sudah ’jadi orang’. Dia menyebut Intan Mardiana Napitupulu dengan berbagai kebijakannya. ”Batak yang galak ini dipuji beberapa kepala museum,” katanya sambil terkekeh. Intan Mardiana pernah menjabat Direktur Permuseuman dan saat ini kembali menjadi Kepala Museum Nasional.
Untuk memajukan museum, kata Amir, masyarakat dan komunitas harus mengambil bagian. Di berbagai negara ada Friends of Museum, dengan aktivitas antara lain menerbitkan buletin, menerbitkan buku, dan membuat cenderamata.
Dalam pertemuan 2012 lalu, meskipun sudah berusia 84 tahun, Amir masih bersemangat bicara soal museum. Suaranya berapi-api dan ingatannya masih kuat. Sesekali diselingi cerita lucu, cerita jorok, dan cerita seram khas Amir dulu. Hanya pendengarannya agak terganggu.
Kini seluruh bukunya, sekitar akhir 2011 lalu, disumbangkan ke Perpustakaan FIB-UI. Amir yang bersahaja memang benar-benar telah menurunkan ilmu. Manusia langka yang pantas dicatat dalam museum, karena Amir adalah Kamus Hidup Permuseuman.
Sumber: Museografia, Vol. VI, No. 9 - Juli 2012 dan internet
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H