Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengenang Bapak Permuseuman Indonesia, Moh Amir Sutaarga

12 Oktober 2016   11:15 Diperbarui: 16 Oktober 2016   11:01 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Meskipun masih distensil, tetap merupakan karya-karya terbaik Amir Sutaarga (Foto: internet)

Menguasai beberapa bahasa asing

Sedari kecil Amir senang membaca. Dia banyak belajar dari pamannya, Sjafruddin Prawiranegara. Bahkan karena ikut van der Hoop, Amir menguasai beberapa bahasa asing, seperti Inggris, Belanda, Jerman, Prancis, dan Jepang. Bahasa Jawa kuno juga dipahaminya. 

Karena menguasai bahasa asing, Amir sempat menerjemahkan beberapa buku. Salah satu bukunya yang paling laris karena telah mengalami belasan kali cetak ulang adalah Perempuan di Titik Nol terbitan Yayasan Obor Indonesia.

Meskipun masih distensil, tetap merupakan karya-karya terbaik Amir Sutaarga (Foto: internet)
Meskipun masih distensil, tetap merupakan karya-karya terbaik Amir Sutaarga (Foto: internet)
Menulis buku juga sering dilakukan Amir. Bukunya yang fenomenal, di luar buku-buku permuseuman, adalah tentang Prabu Siliwangi. Amir malah senang menulis humor. Meskipun diketik manual dan distensil, hasil karyanya pernah diedarkan ke sejumlah teman dan anak buahnya. 

Karya stensilannya yang ’kontroversial’ itu berjudul Perang Kentut. ”Isinya kocak habis, pasti yang membaca terpingkal-pingkal,” kata Trigangga, staf Museum Nasional, yang pernah menjadi anak buahnya.

Godaan sebagai pimpinan museum, terutama dalam tender, sering dijumpai Amir. Sejumlah amplop pernah disodorkan kepadanya, tapi segera dikembalikan. Banyak keluarganya yang ikut tender, namanya segera dicoret. Amir benar-benar anti KKN.

Merintis Museologi

Tahun 1984 Amir merintis mata kuliah Museologi di Jurusan Arkeologi FS-UI. Sebenarnya, dia akan membuka mata kuliah tersebut di Jurusan Antropologi FISIP-UI. Namun karena waktu itu ada gesekan dengan Dekan FISIP, maka Guru Besar Antropologi Prof. Koentjaraningrat dan Guru Besar Arkeologi Prof. R. Soekmono mengalihkannya ke Jurusan Arkeologi. Kini mata kuliah Museologi telah berkembang pesat. Bahkan menjadi program setara pascasarjana di UI dan UGM. Sebelumnya Unpad juga pernah menyelenggarakan program magister museologi.

Setelah sembilan tahun bergelut di dunia pendidikan, akhirnya pada 1993 Amir resmi pensiun. Pangkat terakhirnya adalah IV/E setara dengan guru besar. ”Saya adalah direktur yang tidak punya apa-apa sekembalinya ke UI,” katanya dengan guyon. Direktur dengan kantong petruk, begitu istilah Amir.

Prinsip Amir dalam memimpin adalah memperhatikan bawahan. Untuk itu Amir mencari kerja sama dengan berbagai instansi dan lembaga, seperti Rockefeller Foundation dan ICOM, demi mendapatkan dana beasiswa. 

Selama kepemimpinannya, sejumlah anak buahnya berhasil dikuliahkan di dalam negeri dan di luar negeri. Saking memperhatikan anak buah, kalau ke daerah Amir selalu ingin tidur bersama stafnya. ”Saya harus membagi ilmu secara informal, kan gak terasa,” kata ayah dari enam putra/putri dan kakek dari 13 cucu ini beralasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun