Upaya Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR untuk membangun museum baru—di luar kontroversi pembangunan gedung baru senilai Rp2,7 T—patut diapresiasi. Sejak lama keberadaan museum sangat penting. Ini karena museum merupakan tempat yang ideal untuk memamerkan dan menginformasikan seluk-beluk setiap lembaga/instansi atau kekayaan sejarah budaya bangsa.
Secara global sebagaimana didefinisikan oleh Dewan Museum Internasional atau ICOM, museum merupakan institusi permanen dan nirlaba untuk melayani kebutuhan publik dengan sifat terbuka. Untuk itu museum melakukan berbagai usaha, yakni mengoleksi, mengonservasi, meriset, mengomunikasikan, dan memamerkan benda nyata kepada masyarakat. Ini semua bertujuan untuk pendidikan, penelitian, dan kesenangan (rekreasi).
Lembaga Negara
DPR merupakan lembaga negara yang para anggotanya dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum langsung. Karena itu anggotanya disebut wakil rakyat yang terhormat, bahkan sebagian disebut “Yang Mulia”.
Rencana pembangunan museum tertuang dalam dokumen laporan rancangan rencana strategis (renstra) DPR 2014-2019. Disebutkan, pembangunan Museum DPR dirancang dapat memuat 10.000 jenis koleksi barang bersejarah.
Dalam dokumen tersebut dijelaskan, sebagai sebuah bangsa yang menghargai sejarah, Kompleks DPR RI perlu memiliki museum yang akan berfungsi sebagai tempat dokumentasi DPR. Museum itu akan menampung banyak barang dan foto. Ada pula koleksi naskah dan media interaktif.
Diharapkan pembangunan museum itu menjadi cagar budaya dan saksi sejarah perjalanan DPR dari masa ke masa. Nantinya, dokumen-dokumen hasil kerja DPR akan dipajang dalam museum ini. Renstra tersebut dibahas dalam rapat paripurna di Kompleks DPR awal September 2015 lalu.
Sebenarnya saat ini DPR sudah memiliki museum di lantai II Gedung Nusantara. Namun museum tersebut selalu sepi pengunjung. Paling-paling tamu DPR atau rombongan delegasi masyarakat yang datang ke sana. Prakarsa pembuatan Museum DPR dimulai pada periode DPR 1987—1992, sementara realisasi pembuatan museum diawali dengan pembentukan "Yayasan Museum DPR-RI”.
![Koleksi Museum DPR lama (Foto: detik.com)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/09/20/museum-dpr-02-57e096dc2b7a6170080424e0.jpg?t=o&v=770)
Sejak masa KNIP 1945 sampai dengan DPR RI periode 2014-2019, DPR RI telah mengalami 18 periode. Tiap periode memiliki latar belakang, sejarah politik, jumlah anggota, jumlah fraksi, dan kinerja yang berbeda. Hal ini tentu memperkaya koleksi museum.
Kilas balik perjalanan DPR RI inilah, menurut brosur (2011), yang akan divisualisasikan dalam Museum DPR. Museum DPR lama telah mengalami beberapa kali pengembangan. Ketika itu DPR RI melakukan kerja sama dengan beberapa pihak, seperti KITLV Belanda, Arsip Nasional, dan Direktorat Permuseuman.
Dalam museum lama terdapat berbagai koleksi yang dipamerkan, yang disusun secara kronologis. Kisahnya diawali dari Masa Volksraad (1918) yang masih menggunakan Gedung Pancasila di Pejambon.
Urutan selanjutnya adalah Masa Kemerdekaan. Beberapa koleksi utama antara lain naskah proklamasi, rapat BPUPKI yang mengesahkan UUD 1945, dan rapat Chuo Sangi In pada masa pendudukan Jepang.
Koleksi dari Masa KNIP (1950) ikut dipamerkan. Isinya antara lain pelantikan KNIP di Jakarta dan suasana sidang KNIP di Yogyakarta. Koleksi berikutnya dari Masa DPR Orde Lama dan Masa DPR Orde Baru, berupa suasana Pemilu, pakaian anggota MPRS, dan perlengkapan sidang.
Yang belum ada adalah Masa Orde Reformasi mulai 1998. Diharapkan museum baru akan menampilkan koleksi dari masa ini. Yang menarik, sejak dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2003, sejumlah anggota DPR terlibat kasus KKN. Mereka tertangkap tangan oleh tim KPK di berbagai tempat dengan berbagai kasus, yang kebanyakan menyangkut suap untuk memuluskan berbagai proyek.
Kini sebagian dari mereka sudah memiliki putusan hukum tetap. Sebagian lagi masih diproses. Foto, patung, dan kisah tentang mereka pantas mengisi museum baru. Ini sebagai bentuk shock therapy untuk anggota-anggota DPR lain agar tidak memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi dan kelompok, termasuk partai.
Koleksi lain yang penulis anggap menarik adalah palu yang pernah digunakan oleh Ceu Popon, pimpinan sementara sidang 2014. Palu ini pernah hilang ketika sidang berlangsung.
Profil Setya Novanto juga perlu ditampilkan. Ini baru pertama kali terjadi di Indonesia ketua DPR mengundurkan diri sebelum masa jabatannya berakhir. Setya Novanto dikenal dengan kasus “Papa minta saham” yang menyebut-nyebut nama presiden dan wakil presiden. Setya Novanto pernah tiga kali menolak panggilan Kejaksaan Agung terkait penyelidikan dugaan kasus permufakatan jahat dalam perpanjangan kontrak karya sebuah perusahaan pertambangan.
Bukan hanya itu, profil Irman Gusman perlu menjadi pelengkap. Irman adalah Ketua DPD (Dewan Perwakilan Daerah), lembaga tinggi negara yang dibentuk pada 2004. Sabtu, 17 September 2016, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) menangkap tangan Irman karena diduga “menjual” pengaruh dalam mengatur tambahan kuota distribusi gula impor untuk perusahaan bermasalah. Demikian berita Kompas, Senin, 19 September 2016. Mungkin saja DPD perlu mempunyai museum tersendiri atau untuk sementara nebeng pada Museum DPR.
![Proyek Hambalang yang terlantar (Foto: kompas.com)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/09/20/museum-dpr-03-jpg-57e0973c917e61f90b54e04e.jpg?t=o&v=770)
Di luar kontroversi yang sering terjadi kepada DPR, keberadaan Museum DPR versi baru sangat penting dan perlu dikembangkan. Di sejumlah negara, Parliament House selalu menjadi objek wisata nasional dan internasional. Mengunjungi tempat ini sangat menarik karena dikemas secara profesional.
Parliament House dilengkapi perpustakaan, kantin, toko cendera mata, dan sebagainya. Jadi tidak ubahnya museum plus. Sebagaimana Wikipedia, Parliament House di Singapura menjadi penanda budaya yang dikenal luas oleh publik. Sementara Parliament House di Australia memiliki sejumlah ruangan yang terbuka untuk umum. Kita harapkan Gedung DPR akan memiliki banyak ruangan yang mudah diakses oleh masyarakat untuk kepentingan ilmu pengetahuan.
Pendirian museum harus digalakkan sejak dini, terutama oleh lembaga negara. Lembaga negara adalah institusi-institusi negara yang secara langsung diatur atau memiliki kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945. Sebelum amandemen UUD 1945, lembaga ini disebut lembaga tinggi negara, terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Agung, Dewan Pertimbangan Agung, dan Badan Pemeriksa Keuangan.
Setelah amandemen UUD 1945 disebut lembaga negara dan terdiri atas Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Lembaga negara seperti DPR diharapkan menjadi lokomotif bagi institusi-institusi lain untuk mendirikan museum. Ini karena sampai kini persentase perbandingan antara jumlah penduduk Indonesia dengan jumlah museum masih sangat kecil.
Keberadaan Museum DPR bisa dikaitkan dengan wisata korupsi, yakni perjalanan mengelilingi lokasi atau bangunan yang pernah terkait dengan skandal korupsi. Beberapa tahun lalu, Ketua Mahkamah Konstitusi ketika itu, Mahfud MD, pernah menggulirkan pembuatan kebun koruptor. Sementara Achmad Sodiki, juga dari Mahkamah Konstitusi, mewacanakan pembangunan museum koruptor. Proyek Hambalang, yang berkenaan dengan sarana olahraga, mungkin salah satu objek yang paling cocok untuk wisata korupsi karena melibatkan anggota DPR. Lebih lengkapnya baca tulisan saya di harian Kompas, Senin, 4 Februari 2013 (lihat lampiran di bawah).
Museum merupakan sistem. Maka pengembangan museum perlu melibatkan museolog, praktisi museum, komunitas, dan pihak-pihak terkait. Perlu juga benar-benar diketahui bahwa mengelola museum bukan untuk mencari profit (keuntungan) tetapi benefit (manfaat). Meskipun museum-museum lembaga negara menggunakan dana APBN, pengelolaan museum tetap harus profesional. Yang paling penting, masyarakat bisa belajar dari Museum DPR atau Museum Lembaga Negara agar bisa jauh dari upaya korupsi.***
Lampiran:
Monumen Korupsi
Senin, 4 Februari 2013 | 08:55 WIB
Kata korupsi tampaknya sudah memasyarakat di bumi Nusantara. Karena dianggap ”wabah”, dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi.
Korupsi memang musuh masyarakat di mana pun. Meski demikian, bagi mereka yang jeli, dari korupsi juga dapat dipetik manfaat alias bisa menambah penghasilan secara halal.
Wisata korupsi
Wisata korupsi! Itulah yang coba dikembangkan segelintir orang di Ceko. Negara ini adalah pecahan dari Cekoslowakia di Eropa Timur. Sejak tahun lalu, wisata korupsi menjadi andalan Pemerintah Ceko untuk mendapatkan devisa.
Sesuai namanya, wisata korupsi merupakan perjalanan mengelilingi lokasi atau bangunan yang pernah terkait dengan skandal korupsi. Wisata korupsi di Ceko umumnya berlangsung di ibu kota Praha.
Dalam wisata ini, para pelancong tak hanya diajak mengelilingi bangunan-bangunan kolonial, juga menikmati tempat- tempat yang divonis merupakan hasil korupsi. Selama 2012 paket wisata korupsi di Ceko terbilang laris-manis.
Korupsi di Ceko, termasuk negara-negara tetangganya yang komunis, banyak terjadi setelah era Perang Dingin tahun 1990-an. Ketika itu banyak negara mengalami transformasi ekonomi dan politik. Akhirnya banyak lembaga pemerintah, termasuk para pejabatnya, jatuh ke dalam lingkaran korupsi.
Wisata korupsi yang disajikan Pemerintah Ceko terdiri atas berbagai tipe. Salah satu yang populer disebut Safari. Jenis wisata ini mengajak turis berkeliling ke beberapa vila dan perkebunan besar milik para pengusaha yang diperoleh berkat hasil korupsi.
Ada pula tur ke Balaikota Praha, sekaligus memberikan gambaran mengenai partai politik negara ini dan masalah di dalamnya. Paling menarik, wisatawan dibawa menuju sebuah situs konstruksi terowongan jalan besar, yang pembangunannya mengalami penundaan dan peningkatan biaya hingga 530 juta dollar AS. Wisatawan juga dibawa ke sebuah lapangan kosong yang seharusnya menjadi tempat pembangunan Stadion Olimpiado. Namun, ketika itu proyeknya dikorupsi hingga jutaan dollar AS sehingga pembangunannya terbengkalai.
Lain Ceko, lain lagi China. Mengingat korupsi adalah musuh masyarakat, seorang mikroblog China bernama Fan Jianchuan tergerak mendirikan sebuah museum korupsi. Museum itu akan dibangun di barat daya Provinsi Sichuan. Direncanakan isi museum berupa foto dari 100 pejabat yang dianggap paling korup di abad terakhir. Untuk itu, Fan berupaya mencari nominasi dari para netizen. Fan adalah seniman lukis. Karena itu, foto-foto tersebut akan dilukis sedemikian rupa sehingga menambah daya tarik seni bagi pengunjung.
Fan adalah pendiri Museum Jianchuan di Chengdu. Menurut Fan, museum akan menerima nominasi dari masyarakat melalui laman museumnya. Penentuan kriteria ”Top 100” meliputi posisi pejabat senior yang korup, jumlah uang yang dikorupsi, cara melakukan korupsi, nilai kekayaan si koruptor, dan dampak korupsi terhadap masyarakat.
Skandal korupsi juga pernah menimpa pejabat tinggi Yunani. Saat ini kediaman bekas Menteri Pertahanan Akis Tsochatzopoulos di Athena beralih fungsi sebagai monumen korupsi. Tidak tanggung-tanggung, monumen itu menjadi obyek wisata favorit wisatawan domestik dan asing. Bahkan, popularitas obyek wisata itu tak kalah dengan kompleks bangunan kuno Acropolis.
Karena berlokasi tak jauh dari pusat kota, bangunan mewah itu cukup mudah dicari. Meski berdiri di antara bangunan elite lainnya, apartemen Tsochatzopoulos itu tetap terlihat paling megah. Hunian di kompleks perumahan termahal Yunani itu kini selalu ramai dikunjungi turis.
Di Indonesia
Mungkinkah Indonesia mengadopsi jenis wisata unik dan museum aneh ini mengingat Indonesia tercatat sebagai salah satu negara dengan tingkat korupsi tertinggi di dunia?
Sebenarnya wacana usulan pembuatan kebun koruptor pernah digulirkan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD. Bahkan wacana membangun museum koruptor sudah dilontarkan Achmad Sodiki, juga dari Mahkamah Konstitusi.
Pendirian museum koruptor, kata Achmad Sodiki, bertujuan agar rakyat Indonesia bisa mengingat siapa saja para pejabat dan pihak yang telah melakukan korupsi. Museum ini diharapkan jadi peringatan agar orang lain tidak melakukan korupsi serupa.
Untuk membangkitkan pariwisata, kita bisa menyelenggarakan wisata korupsi dan membangun museum korupsi atau monumen korupsi. Modal awalnya pakai saja uang sitaan dari hasil korupsi yang masuk ke kas negara.
Jika korupsi dilihat lewat aktivitas ini, siapa tahu akan memberikan efek jera buat para calon pelaku. Obyek paling cocok untuk pertama kali bisa saja Proyek Hambalang karena ini akan menyeret nama-nama pejabat negara dan anggota DPR.
Djulianto Susantio Arkeolog dan Pemerhati Museum; Tinggal di Jakarta
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI