Di antara sejumlah wilayah di DKI Jakarta, kawasan Jalan Medan Merdeka terbilang istimewa. Kawasan ini dianggap pusat Jakarta. Sebagian besar gedung instansi pemerintah tersebar di sana. A. Heuken dalam bukunya menyebut Medan Merdeka sebagai “Jantung Ibukota RI” (Yayasan Cipta Loka Caraka, 2008).
Wilayah Medan Merdeka membentang sepanjang 3,7 kilometer dan dibagi menjadi empat, yakni Jalan Medan Merdeka Utara (0,9 kilometer), Medan Merdeka Timur (0,7 kilometer), Medan Merdeka Selatan (1,1 kilometer), dan Medan Merdeka Barat (1 kilometer). Keempat jalan mengelilingi Monumen Nasional (Monas), tugu berlapis emas kebanggaan masyarakat Jakarta, sebagai poros.
Jalan Medan Merdeka Utara termasuk paling sepi karena frekuensi kunjungan ke gedung-gedung publik di daerah ini relatif rendah. Rute bis Transjakarta dan moda angkutan umum lain tidak melalui jalan ini, kecuali taksi tentunya. Paling-paling masyarakat berhenti di halte Gambir 1 atau halte Monumen Nasional lalu dilanjutkan berjalan kaki. Di jalan ini terdapat gedung Istana Merdeka, Mahkamah Agung, Kementerian Dalam Negeri, dan Markas Besar TNI Angkatan Darat.
Jalan Medan Merdeka Timur terbilang lebih ramai karena stasiun Gambir ada di sini. Juga banyak gedung dan kantor milik pemerintah. Ada tiga bangunan penting bagi perkembangan kawasan, yakni Galeri Nasional, Gereja Immanuel, dan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.
Jalan Medan Merdeka Selatan memiliki karakter sendiri. Sejumlah bangunan lama masih digunakan, yaitu Istana Wakil Presiden, Kantor Gubernur DKI Jakarta, Kantor Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), dan cabang Perpustakaan Nasional RI.
Jalan Medan Merdeka Barat dianggap utama karena merupakan poros utara-selatan yang membujur dari daerah Kota hingga Kebayoran. Beberapa bangunan kuno masih dipakai hingga kini, antara lain Museum Nasional serta Kementerian Pertahanan dan Keamanan RI.
Lapangan Merdeka
Adanya Jalan Medan Merdeka tidak lepas dari kehadiran Lapangan Merdeka. Dikenal juga sebagai Lapangan Gambir atau Lapangan Ikada. Pada masa kolonial lapangan itu disebut Koningsplein atau Lapangan Raja. Bangunan di Jalan Medan Merdeka didirikan mulai abad ke-18 ketika pemerintah Hindia Belanda memindahkan pusat pemerintahan dari Batavia lama (kini kawasan Jakarta Kota) ke Weltevreden (kini Jakarta Pusat).
Nama Medan Merdeka diberikan oleh Presiden Soekarno. Selanjutnya beliau menginginkan rakyat Indonesia yang baru saja merdeka memiliki sebuah simbol yang menjadi kebanggaan bangsa berupa sebuah monumen untuk memperingati perjuangan mencapai kemerdekaan. Maka pada 1961 beliau memrakarsai pembangunan Monas.
Yang ironis dari kawasan ini adalah status Museum Nasional dan Galeri Nasional. Kedua institusi yang menyandang nama Nasional itu, ternyata masih di bawah Perpustakaan Nasional, juga Arsip Nasional. Saat ini Perpustakaan Nasional dan Arsip Nasional merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen (Kementerian). Karena itu kepala kedua institusi tersebut bereselon 1.
Terombang-ambing
Meskipun berlokasi di “Ring 1”, induk Museum Nasional dan Galeri Nasional sering bergonta-ganti. Kini Museum Nasional berada di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dengan kepala museum bereselon 2b.
Nasib Museum Nasional justru “lebih bagus” dari Galeri Nasional yang kepalanya bereselon 3. Galeri Nasional juga di bawah naungan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Karena masih menjadi “anak tiri”, Museum Nasional dan Galeri Nasional selalu terombang-ambing di antara dua kementerian: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Status sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen (Kementerian) juga disandang Arsip Nasional. Lembaga itu dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan yang kemudian diubah menjadi Undang-undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan. Peningkatan status juga dilakukan dengan maksud untuk menaikkan derajat lembaga arsip dan tenaga arsiparis yang selama ini selalu terpinggirkan.
Museum Nasional berawal dari lembaga ilmiah Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen pada 1778. Pendiriannya dimotori oleh ilmuwan-ilmuwan asing, seperti Radermacher dan Raffles. Lembaga itu bersifat independen. Tujuannya untuk memajukan penelitian dalam bidang seni dan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu biologi, fisika, arkeologi, kesusastraan, etnologi, dan sejarah.
Berdirinya Galeri Nasional merupakan salah satu ujud upaya pembangunan Wisma Seni Nasional/Pusat Pembangunan Kebudayaan Nasional yang dirintis sejak 1960-an. Pertama kali dalam bentuk Gedung Pameran Seni Rupa Depdikbud (1987). Setelah diperjuangkan sejak 1995, akhirnya operasional Galeri Nasional diresmikan pada 8 Mei 1999.
Ironis
Sekali lagi, sungguh ironis nasib Museum Nasional. “Anak kandungnya”, Perpustakaan Museum Pusat, sudah lebih dulu mendapat prioritas. Sebaliknya sebagai “mantan induknya”, Museum Nasional belum mendapat kesempatan untuk menjadi lokomotif bagi museum-museum di Indonesia. Begitu juga Galeri Nasional, yang koleksi seni rupanya merupakan hibah dari Museum Nasional. Sebenarnya Galeri Nasional patut diberi nama lain, yakni Museum Seni Nasional.
Museum merupakan etalase sebuah negara. Sejarah dan budaya masa lalu selalu dilihat orang melalui museum. Begitu juga tinggi rendahnya kebudayaan atau peradaban sebuah bangsa. Museum sendiri didefinisikan sebagai institusi yang melayani kebutuhan publik dengan sifat terbuka melalui usaha koleksi, konservasi, riset, komunikasi, dan pameran untuk kebutuhan studi, pendidikan, dan kesenangan.
Banyak negara sudah menerapkan konsep LAM (Library, Archive, Museum) karena lembaga perpustakaan, arsip, dan museum sama-sama menyimpan informasi tentang masa lalu. Hanya bedanya, museum menyimpan informasi tidak tertulis berupa artefak, sementara arsip dan perpustakaan menyimpan informasi tertulis dan bahkan terekam.
Luput
Keberadaan Museum Nasional dan Galeri Nasional, layak ditingkatkan. Ini karena merupakan grand design yang dibuat oleh Soekarno pada masa itu. Museum berada di Medan Merdeka Barat, Galeri di Medan Merdeka Timur, dan Perpustakaan di Medan Merdeka Selatan.
Di luar Museum, Galeri, dan Perpustakaan, lembaga pelestari lainnya adalah Arsip. Saat ini kantor Arsip Nasional berada di Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan. Tidak mengapa kantor arsip berada di lokasi lain. Toh sudah berfungsi dengan baik sesuai dengan amanat undang-undang.
Satu lagi lembaga pelestari yang luput dari perhatian adalah Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas). Gedung Puslit Arkenas terletak di Jalan Condet Pejaten, Jakarta Selatan, sekitar tiga kilometer dari kantor Arsip Nasional. Status Puslit Arkenas juga lebih rendah dibandingkan Perpustakaan Nasional dan Arsip Nasional.
Padahal, arkeologilah yang membuka tabir jatidiri bangsa Indonesia lewat penelitian terhadap benda budaya yang ditemukan dalam ekskavasi. Apalagi arkeologi merupakan satu-satunya disiplin ilmu yang unik karena berintegrasi dengan disiplin-disiplin lain, seperti geologi, kedokteran, biologi, dan arsitektur. Kegiatan Puslit Arkenas selanjutnya bermuara pada museum. Diamanatkan oleh undang-undang, hasil penelitian arkeologi harus disimpan dan dipamerkan di dalam museum (tertutup) atau museum terbuka (lapangan) agar diketahui khalayak.
Puslit Arkenas merupakan perkembangan dari Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional. Institusi ini telah beberapa kali berganti nomenklatur, yakni Pusat Arkeologi, Pusat Penelitian Arkeologi, Asisten Deputi Urusan Arkeologi Nasional, Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, Pusat Arkeologi Nasional, dan sekarang kembali kepada Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Induknya pun beberapa kali ganti, antara lain Sekretariat Jenderal Kemdikbud dan saat ini Badan Penelitian dan Pengembangan Kemdikbud.
Selama Kementerian Kebudayaan belum terbentuk, dipastikan tiga institusi tersebut: Museum Nasional, Galeri Nasional, dan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, masih akan “sorong ke kanan, sorong ke kiri”. Sudah saatnya ketiga institusi itu diberi kewenangan khusus, dijadikan Lembaga Pemerintah Non Departemen (Kementerian), seperti halnya institusi yang menyandang nama Nasional lain.
Peningkatan status, sebagaimana pada Perpustakaan Nasional dan Arsip Nasional, harus dilakukan dengan tujuan untuk menaikkan derajat pamong museum dan arkeolog yang selama ini selalu terpinggirkan. Jika status Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Museum Nasional, dan Galeri Nasional sudah meningkat, maka konsep LAM bisa diperluas menjadi ALAM (Archaeology, Library, Archive, Museum). Itulah modal utama bagi sebuah negara yang berkebudayaan tinggi.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H